Globalisasi bisa berdampak baik dan bisa juga buruk. Ali Farazmand (1999) menyatakan globalisasi membangun fondasi suatu peradaban baru yang ditandai oleh banyak paradoks. Semua negara terkena dampak globalisasi, namun kemampuan atau kesiapan tiap negara untuk merespon dampak tersebut berbeda-beda. Dengan kata lain, manfaat yang ditimbulkan dari globalisasi tidak bersifat universal.
Farazmand  mengidentifikasi beberapa dampak negatif globalisasi antara lain berkurangnya atau hilangnya kedaulatan negara. Kedaulatan negara bergantung pada batas wilayah negara yang tegas dan supremasi kekuasaan atas darat, laut dan udara. Kapitalisme global mengancam semua identitas kedaulatan negara ini. Globalisasi juga dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Karena dalam globalisasi,  negara miskin tidak dapat menggunakan hak asasi dan hak sipil untuk menentukan kebijakannya sendiri. Kepentingan nasional dapat atau dipaksa dikorbankan demi kepentingan negara kuat. Akibatnya, ketergantungan negara miskin kepada negara industri maju semakin besar. Globalisasi juga berdampak pada hilangnya komunitas, konsentrasi pada struktur kekuasaan global, meningkatnya sentralisasi (kekuasaan) pada elit pemerintah dan korporasi.
Selain membawa dampak ekonomi politik, globalisasi merupakan agen penyebaran budaya atau gaya hidup global (global culture). Budaya hidup global disebarkan melalui  penyeragaman pola konsumsi (food, fashion, entertainment, dan lain-lain). Dominasi gaya hidup global melalui konsumsi produk kapitalisme seperti fashion, makanan, dan dunia hiburan seperti musik, film dan televisi menimbulkan perasaan terancam karena dikhawatirkan budaya global (Barat) dapat mengancam eksistensi ‘indigenous culture’.  Sebagai bentuk mekanisme pertahanan maka muncul lah budaya tandingan (counter culture) berupa gerakan kembali ke nilai-nilai tradisional atau budaya lokal , yang muncul ke permukaan adalah penonjolan identitas lokal dan primordial. Kondisi ini memicu penguatan politik identitas dan gerakan anti-Barat, anti liberalisme, anti demokrasi, anti HAM, dan sebagainya.
Globalisasi sebagai bentuk dominasi kapitalisme global, ideologi dan budaya mendapat perlawanan dari negara-negara dan kelompok masyarakat/komunitas  marjinal. Pada skala kecil, konflik individu atau kelompok yang dipicu perbedaan keyakinan, cara pandang dan budaya yang sesungguhnya lebih merupakan persoalan privat makin mudah terjadi. Dalam skala yang lebih besar, konflik politik yang dipicu perbedaan ideologi dan budaya menjadi problem global  sebagai contoh kasus terorisme seperti  peristiwa 9/11, Mumbai, Bom Bali,  London, dll.
Di sisi lain, akumulasi kapital yang tak terkontrol ikut berkontribusi pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan alam dan lingkungan yang berdampak global. Problem efek rumah kaca, pemanasan global, bencana alam, ancaman penyakit saat ini tidak lagi efektif ditangani oleh satu negara. Problem publik telah bergeser menjadi problem publik global (global public goods). Isu-isu publik  berkembang menjadi ”supraterritorial issues”.
Perkembangan problem dan isu publik yang semakin kompleks menimbulkan krisis kepemerintahan atau ”crisis of governance”. Negara menjadi lemah dan tidak berdaya menghadapi perubahan besar-besaran akibat proses globalisasi ekonomi, politik dan tehnologi. Menurut  Solichin Abdul Wahab (2000)  “…administrasi negara dihadapkan pada situasi dilematis yaitu terlalu besar untuk urusan- urusan kecil dan terlalu kecil untuk urusan-urusan besar “. Negara yang berfungsi menyelesaikan urusan publik, dipaksa untuk mengurus hal-hal yang sebenarnya merupakan wilayah privat. Sebaliknya, negara menjadi tidak berdaya (powerless) dalam memecahkan problem-problem publik global  seperti masalah kerusakan lingkungan, narkoba, kesehatan, keamanan, dan krisis ekonomi.
Menurut Wahab krisis kepemerintahan disebabkan masih kuatnya hegemoni atau dominannya pengaruh negara atas segala aspek kehidupan, terutama pelayanan publik. Model pemerintahan birokratis Weberian (struktur vertikal-hirarkis, formalistis, intervensionis,dan sebagainya) tidak akomodatif dengan perubahan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya yang mengalami perubahan dengan cepat.
Di tengah arus perubahan lingkungan eksternal yang semakin mondial dan kompetitif , birokrasi tipe lama yang menggunakan pendekatan hirarkis-formalistis menjadi tidak akomodatif terhadap tuntutan perubahan. Miftah Thoha (1995) menyebut birokrasi publik tipe lama atau model Weberian sebagai sebagai sistem yang tipikal bagi jenis organisasi yang tidak menampung aspek-aspek di luar hirarki kekuasaan. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan pendekatan birokrasi yang beyond hirarchical approach.
Era globalisasi telah mendorong lahirnya banyak konsep dan teori baru yang intinya berisi pemikiran untuk mereformasi birokrasi model Weberian agar lebih mengakomodasi prinsip-prinsip manajemen yang pro-pasar dan meminimalisir peran negara. Sebagai contoh , paradigma yang menerapkan prinsip-prinsip yang berkembang di sektor bisnis untuk memperbaiki kinerja administrasi negara seperti New Public Management di Inggris, Reinventing Government di AS, managerialism, dan sebagainya. Paradigma yang memandang penting peran serta aktor swasta (bisnis) dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan manajemen dan kebijakan publik atau dikenal sebagai Teori Governance.
Ali Farazmand (1999) secara rinci menjelaskan bagaimana implikasi globalisasi terhadap administrasi negara :
- Perubahan mendasar dalam konfigurasi ranah      publik dan ranah privat. Peran pemerintah dan sektor publik dalam alokasi      sumber daya, distribusi kekayaan, stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi      telah dikalahkan oleh kekuatan elit-elit korporat global. Ranah publik dan      ruang bagi peran serta warga negara telah diminimalisir akibat dampak globalisasi      dan restrukturisasi pemerintahan. Administrasi negara harus memperjuangkan      kedaulatan sektor publik dengan melibatkan masyarakat dalam administrasi      negara dan menjalankan peran yang proaktif dalam manajemen sumber daya      sosial dan menjaganya agar tidak jatuh ke bawah kendali aktor korporat      global.
-  Tantangan      terbesar datang dari kemungkinan terjadinya perubahan karakter dan      aktivitas negara dan administrasi negara dari ”civil administration to non-civil       administration” . Selama beberapa dekade, administrasi negara      tradisional menyeimbangkan antara kepentingan elit korporat dengan      kepentingan publik yang lebih luas , dengan berfungsi menciptakan      stabilitas sosial politik yang amat dibutuhkan bagi akumulasi kapital dan      legitimasi sistem (regim). Peran ini berpotensi diambilalih oleh negara      korporat yang bersifat memaksa (coercive)      yang ditandai dengan usaha keras negara untuk menekan potensi ancaman      warga negara terhadap tatanan sosial yang ada. Dalam model non-civil administration , negara      bukan penyelenggara urusan publik, tapi menjadi alat kontrol sosial dan      fasilitasi akumulasi kapital. Hal ini menjadi ancaman yang harus dihindari      oleh semua administrator publik.
- Globalisasi memaksa administrasi negara untuk      bekerja lebih keras dengan (kapasitas) yang semakin berkurang (to do more with less).      Administrator negara dituntut untuk melaksanakan tugas yang hampir      mustahil yakni menghasilkan output lebih banyak di bawah tekanan psikologis      karena ketakutan dan berkurangnya kapasitas personal, dan apabila gagal      akan mendapat tudingan kalau birokrasi pemerintah tidak efisien.
- Profesionalisasi administrasi negara sebagai      bentuk respon terhadap tantangan global. Profesionalisasi membawa standard      kelembagaan, moral dan etika dalam pelayanan publik ke tingkatan global.      Dampak globalisasi dan kegagalan pasar akan mengundang intervensi      pemerintah untuk mengatasinya. Administrasi negara yang profesional  akan siap sedia menghadapi segala ekses      negatif dari kapitalisme.
- Globalisasi mendorong meningkatnya privatisasi      yang membuka kesempatan yang lebih besar bagi terjadinya korupsi. Korupsi      telah merubah sumber daya sosial menjadi aktivitas-aktivitas yang tidak      produktif, ilegal, dan imoral. Korupsi juga menghancurkan kepercayaan      publik pada kepemimpinan dan legitimasi sistem.  
- Globalisasi mempromosikan elitisme dan      memperkaya kaum elit – bisnis, politik, militer dan manajerial – yang      berperan sebagai agen korporasi transnasional. Banyak elit di negara      sedang berkembang yang tidak segan menggunakan pendekatan represif atau      kekerasan untuk menghadapi rakyatnya demi membela kapitalis global yang      telah memberi keuntungan material atau menopang kelangsungan kekuasaannya.
- Globalisasi mengancam komunitas dan spirit      publik karena tidak banyak melibatkan partisipasi masyarakat dan      administrator lokal dalam membuat keputusan yang menentukan hidup banyak      orang. Administrator negara harus bisa membangkitkan rasa sebagai suatu      komunitas dan mendorong partisipasi warga dalam administrasi dan      menumbuhkan nilai kewarganegaraan (citizenship)      untuk mengimbangi kecenderungan mengutamakan kepentingan pribadi.
- Globalisasi mendorong meningkatkan studi      administrasi dan bidang ilmu lain yang berkaitan termasuk administrasi      perbandingan dan administrasi internasional. Menguatnya globalisasi      menumbuhkan  kebutuhan akan studi      administrasi negara yang mengintegrasikan perspektif komparatif, internasional      dan global. 
- Mempelajari administrasi negara dari perspektif      komparatif dapat memperluas cara pandang kita tentang dunia.  Mahasiswa dan sarjana administrasi      negara di negara maju dapat memperluas cakrawala pandang personal dan      profesional mereka dengan mencoba mengetahui budaya, kelembagaan dan      keyakinan yang berkembang dalam budaya administrasi negara sedang      berkembang.  
- Globalisasi menantang kesadaran atau hati      nurani komunitas administrasi negara. Profesional dari komunitas global      mempunyai kesempatan – dan tanggungjawab – untuk menjelaskan dan menjawab      problem-problem seputar globalisasi seperti masalah kondisi dan kelaparan      kaum miskin, upah buruh di perusahaan multinasional,  kerusakan lingkungan, pemanasan global,      kesenjangan dan ketidakadilan. Administrator negara jangan sampai tunduk      dan menjadi alat kepentingan pelaku ekonomi global. Mereka harus kritis      terhadap setiap bentuk penindasan atau kebijakan yang dapat menyengsarakan      warga negaranya.
- Sebagai penjaga dari ’kepentingan komunitas      global’ , administrator negara dari negara sedang berkembang mempunyai      tanggungjawab untuk bertindak secara etis dan bermoral. Mereka harus      setiap saat memerangi korupsi di semua level. Pejabat politik di puncak      birokrasi mudah tergoda untuk menjalin kolusi dengan aktor ekonomi global      sehingga membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang.
- Globalisasi tidak membuat negara dan      administrasi negara berakhir. Muncul tantangan-tantangan global baru yang      membuat ruang lingkup, praktek dan ilmu administrasi negara menjadi      semakin luas. Administrasi negara sedang memasuki tahap peradaban baru ,      dengan masa depan yang bisa menjadi suram atau terang karena dampak      globalisasi dan tatanan dunia yang hegemonik. Semoga saja hasilnya adalah      kemakmuran bagi semua manusia.