Paradoks Globalisasi, Memikirkan Kembali Arah Kebudayaan Kita
Persoalan kebudayaan tidak begitu sering dibicarakan dibanding persoalan ekonomi dan politik. Masalahnya mungkin karena persoalan kebudayaan tidak menarik dan tiada sangkut pautnya dengan kehidupan kita sehari-hari. Namun untunglah, seperti Goethe mengatakan, “Pada mulanya yang ada di sini ialah manusia, dan pada akhirnya yang ada tetap juga manusia.” Sepanjang sejarahnya ternyata manusia tidak bisa hidup tanpa kebudayaan, dan kebudayaan tidak bisa berkembang tanpa manusia. Tanpa kebudayaan pula hidup akan kehilangan makna dan tak menyenangkan disebabkan runtuhnya solidaritas murni dan kebersamaan.
Pokok yang akan saya jadikan bahan perbincangan sekarang ialah mengenai paradoks globalisasi dan dampaknya terhadap kebudayaan kita bangsa Indonesia. Dulu kehadiran globalisasi, seperti awal kehadiran modernisasi dan westernisasi, menguatirkan banyak oranng. Tetapi lambat laun dianggap sesuatu yang biasa. Mirip kisah mengerikan sekaligus lucu seperti digambarkan Franz Kafka – seorang pengarang avant-garde Jerman abad ke-20 – dalam parabelnya Matamorphosis: Seorang pemuda pada suatu pagi bangun tidur dan melihat dirinya telah berubah bentuk menjadi seekor kecoa raksasa. Keluarganya mula-mula terkejut dan heran, namun perlahan-lahan dapat memahami meskipun dengan nada sering menghina. Oleh karena bosan, pada akhirnya semua orang tidak mempedulikan lagi malah menganggapnya kehadiran si kecoa itu sebagai keniscayaan.
Bidang yang saya tekuni ialah sejarah falsafah dan kesusastraan. Bidang ini menuntut telaah yang sifatnya reflektif dan menuntun ke arah pemahaman bertalian dengan pokok yang disorot, dibanding misalnya sekadar obyektif dan kritis. Tumpuan utamanya bukan segi lahir dari apa yang diteliti, melainkan aspek batinnya. Wilhelm Dilthey, tokoh hermeneutika sejarah yang masyhur, mengatakan bahwa obyek ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) berbeda dari obyek ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften). Perbedaannya terletak pada hakikat dan kodrat dari obyek yang diteliti dan dipelajari, sehingga ia memerlukan cara-cara pemahaman, penafsiran dan penjelasan yang berbeda pula.
Obyek-obyek ilmu pengetahuan alam tidak memiliki sejarah kecuali dalam pikiran manusia yaitu para ilmuwan. Penampakannya di alam gejala ditentukan oleh aturan atau hukum alam. Obyek ilmu kemanusiaan memiliki sejarah. Ia meliputi kehidupan manusia, seluk beluk kejiwaan dan aspek-aspek serta kecenderungan batinnya, dan aneka bentuk ekspresinya dalam bidang-bidang seperti falsafah, seni, sastra, teori ilmiah, teologi, metafisika, dan lain-lain. Di dalamnya juga tercakup pemikiran keagamaan, kebudayaan, politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Lahirnya ekspresi-ekspresi kejiawaan atau keruhanian ini lebih banyak tunduk pada hukum-hukum kejiwaan yang sering tidak terduga.
Hidup dan kehidupan, menurut Dilthey dalam adalah sesuatu yang dialami manusia dalam periode sejarah tertentu dan dalam lingkup serta cakrawala kebudayaan tertentu. Apabila kita berbicara tentang hidup dan kehidupan manusia, kita tidak boleh berhenti pada fenomena-fenomena lahirnya semata. Kita mesti masuk juga ke dalam kecenderungan ruhani atau batinnya. Sejarah dari aspek kehidupan batin manusia ini meliputi perkembangan alam pikiran, nilai-nilai, pandangan hidup (Lebenschauung) dan pandangan dunia (Weltanschauung). Weltanschauung memiliki tiga pilar utama, yaitu Weltbild atau gambaran tentang dunia, Lebenwurdigung atau penilaian atas hidup, dan Lebensfuhrung atau model perilaku yang ideal.
Diberi batasan atau definisi apa pun pastilah apa yang disebut globalisasi atau pun globalisme itu memiliki sejarah berkenaan aspek batin sebagaimana berkenaan aspek lahirnya. Begitu pula dengan pemikiran kebudayaan di Indonesia yang menentukan arahnya hingga sekarang ini.
Sebagai seuah gagasan yang kompleks dan sarat pesan tersembunyi dengan paradoks-paradoks yang menyertainya, globalisasi memiliki banyak definisi, batasan, dan pengertian. Kadang ia dipadankan dengan globalisme. Seperti globalisme ia senantiasa dikaitkan dengan modernisme dan modernitas dengan segala kecenderungan pemikiran yang menyertainya. Dari sudut pandang sejarahnya ia diberi arti perluasan dari kapitalisme yang ditopang dengan semangat rasional Pencerahan (Aufklaerung) dan liberalisme, kemudian diperkuat dengan paradigma-paradigma positivisme dan neo-positivisme. Hasrat-hasrat duniawi dari pribadi-pribadi atau perusahaaan-perusahaan besar yang ambisius dalam masyarakat kapitalis liberal, sering pula dipandang sebagai pendorong utamanya dengan motif mencari keuntungan besar melalui cara melebarkan kekuasaan modal ke seluruh dunia.
Pribadi ambisius seperti itu sering diidentikkan dengan Faust, tokoh protagonis dalam drama Goethe yang masyhur. Faust adalah gambaran simbolik manusia modern, pribadi yang tidak pernah puas diri, sekalipun dia telah menguasai banyak ilmu seperti falsafah, ilmu kedokteran, hukum, sastra, dan teologi. Dia ingin menguasai dua alam sekaligus: kerajaan duniawi dan alam pikiran manusia sejagat. Untuk memenuhi ambisinya itu dia bersedia menggadaikan jiwanya kepada Setan selama dua puluh lima tahun. Setelah ambisinya terpenuhi dan seluk-beluk ilmu sihir yang dia pelajari dari setan telah dikuasai, maka ia memutuskan hubungan setan. Di pengujung usianya, setelah menguasai kerajaan dunia yang wilayahnya begitu luas serta mewariskan kekayaan dunia berlimpah 27 turunan, Faust akhirnya bertobat dan mmemohon ampun kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Ia mulai banyak berzikir dan berderma, serta mendirikan banyak rumah sakit dan rumah ibadah.
Dari tragedinya Goethe ini dapat dipetik pelajaran. Sejak awal bangkitnya globalisasi didorong oleh hasrat untuk menguasai dunia secara material maupun secara spiritual. Hasrat itu mulai mendapat bentuk bersamaan dengan bangkitnya kapitalisme, dicapainya kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ditopang pula dengan sistem falsafah yang lazim disebut modernisme, liberalisme, dan neo-positivisme atau falsafah positivistik yang telah direvisi. Ilmu sihirnya Faust adalah ilmu pengetahuan dan falsafah seperti itu.
Apa yang saya gambarkan mengenai ilmu sihirnya Faust itu akan saya uraikan nanti, karena memiliki hubungan karib dan mesra dengan pemikiran kebudayaan dan strategi pembangunan negara kita sejak lama hingga kini. Sekarang marilah saya kemukakan batasan-batasan yang pernah diberikan terhadap globalisasi.
De Martino (2007) memberi batasan dengan menelaah aspek-aspek negatif globalisasi. Ia mengawali dengan memberi gambaran ringkas tentang Amerika darimana globalisasi dalam bentuknya yang mutakhir menyebar ke seantero jagat. Negeri ini menurut De Martino adalah tempat bersemayam otak-otak yang cerdas, tetapi juga berkembangnya berbagai jenis penyakit dan jenayah. Di sini mata uang dollar menjalankan kekuasaan mutlak, blue jeans, coca cola dan Mc Donald menjadi simbol nasional yang membanggakan. Pendek kata, ia merepresentasikan perkampungan global, yang walau kawasan geografisnya terbatas, namun sanggup menyebarkan sistem nilai, pola hidup konsumtif dan gaya hidup hedonis ke seluruh dunia. Pola hidup yang semula disebut kebarat-baratan kini dikenal sebagai pola hidup global.
Pola hidup yang demikian berkaitan dengan pemahaman globalisasi berdasarkan istilah-istilah ekonomi. Globalasi dimengerti sebagai sistem ekonomi yang didasarkan pada persaingan global di antara perusahan-perusahaan besar yang berkembang subur dalam mayarakat kapitalis. Sistem ini dijadikan model untuk menghilangkan perbedaan antara invesitasi dalam dan luar negeri, serta memandang planet yang bernama bumi sebagai pasar tunggal di mana siapa saja boleh bersaing dengan bebas. Konsekwensinya, sejalan dengan motivasi jual beli, mereka menjejalkan barang apa saja kepada manusia di seluruh dunia. Dengan demikian globalisasi melahirkan model konsumsi homogen. Itulah sebabnya globalisasi semacam itu disebut globalisasi kapitalis.
Model globalisasi semacam ini dapat dicapai dengan cara menghancurkan rasa kepemilikan manusia atas negerinya (baca: nasionalisme), menghancurkan ikatan alamiah manusia dengan tanah air, agama, kebudayaan, dan berusaha membuat modifikasi dan homogenisasi pola dan cara hidup. Model masyarakat diinginkan dalam mendukung globalisasi seperti itu ialah penyebar luasan nilai-nilai kosmopolitan palsu yang sekarang ini diberi istilah “masyarakat multicultural”.
Euben (1999) seraya merujuk pada Dirk dalam bukunya Colonialism and Culture (1992) melihat globalisasi sebagai proyek neo-kolonialisme yang bertujuan meredakan ketegangan yang sering timbul antara dunia Barat dengan dunia selebihnya yang bukan Barat seusai Perang Dingin. Ketegangan itu timbul akibat kesenjangan budaya dan antagonisme sejarah antara kedua pihak. Dunia bukan Barat yang dimaksud menurut Huntington (1996) terutama ialah Dunia Islam dan Cina (Konfusianisme). Dalam upaya meretas ketegangan itu Barat (Amerika dan Eropa) memandang dan menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya subyek sejarah, sedangkan “yang lain” dipandang sebagai konsumen tetap dari modernitas dan modernisme, serta gagasan lain yang muncul darinya seperti liberalisme, hedonisme, demokrasi, multikulturalisme palsu, dan lain sebagainya.
Pada zaman kolonial jauh sebelum Perang Dunia II upaya Barat untuk memberi gambaran sebagai satu-satunya subyek sejarah itu muncul dalam novel-novel para penulis Eropa yang mengambil latar peristiwa di negara-negara jajahan seperti Asia dan Afrika. Termasuk novel karya Joseph Conrad seperti Victory yang mengambil setting kepulauan Melayu, atau karya Rudyard Kipling Jungle Books yang mengambil setting di India. Max Havelaar karya Multatuli tanpa disadari pengarangnya juga akhirnya menjadi si kulit putih sebagai pahlawan pembebas pribumi dari penindasan majikannya si penjajah Belanda.
Contoh terbaik untuk ini ialah Robinson Crusoe karangan Daniel Defoe, yang sebenarnya merupakan saduran kreatif dari Hayy ibn Yaqzan, karangan Ibn Tufayl penulis Arab Andalusia abad ke-13 M. Novel ini bercerita tentang seorang lelaki Eropa yang menciptakan kebebasan bagi dirinya sendiri di sebuah pulau jauh di luar Eropa. Dalam Hayy ibn Yaqzan setting cerita mengambil tempat di pulau Waqwaq yang terletak di kepulauan Maluku. Mungkin pulau itu pula yang dimaksud penulis Robinson Crusoe. Bandingkan kebebasan berbuat saja yang dilakukan Crusoe di pulau yang jauh dari negerinya ini dengan apa yang dilakukan tokoh Rambo dalam film buatan Amerika. Sekalipun tokohnya Amerika, tetapi Rambo selalu dihadirkan di negeri nun jauh di sana seperti Vietnam dan Afghanistan untuk memperlihatkan actionnya sebagai jagoan.
Gambaran seperti itu diusahakan dibentuk dan disebarluaskan melalui berbagai wacana termasuk film untuk kepentingan hegemoni mereka. Dengan demikian, menurut pemikir India Chatterge (1993), semua bentuk teori, paradigma, model pembangunan, wacana dan pemikiran yang muncul di luar peradaban Barat harus didudukkan sebagai subordinasi pemikiran warisan kolonialisme yang bersumber dari pemikiran Pencerahan atau pasca Pencerahan, seperti neo-postivisme, liberalisme, humanisme, dan lain sebagainya.
Peng Cheah (1998) menerangkan globalisasi sebagai seperangkat perkembangan dan proses yang saling terkait sepanjang dua dasawarsa, yang di dalamnya termasuk arus cepat globalisasi ekonomi, yaitu intensifikasi perdagangan internasional, alih fiscal dan teknologi, dan migrasi tenaga kerja serta konsololidasi dari suatu mode produksi yang murni global melalui subkontrak…” Juga, transnasionalisasi struktur komando militer melalui NATO,
budaya kacukan (hybrid) global akibat kehadiran kaum imigran dari negeri-negeri yang berbeda latar etnis, budaya, agama, dan pendidikan. Dengan demikian, walaupun diterangkan melalui istilah-istilah ekonomi, globalisasi pada akhirnya dapat dipandang sebagai perpanjangan keterkaitan budaya global melalui penyebaran konsumerisme, dengan menggunakan pemampatan ruang dan waktu yang dicapai akibat kemajuan teknologi informasi (De Martino 2007).
Dengan cara demikian kantong-kantong peradaban yang tersebar di seluruh dunia yang budayanya relatif homogen terhubungkan satu dengan yang lain seperti jaring laba-laba. Dari situ diproduksilah kesan-kesan, simulacra dan pengaruh yang kompleks terhadap yang lain. Pendek kata, globalisasi adalah penyebarluasan pola hidup dan cara berpikir Barat kontemporer ke seantero jagat. Demikianlah Barat mencari senantiasa saat-saat yang tepat untuk menguasai dunia secara material, kultural dan intelektual, sebagaimana para kolonialis Eropa pada babakan awal sejarah globalisasi ketika kapitalisme mulai bangkit pada abad ke-17 dan 18 M. Secara kultural dan intelektual penguasaan dilakukan melalui wacana, antara lain yang disebut Orientalisme.
Melalui penyebaran wacana-wacana ilmiah dan program-program kebudayaannya itulah, yaitu melalui kolonisasi atau globalisasi sekarang ini, Barat terus menerus mendekonstruksi Timur yaitu citra dan jiwa kebudayaannya, dan menggantinya dengan konstruksi pengetahuan baru berisi gambaran yang disukainya tentang Timur sebagai “yang lain” atau obyek penguasaannya lahir dan batin. Di antara kategori-kategori yang dipilih untuk mencerabut timur dari akar sejarah dan kebudayaanya ialah agar, bersama mereka, kita sepakat membenci segala bentuk kewenangan (otoritas) dari agama, kepercayaan, tradisi budaya, adat istiadat, dan keimanan.
Untuk keperluan itu maka dibuatlah dikotomi-dikotomi artifisial antara sains dan fiksi, ilmu dan mitos, modern dan tradisional, progresif dan kolot, liberal dan fundamentalis, dan lain-lain. Demikianlah seraya mengajarkan persamaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, pada saat yang sama kita dicetak menjadi subyek yang diskriminatif. Tembok Berlin diruntuhkan, tetapi dinding lain yang lebih besar dibangun seperti Iskandar Zulkarnain yang diperintahkan oleh sejarah agar membangun tembok raksasa untuk melindungi wilayah yang talah ditaklukkannya dari ancaman Yajuj dan Makjuj.
Coba periksa dengan teliti perbedaan sains dan fiksi. Sesungguhnya keduanya sama ingin mengungkapkan realitas, hanya caranya berbeda. Sains menggunakan metode empiris dan penalaran kognitif tentang obyek-obyek di luar si pengamat. Tetapi penulis fiksi menggunakan imaginasi. Ilmu dan mitos sebenarnya tidak bisa dibedakan hanya karena dalam mengungkap realitas atau kebenaran berbeda. Bukankah banyak hipotesa ilmiah sebenarnya juga mitos. Teori evolusi Darwin, pertentangan kelasnya Marx, dan banyak lagi yang lain tidak kurang khayalinya dibanding mitos.
Pengenaan kriteria modern dan tradisional juga sering tidak relevan bila dikaitan dengan pencapaian mutu estetik dan cirri ekspresifnya. Dalam kenyataan banyak pula seni yang disebut tradisional sebenarnya lebih modern dari seni yang dipandang modern. Tari Kecak Bali sangat modern dibanding banyak tarian centang perentang yang sering ditayang di TV yang dianggap modern. Puisi-puisi Rumi dalam Divan-I Shams Tabriz dan Matsnawi dipandang sebagai karya klasik. Tetapi selama hampir sdelapan abad pembacanya merasakan selalu ada yang baru dalam kitab tersebut. Sementara begitu banyak puisi-puisi yang lahir di abad ke-20 kehilangan pembacanya padahal dicipta dengan tujuan menjadi karya modern.
Kembali ke masalah wacana modernitas yang dikotomis yang bertujuan memisahkan siapa yang dipandang kita dan siapa yang harus dipandang mereka. Dikotomi semacam itu kemudian dialihsuai menjadi bentu-k-bentuk rasionalitas yang kegunaannya berlaku dalam segala aspek kehidupan. Inilah perangkat lunak pembentuk modernitas, yang merupakan aspek batin dari sejarah globalisasi. Penekanan pentingnya rasionalitas ini dalam narasi modernitas ditingkatkan dengan memudarkan kepercayaan terhadap otoritas Yang Transenden. Malangnya di Barat sendiri keabsahan pengertian modernitas seperti itu sejak lama mendapatkan kritik hebat. Dalam penerapannya ia malah sering menimbulkan kerancuan, misalnya apabila dikenakan untuk membedakan antara kebudayaan yang maju dan kebudayaan yang mundur, kebudayaan yang dianggap modern dan tradisional.
Ini terlihat juga dalam tulisan banyak cerdik pandai kita sejak awal abad ke-20 hingga kini. Misalnya karena tiada batasan yang jelas tentang modernitas dan modernisme, lantas terjadi kesimpangsiuran dalam menentukan kapan seni lukis modern Indonesia dimulai, dan kapan pula sastra Indonesia/Melayu modern muncul. Di antara ahli sejarah seni rupa ada yang berpendirian bahwa pelopor seni lukis modern di Indonesia ialah Raden Saleh Syarif Bustaman. Ada menganggap pelukis yang bergabung dalam PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) termasuk Sudjojono di dalamnya. Tetapi kriteria yang digunakan mudah sekali diperdebatkan. Raden Saleh dianggap pelopor seni lukis Indonesia modern karena lukisan-lukisannya naturalis mengikuti aliran yang berkembang di Eropa pada abad ke-18 M. Kalau naturalis atau realis dijadikan ukuran kemodernan lukisan, kita tidak perlu susah payah mencari kapan seni lukis modern bermula di negeri ini. Cukup melihat pada relief Candi Borobudur, terutama gambar-gambar pada dinding balustradenya. Wah, itu jauh lebih realis dari lukisan Raden Saleh atau Sudjojono.
Dalam sejarah sastra Indonesia atau Melayu ada sarjana berpendapat bahwa penulis modern pertama ialah Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Bakri Siregar malah menyebut Multatuli karena karyanya Max Havelaar revolusioner. Sarjana-sarjana Inggris dan Belanda yang memilih Abdullah Munsyi didasarkan atas alasan bahwa karangannya bercorak realis mengikuti gaya yang umum di Eropa dan juga menampilkan kehadiran orang Eropa dalam fiksinya. Ini konyol. Kalau hanya persoalannya realis atau tidak, Encik Amin penulis Syair Perang Makassar akhir abad ke-17 M telah mendahuluinya. Sebagian sarjana mengatakan bahwa ukuran modern dalam sastra terletak pada ciri anti-mitos, dan anti-feodalismenya, selain penonjolan individualitas dan rasionalitas. Berdasarkan ini Naquib al-Attas (1970) mengajukan Hamzah Fansuri, penyair sufi Melayu Aceh abad ke-16 M, sebagai pelopor kemodernan dalam sastra Melayu/Indonesia, karena ciri-ciri yang disebutkan itu telah dipenuhi dalam puisi-puisi tasawufnya.
Karena kerancuan pengertiannya itu, terutama dalam penerapannya dalam bidang kehidupan yang berbeda-beda, muncul banyak perdebatan mengenai “kondisi modernitas”. Bendix (1967) misalnya memandang bahwa modernitas bermula pada abad ke-18 di Eropa sejak munculnya rasionalisme Descartes sebagai kelanjutan dari semangat Renaissance akhir abad ke-15, hampir bersamaan dengan bangkitnya Protestanisme. Di sini selain dengan rasionalitas, modernitas dikaitkan juga dengan humanitas yang meninggikan pencapaian-pencapaian tinggi bukan saja di bidang sains, tetapi di bidang artistik seperti tampak pada pribadi genius semisal Leonarde da Vinci dan Michel Angelo. Berarti modernitas terkait dengan terealisasikannya potensi keruhanian manusia secara maksimal, termasuk bakat artistiknya yang tidak rasional.
Hairthown (1972) menghubungkan globalisasi dengan semangat Pencerahan yang meninggikan penalaran kritis, tanpa menyertakan pentingnya kemampuan spiritual lain di luar itu. Hegel pada awal abad ke-19 berpendapat bahwa modernitas berawal dari pemikiran Thomas Hobbes abad ke-17, sedangkan Strauss (1960) menyebut teori politik Thomas Hobbes adalah kelanjutan dari teologi Abad Tengah. Lawrence (1989) bahkan lebih jauh menyatakan bahwa terdapat p[erbedaan cukup besar antara modernitas dan modernisme. Yang pertama, modernitas adalah proses yang berkaitan dengan modernisasi yaitu westernisasi. Cakupannya ialah peningkatan birokratisasi, teknokrasi, rasionalisasi, dan pertukaran global. Sedangkan modernisme ialah paham yang menekankan keupayaan individu mencari kemandiriannya didorong oleh motif-motif yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang tertuju pada perubahan.
Selanjutnya Hairthown menyatakan bahwa dalam dinamikanya modernisme menandai tercapainya globalisasi, yaitu perluasan dan perpanjangan tujuan-tujuan kolonialisme dan ekspansi kapitalis. Batasan modernisme seperti ini, yang di dalamnya globalisasi kapitalisme tercakup, membuat globalisasi menjadi sesuatu yang menakutkan. Dilandasi falsafah ekonomi yang disebut neo-liberalisme, yang ingin menjadikan pasar bebas sebagai pusat peradaban dan kebudayaan di seluruh dunia, globalisasi semacam ini telah dirasakan akibatnya sekarang di mana kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin, sebagaimana kesenjangan antara orang kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Oleh karena tak mengejutkan jika Stiglitz (2002) kecewa. Katanya, “Globalisasi yang sedang berlangsung sekarang ini tidak dapat dinikmati sebagian besar negara miskin, tidak berlaku untuk berbagai kalangan, juga tidak berlaku untuk stabilitas ekonomi global.” Testimoni Stiglitz sudah tampak dan krisis ekonomi yang dialami negeri ini sekarang adalah anak kandung dari globalisasi seperti itu.
Secara kultural dampak buruk globalisasi tidak kurang dirasakan. Di kota-kota besar sekarang ramai orang memilih makan KFC, Mc Donald, Pizza Hutt , dan lain-lain bukan karena ingin memperoleh makanan yang lezat dan bergizi. Tetapi lebih disebabkan dorongan mode. Yang dihasratkan ialah menjadi Americanize dengan cara semudah-mudahnya.
Paradoks globalisasi dikemukakan dengan baik oleh Daniel Bell dalam bukunya The Culture Contradictions of Capitalism (1976) memaparkan sebagai berikut: Sejarah kapitalisme dimulai dengan bangkitnya ethos Protestanisme. Ethos ini melahirkan orang yang berprinsip menggunakan uang untuk menciptakan uang. Prinsip ini ditegakkan untuk memenuhi panggilan agama, yaitu memajukan kesejahteraan untuk mencapai keselamatan. Untuk mencapainya orang harus bekerja keras. Bekerja keras itu menyenangkan. Jadi ada nilai moral yang mendasarinya. Tetapi sorga yang diangankan melalui kerja keras ternyata jauh panggang dari api. Revolusi industri memotong harapan itu. Revolusi ini melahirkan kelas borjuis yang tidak memberi kesempatan pada orang yang bekerja keras, antara lain buruh, untuk menikmati kesenangan. Kesenangan dinikmati hanya oleh para pemilik modal yang lebih banyak bersenang-senang dibanding bekerja keras.
Kapitalisme juga menciptakan kondisi kemanusiaan yang mengenaskan, yaitu ketercerabutan individu dari masyarakat dan tradisi budayanya. Kondisi seperti itu dan manifestasinya seperti keterasingan dan kesebatangkaraan individu modern dalam masyarakat pasar global yang hiruk pikuk, netestapa disebabkan kesepian dan hidupnya hampa makna, telah banyak digambarkan dalam novel-novel modern di Eropa dan Amerika sebagaimana di Asia. Mulai dari The Sorrow of Young Werthernya Goethe di Jerman hingga Kokoro (Rahasia Hati) nya Natsume Soseki di Jepang, dari tingkah polah ganjil kaum atheis revolusionernya Dostoyeksy dalam Notes from the Underground di Rusia sampai individu tanpa rumah sosial dan kultural yang jelas dalam L`Etranger nya Albert Camus di Perancis, bahkan juga manusia terasingnya Armyn Pane dalam novel Belenggu, serta sosok pengembara asing yang tidak punya rumah untuk pulang dalam sajak-sajak Chairil Anwar dan Sutor Situmorang.
Kontradiksi lain dari sejarah kapitalisme ialah koeksisnya pertumbuhan ekonomi yang pesat di satu hal dengan pola hidup konsumtif yang boros di lain hal. Mungkin Bell tidak sepenuhnya benar, tetapi pendapatnya perlu direnungi. Menurutnya, kapitalisme melahirkan paradoks sendiri dalam pertumbuhan ekonomi. Di bawah rezim kapitalis inflasi menjadi kondisi yang ajeg dibarengi dengan stagnasi. Kesaksian lain datang dari Hannah Arendt, penulis buku The Human Condition (1968) yang terkenal. Kondisi menyedihkan manusia modern yang hidupnya hampa makna, dirunut ke belakang oleh Arendt pada krisis otoritas dalam kebudayaan modern. Kita, katanya, telah sebegitu jauh terperangkap dalam wacana rasionalitas dan obyektivitas. Ini berpengaruh pada model-model dan metode-metode penelitian di bidang ilmiah, yaitu model atau metode ilmiah yang dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan tinggi.
Teori-teori itu diturunkan pada umumnya dari falsafah positivisme dan neo-positivisme. Ia ternyata tidak mampu menjadikan kaum terpelajar memahami dan menjawab pertanyaan eksistensial tentang hakikat manusia dan arti kehidupan. Mereka tak paham bahwa kebebasan dan demokrasi tidak ada sangkut paut langsung dengan kemajuan dan perkembangan kebudayaan. Di lain hal kita juga melihat betapa banyaknya anasir konstitutif penting dari kebudayaan dan kehidupan sosial dihapuskan oleh modernitas dan modernisame. Salah satu di antaranya yang kurang disadari ialah matinya makna-makna dalam bahasa, kehidupan sosial, birokrasi, dan otoritas ilmu atau epistemology. Contoh terbaik ialah dalam bahasa dan birokrasi. Demi rasionalitas, banyak makna yang telah mantap dan sarat pesan sehingga mampu memperkokoh kebersamaan kita sebagai komunitas bangsa, diluluhlantakkan. Kata-kata pelacur, karena dianggap melukai perasaan, mula-mula diganti dengan kata WTS atau wanita tuna susila. Pemberian makna baru itu memberi bahwa hanya wanita yang bisa melacurkan diri. Akibatnya kemudian kita tidak bisa berbicara tentang pelacuran intelektual kepada penguasa. Kini kata WTS diganti PSK alias Pekerja Seks Komersial. Padahal kita semua ini adalah pekerja seks, walaupun tidak komersial.
Bahasa adalah media komunikasi dan ekspresi terpenting bagi manusia dan tidak bisa digantikan oleh media lain. Bahasa adalah perwujudan kebudayaan yang merangkum di dalamnya khazanah pemikiran, gagasan, dan ingatan kolektif suatu masyarakat termasuk pengalaman sejarahnya. Sebagai sistem simbol ia hadir sebagai seperangkat jaringan makna kompleks, yang dalam penggunaannya mampu membuat seseorang mampu berkomunikasi dan mengikat tali persaudaraan dan kebersamaan dengan sesama anggota komunitas. Karena itu jika ia dihancurkan atau dirusak sebagai sistem jaringan makna, dan juga makna yang mantap dari setiap kata-katanya, maka hubungan antara anggota sosial akan terganggu pula.
Tanpa bahasa, manusia tidak akan dapat berpikir dan menanggapi dunia sekitarnya dengan baik. Sebab tidak ada manusia yang dapat berpikir di luar bahasa. Schleiermacher benar ketika berpendapat bahwa dalam hal tertentu bahasa sama dengan pikiran. Kenyataan apa pun yang ada di dunia, penting atau tidak penting bagi manusia, tidak wujud dan memperoleh arti penting kecuali bilamana telah ditanggapi oleh manusia dengan pikiran dan bahasanya. Disintegrasi sosial boleh jadi dimulai dengan perpecahan etnik atau perikaian politik, tetapi kerusakan yang dialami sebuah bahasa tidak akan kalah besar ancamannya bagi disintegrasi sosial.
Demikianlah dampak globalisasi bagi perkembangan ekonomi dan sekaligus perkembangan kebudayaan, dapat digambarkan melalui penjelasan berikut ini: Dengan globalisasi yang ditingkatkan, diperluas, dan dipercepat mengikuti hitungan deret ukur, maka dunia dan kehidupan dan kehidupan di dalamnya dipaksa merubah atau menyesuaikan diri dengan kecepatan yang sama. Si lumpuh harus lari sama kencangnya dengan seorang sprinter handalan. Si miskin harus sama mampu dengan si kaya dalam memasukkan anaknya ke sekolah unggulan, yang uang mukanya harus dibayar lima kali lipat gaji yang diperolehnya sebulan.
Octavio Paz dalam bukunya yang sarat sindiran One Earth, Four or Five Worlds (1985) menulis: “Pencapaian kebendaan dan politis belum lagi disertai pencapaian kearifan yang lebih tinggi atau kebudayaan yang lebih dalam maknanya. Pemandangan ruhani Barat menyedihkan karena gambarnya hanya terdiri dari cita rasa murahan, pemujaan terhadap yang remeh temeh, lahiriah, lahirnya kembali kepercayaan pada tahyul, kemunduran cinta kasih, kenikmatan sekejap melalui layanan media komunikasi.”
Foucoult menggambarkan manusia telah mati dalam abad kita. Mati dalam arti bahwa sebagai subyek transendental yang sadar telah dikebiri bahkan dibuat mati suri. Sebagai gantinya dia dicetak menjadi subyek yang jiwanya pasif dan tunduk pada aturan-aturan abstrak dari luar dirinya. Segala peirlaku dan gerak-geriknya sepenuhnya dituntun oleh dorongan-dorongan tak sadar. Oleh karena ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang mempelajari manusia itu oleh Foucoult disebut sebagai arkeologi pengetahuan atau kajian kepurbakalaan tentang manusia. Seperti ilmu purbakala, obyek penelitian ilmu seperti itu ialah manusia yang telah lama mati, bahkan telah menjadi fosil seperti Pithecanthropus Erectus Paleo Javanicus alias manusia berdiri tegak dari pulau Jawa.
Sebelum saya bahas kecenderungan-kecenderungan pemikiran kebudayaan yang muncul di negeri ini, yang sedikit banyak mempengaruhi arah dan perkembangan kebudayaan kita, izinkanlah saya membaca sajak penyair Rusia Joseph Brodsky yang diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono seperti berikut:
Orang dan benda pun berdesak-desakan
Mata bisa pedih dan luka
Oleh orang maupun benda
Lebih baik tinggal saja dalam kelam
Sutardji Calzoum Bachri, penyair avant garde kita, lebih tajam lagi menyorot kondisi manusia (la humain condition) sekarang, seperti terasa dalam sajaknya:
hari ke hari
bunuh diri pelan pelan
hari ke hari
bertimbun luka di badan
hari ke hari
maut menabungku segobang segobang
Amuk, Kapak
Ada banyak kecenderungan dalam memahami dan memberi arti terhadap kebudayaan dan ada banyak pula kecenderungan dalam menghubungkan kebudayaan dengan modernitas dan perkembangan masyarakat. Di antara kecenderungan yang dominan ialah pemahaman yang berangkat dari model pembangunan positivistik yang dapat dirunut pada falsafah Comte. Dalam memahami sejarah masyarakat Comte menggunakan model pemahaman linear hirarkis atau gerak mendaki maju. Dalam falsafahnya Comte menggambarkan perkembangan masyarakat dari tahapan primitif menuju tahapan maju (progressif) secara evolusioner. Yaitu dari tahapan mitologi/teologi, melalui tahapan metafisika, akhirnya menuju tahapan puncak yang disebut tahapan falsafah positif. Kemajuan yang dicapai ini ditandai dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dibanding penguasaan teologi dan falsafah spekulatif atau metafisika.
Paradigma Comtian ini kemudian diubahsuai oleh Rostow untuk menerapkan tahap-tahap pertumbuhan ekonomi. Dalam bukunya The Stages of Economic Growth ie melihat perkembangan ekonomi berdasar sosok lahir dari prasarana alat-alat produksi dan pola konsumsi masyarakat. Menurutnya masyarakat berkembang melalui tahapan tradisional yang bertumpu paa pertanian menuju tahapan take off (tinggal landas) setelah melampui tahapan peralihan (transisi) yang ditandai muncul dan berkembangnya industrialisasi. Belakangan model dan paradigma serupa digunakan oleh Alvin Toffler dalam bukunya The Third Waves. Menurut Toffler, masyarakat post-industrial mengalami perkembangan hingga tahapan sekarang ini melalui tiga gelombang revolusi. Yaitu Revolusi Pertanian, Revolusi Industri, dan Revolusi Teknologi Tinggi yang melahirkan masyarakat berpola konsumsi tinggi disebabkan kemajuan di bidang elektronika, komputer, dan bioteknologi (Umar Kayam 1989).
Teori Rostow mengilhami banyak negara di dunia ketiga, termasuk Indonesia dalam menyusun strategi tahap-tahap pembangunannya, termasuk strategi kebudayaannya. Khususnya pada masa pemerintahan Orde Baru. Bahkan istilah take off yang diperkenalkan olehnya menjadi bahan percakapan dalam berbagai disiplin ilmu, serta dalam perbincangan sehari-hari berkenaan dengan pembangunan. Rancangan Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang telah dilaksanakan beberapa oleh rezim Orde Baru hingga keruntuhannya disusun berdasarkan teori Rostow. Dampaknya secara kultural dapat kita saksikan sampai sekarang, yang oleh Soerjanto Poespowardojo (1993) dijelaskan melalui empat istilah, yaitu reitifikasi, manipulasi, fragmentasi, dan indvidualisasi (dalam bidang ekonomi: privatisasi). Semua itu terjadi karena pembangunan kurang memberi perhatian pada dimensi moral dan budaya.
Reitifikasi, dari kata Latin res artinya benda, adalah timbulnya anggapan yang meluas bahwa kenyataan harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang bersifat lahiriah dan dapat diukur secara kuantitatif. Kepuasan akan diperoleh apabila seseorang dihadapkan pada barang yang bersifat kebendaan, angka, statistik, tingkah laku lahiriah, rupa, suara, ucapan dan lain-lain. Misalnya berhasilnya program Keluarga Berencana (KB) diukur dengan meningkatnyua penggunaan akseptor dan kondom, majunya kehidupan beragama ditandai dengan banyaknya pembangunan rumah ibadah, majunya sebuah universitas diukur dari seberapa banyak ijazah telah dikeluarkan.
Manipulasi semakin menjadi-jadi, bukan saja di bidang produksi dengan menggunakan jasa iklan. Tetapi juga dalam persepsi masyarakat tentang banyak hal berkat tayangan film dan sinetron di layar TV. Semakin seringnya adegan kekerasan dan mesum di layar TV membentuk persepsi, pemikiran, dan imaginasi masyarakat cenderung kepada hal-hal yang serba negatif dan permisif. Akibatnya lajunya proses pembangunan juga menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam masyarakat, misalnya pembagian kerja dan spesialisasi di lapangan keilmuan. Timbullah pengkotak-kotakan dalam masyarakat berdasarkan profesi dan spesialisasi. Pada saat yang sama gejala individualisasi kian meluas. Dewasa meluasnya sikap asosial, kecenderungan anarkis dan egosentris, merupakan tanda bahwa invidualisasi mengarah kepada hal-hal yang condong negatif. Ucapan-ucapan seperti “Masa bodoh!”, “Emangnya gue pikirin”, dan lain-lain adalah contoh semacam sikap asosial.
hanya sedikit yang memberi tempat terhadap warisan kebudayaan bangsa kita di masa lalu, termasuk tradisi dan warisan intelektualnya. Padahal pasal 32 UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa, “Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah”. Pemahaman kebudayaan seperti itu biasanya ahistoris dan adialektik serta berangkat dari paradigma rasionalisme dan neo-positivisme yang berkembang lama di Barat, yaitu pandangan keilmuan yang menekankan keutamaan rasio, penalaran kritis, obyektivitas dan ilmu-ilmu positivistic sebagai prasyarat kemajuan masyarakat dan budayanya.
Dalam cakrawala teori seperti itu, yang pada umumnya dijadikan model kebijakan pembangunan dan ancang-ancang strategi kebudayaan, tidak ada tempat bagi kebudayaan yang lahir dari fundasi-fundasi mitologi, agama dan metafisika. Karena itu jangan mengharapkan jika paradigma itu digunakan dalam penulisan sejarah dapat menerangkan lahirnya berbagai tradisi dan aluran pemikiran keagamaan, kakawin-kakawin besar yang muncul dalam kesusastraan Jawa Kuna, hikayat-hikayat dan syair-syair tasawuf agung yang muncul dalam sejarah kesusastraan Melayu. Jangan juga megharapkan dari paradigma seperti itu muncul buku sejarah yang mengangkat pemikiran falsafah dan keagamaan yang muncul di tangan lokal genius seperti Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Mpu Prapanca, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel, Yusuf Makassari, Arsyad al-Banjari, Abdul Samad al-Palimbangi, Raja Ali Haji, Nawawi al-Bantani, Yasadipra I dan II, Ranggawarsita, dan lain-lain.
Sejarah penjadian bangsa ini, menurut paradigma ini, dimulai pada awal abad ke-20 M. Teori, paradigma dan model pemahaman seperti itu pula diakui berangkat dari prinsip-prinsip universal, tetapi dalam kenyataan seperti dikatakan Habermas sebenarnya dibangun berdasarkan pengalaman dan norma-norma bangsa Eropa semata-mata. Dalam teori atau sejarah yang dikemas menurut skema seperti itu bangsa-bangsa Nusantara, yang kini disebut Indonesia, beserta kebudayaan, tradisi-tradisi keagamaan dan Weltanschauungnya, diberi tempat atau dipandang sebagai ‘subyek yang lain’ yang tidak punya peran apa-apa dalam sejarah peradaban umat manusia. Sebaliknya sejarah pemikiran dan gagasan bangsa Eropa secara istimewa dipandang sebagai sejarah dari ‘subyek’ satu-satunya pencipta dan pemeran utama dalam sejarah kemanusiaan.
Dapat dimengerti berdasarkan ini apabila Takdir Alisyahbana dalam Polemik Kebudayaan (1930an) berpendirian kebudayaan lama bangsa kita merupakan warisan zaman jahiliah atau zaman kegelapan, sedangkan sastrawan-sastrawan Angkatan 45 atau Gelanggang menyebutnya sebagai tradisi lapuk yang tidak perlu dilap-lap lagi, seraya menyatakan, “Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia”. Demikianlah semenjak itu, secara kultural bangsa kita diajari melihat dirinya sebagai orang lain. Padahal Iqbal mengatakan, tidak ada bangsa di dunia ini bisa maju dan bermartabat, jika hanya menjadi orang tumpangan di rumah kebudayaan bangsa lain.