Paradigma Ilmu Pengetahuan

Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model penyelidikan ilmiah yang digunakan sebagai pola dasar untuk berpikir, merencanakan usulan penelitian, atau berbagai kasus penelitian seperti studi kasus pada ilmu-ilmu empiris, ilmu filsafat, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan paradigma ilmu adalah menemukan kebenaran. Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak memiliki kemutlakan, tidak absolut. Setiap kebenaran yang dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka untuk difalsifikasi atau dikaji apabila kebenaran itu mulai digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, paradigma yang dianggap sebagai model atau pola berpikir bagi seorang peneliti memiliki kriteria dasar, seperti nilai kualitas, nilai kuantitas, dan nilai kebenaran. Nilai-nilai yang dimiliki paradigma akan membentuk sebuah model paradigma. Atas dasar itulah, penulis meletakkan model dasar pada paradigma. Paradigma ilmu mengenal enam paradigma dasar, yaitu

(1) paradigma kuantitatif,
(2) paradigma kualitatif,
(3) paradigma induktif-deduksi,
(4) paradigma piramida atau limas ilmu,
(5) paradigma siklus empiris, dan
(6) paradigma "rekonstruksi teori".

Paradigma kuantitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang bertitik tolak pada perhitungan matematis. Objek penelitian yang menampilkan berbagai gejala atau fenomena empiris harus dilihat sebagai "elemen" yang dapat dihitung dengan perhitungan (besaran) tertentu dan untuk itu digunakan "alat" bantu perhitungan matematis. Gejala-gejala medis pada si pasien seperti suhu tubuh dapat diukur dengan alat pengukur. Gejala gempa dapat diukur besar tekanannya dengan skala Richter. Paradigma kualitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas objek penelitiannya seperti perasaan (emosi) manusia, pengalaman menghayati hal-hal religius (sakral), keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, dan simbol-simbol ritual atau artefak tertentu. Kualitas-kualitas itu haruslah dinilai atau "diukur" berdasarkan pendekatan tertentu (rmsalnya menggunakan metode semiotik, metode hermeneutik, teori sistem) yang sesuai dengan objek kajiannya. Paradigma kualitatif menghindari perhitungan matematis, karena yang dicari adalah value 'nilai' yang muncul dari objek kajian yang bersifat khusus, bahkan sangat spesifik, unik, dan selalu mengandung meaning full action.

Paradigma induktif-deduksi adalah model penyelidikan ilmiah yang digunakan sebagai pola berpikir seorang peneliti untuk memiliki penalaran yang induktif (mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus untuk sampai pada hal yang umum) dan deduktif (mengambil kesimpulan dari penalaran yang bersifat umum untuk sampai pada hal-hal yang khusus). Paradigma induktif-deduktif dapat digunakan seseorang sccara bersamaan, artinya ia dapar berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir secara deduktif, tetapi seseorang dalam proses kerja ilmiah dapat pula menggunakan penalaran induktif atau deduktif saja. Tujuan paradigma induktif-deduktif lebih bersifat aplikatif dalam penalaran dan digunakan dalam suatu penelitian ilmiah agar seseorang dapat memiliki penalaran yang logis dan konsep berpikir yang runtut. Sebagai contoh, penalaran induktif-deduktif dapat diterapkan ketika mencari data, mengkategorisasi data, perumusan masalah, dan sebagainya.

Paradigma piramida atau Limas Ilmu adalah model penyelidikan ilmiah dengan menggunakan konsep yang bertujuan mengkonstruksi tahapan-tahapan kegiatan ilmiah secara berlapis-lapis seperti bentuk piramida. Bagian bawah piramida merupakan bagian yang paling dasar dan paling luas, sedangkan makin ke atas luas lapisan piramida makin berkurang. Lapisan teratas merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu dimaksudkan sebagai gambaran proses penelitian yang mengacu tahapan-tahapan observasi, data, hipotesis, pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru. Pola pikir seorang ilmuwan dibentuk seperti model piramida berlapis: semakin ke atas tujuan penelitian makin tercapai, dan pada puncak kerucut merupakan gambaran ditemukannya sebuah teori baru. Bentuk atau model piramida lain adalah piramida ganda. Piramida ganda atau bahkan menjadi piramida-piramida lain akan muncul apabila seseorang mampu membuat piramida lain atas dasar landasan piramida yang telah ada.

Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau model piramida yang berlandaskan sebuah teori. Kegiatan penelitian yang menggunakan model piramida terbalik memulai proses kerjanya dari sebuah teori (teori yang telah dianggap baku). Melalui teori, seorang peneliti akan memulai kegiatannya dengan observasi terhadap teori tersebut. Observasi menentukan langkah berikutnya, yahu tahap-tahap penelitian atau lapisan piramida seperti data, permasalahan (hipotesis), pembuktian-pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori baru.

Paradigma siklus empiris sangat diakrabi ilmu-ilmu empiris. Paradigma tersebut membutuhkan langkah awal, yaitu observasi yang bersifat induktif Beberapa tokoh seperti de Groot dan Walter Wallace menampilkan siklus empiris yang beranjak pada pengamatan faktual. Pada umumnya, paradigma siklus empiris memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan dan hubungan-hubungan yang sedemikian rupa tersebut dapat dievaluasi secara siklus (periodik, berkala). Tahapan-tahapan dalam siklus empiris akan membentuk pola berpikir bagi subjek (Ilmuwan/peneliti) dalam melakukan kegiatan ilmiahnya. Walter Wallace mencoba menjelaskan paradigma siklus empiris secara rinci dengan memperhatikan unsur metodologis. Paradigma siklus empiris adalah model penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala, memiliki beberapa elemen yang terdiri dari komponen informasi (data, konsep, kategori) dan komponen kontrol metodologis (evaluasi, pengujian, teori). Setiap komponen dapat terdiri dari beberapa komponen dan disusun sedemikan rupa sehingga membentuk hubungan yang nantinya digunakan dalam proses kegiatan ilmiah. Kemampuan seseorang dalam mengolah data dan pengujian hipotesis sangat menentukan hasil penelitiannya.

Paradigma "rekonstruksi teori" adalah model penyelidikan ilmiah yang berusaha membangun(rekonstruksi) beberapa teori atau metode yang digunakan dalam sebuah penelitian. Tujuan digunakannya paradigma rekonstruksi teori adalah untuk me­nunjang proses penelitian agar berjalan lebih sempurna sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat terjaga sesuai dengan proses metodologis yang berlaku. Untuk itu, apabila seseorang ingin menggunakan paradigma "rekonstruksi teori" harus memahami dengan benar teori-teori yang akan digunakannya dan memastikan de­ngan benar bahwa teori-teori itu saling menunjang dan berguna (dapat diterapkan) dalam penelitiannya. Berbagai pertimbangan yang sifatnya rasional, misalnya penguasaan teori dan kemampuan menerjemahkannya secara aplikatif, harus menjadi pertimbangan utama apabila seseorang akan menggunakan paradigma "rekonstruksi teori".
Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam penelitiannya. Sebagai konsep berpikir, model penyelidikan ilmiah sangatlah abstrak. Paradigma digunakan untuk tujuan menuntun pola pikir seseorang ke arah norma metodologis sehingga secara dejure dapat dipertahankan secara benar dan sahih. Paradigma ilmu dapat diperkaya apabila si ilmuwan mampu merekonstruksikan berbagai teori yang telah ada. Rekonstruksi tersebut harus disertai dengan sebuah "catatan" bahwa berbagai teori yang akan direkonstruksi harus saling menunjang dan sesuai dengan tujuan penelitian. Kemampuan ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan agar rekonstruksi terhadap sebuah paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang kebenaran ilmiah.

Subscribe to receive free email updates: