Sejarah Sosiologi Pendidikan
Sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Sosiologi berasal dari kata “socius” yang berarti kawan atau teman dan “logis” yang berarti ilmu. Secara harfiah sosiologi dapat dimaknai sebagai ilmu tentang perkawanan atau pertemanan. Istilah sosiologi diperkenalkan pertama kali oleh August Comte (1798-1857) pada abad ke-19. istilah ini dipublikasikan melalui tulisannya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive”.
Sosiologi, oleh Comte dikatakan sebagai ilmu tentang masyarakat secara ilmiah (Faisal, tanpa tahun). Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang lahir pada saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Pitirim Sorokim (dalam Soekamto, 1999) menjelaskan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai: pertama, hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial, misalnya gejala ekonomi dengan agama, pendidikan dengan ekonomi, agama dengan pendidikan, pendidikan dan politik. Kedua, hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial, misalnya gejala biologis, geografis, iklim dan sebagainya. Ketiga, ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.
Sosiologi dapat digolongkan pada salah satu bentuk ilmu pengetahuan (sosial) atau social science. Oleh karena itu, Sosiologi juga mempunyai beberapa unsur pokok yaitu :
- Pengetahuan (knowledge)
- Tersusun secara sistematis
- Menggunakan pemikiran
- Dapat dikontrol atau dikritisi oleh orang lain
kenyataan sosial menunjukkan suatu perubahan yang terjadi begitu cepat dalam masyarakat. Perubahan sosial yang cepat tersebut terjadi di abad ke-19, sebagai akibat revolusi industri di Inggris. Akibat perubahan tersebut menurut Mc Kee (dalam Faisal, tanpa tahun) menyebabkan terjadinya apa yang dinamakian keterkejutan intelektual kelompok cerdik pandai yang salah satu diantaranya adalah para sosiolog.
Lester F. Ward dapat dikatakan sebagai pencetus gagasan timbulnya studi baru tentang Sosiologi Pendidikan. Gagasan tersebut muncul dengan idenya tentang evolusi sosial yang realistik dan memimpin perencanaan kehidupan pemerintahan (Vembriarto, 1993). John Dewey (1859-1952) secara formal dikenal sebagai tokoh pertama yang melihat hubungan antara pendidikan struktur masyarakat dari bentuk semulangan yang masih bersahaja. Secara formal, pada tahun 1910 Henry Suzzalo memberi kuliah Sosiologi Pendidikan di Teachers College University Columbia (Vembriarto, 1993). Pada tahun 1913, Emlie Durkheim telah memandang pendidikan sebagai suatu “social thing” (Ikhtiar sosial). Payne (1928) menjelaskan bahwa Sosiologi Pendidikan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi alat (mean) untuk mendeskripsikan dan menjelaskan institusi, kelompok sosial, dan proses sosial yang merupakan hubungan sosial di dalamnya individu memperoleh pengalaman yang terorganisasi.
Sosiologi Pendidikan di dalam menjalankan fungsinya untuk menelaah berbagai macam hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, harus memperhatikan sejumlah konsep-konsep umum. Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang masih muda dan belum banyak berkembang. Atas dasar tersebut dikalangan para ahli Sosiologi Pendidikan timbul beberapa kecendrungan yang berbeda yaitu :
- Golongan yang terlalu menitikberatkan pandangan pendidikan daripada sosiologinya
- Golongan Applied Educational (Sociology) terutama terdiri atas ahli-ahli sosiologi yang memberikan dasar pengertian sosial kultural untuk pendidikan
- Golongan yang terutama menitikberatkan pandangan teoritik
Tujuan Sosiologi Pendidikan
Sosiologi Pendidikan dalam perkembangannya mempunyai beberapa tujuan praktis, diantaranya adalah :
- Memberikan analisis terhadap pendidikan sebagai alat kemajuan sosial.
- Merumuskan tujuan pendidikan
- Sebagai sebuah bentuk aplikasi Sosiologi terhadap pendidikan
- Menjelaskan proses pendidikan sebagai proses sosialisasi
- Memberikan pengajaran Sosiologi bagi tenaga-tenaga kependidikan dan penelitian pendidikan
- Menjelaskan peranan pendidikan di masyarakat
- Menjelaskan pola interaksi di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat
Peletak Dasar Sosiologi
1. Ibnu Khaldun
2. Auguste Comte
Aguste Comte [1798-1857] adalah seorang filosof Perancis yang menjelaskan evolusi peradaban manusia dalam tiga tahapan, yaitu : teologi, metafisik dan positivisme. Teori Positivisme, mengatakan bahwa ilmu pengetahuan diperoleh hanya melalui pengamatan mendalam terhadap realitas fakta. Pemikiran Comte ini telah menumbuhkan komitmen pada Durkheim untuk selalu menganalisis seluruh fenomena sosial secara ilmiah.
3. Emilie Durkhem
David Emile Durkheim, lahir tanggal 15 April 1858 lahir di kota Epinal ibu kota bagian Vosges, Lorraine, Prancis bagian timur. bersama dengan Max Weber, diakui disebut sebagai Bapak Fase Teori Sosiologi Modern yang paling utama.
Durkheim keturunan Yahudi, dan beberapa dari nenek moyangnya adalah rabbi (guru), Pendeta Agama Yahudi, yang bekerja di Prancis sejak tahun 1784. Sesungguhnya Durkheim diharapkan menjadi seorang rabbi, mengikuti jejak ayahnya, namun pada kehidupan selanjutnya ia beralih perhatian pada pendidikan, filsafat dan sosiologi.
Sesudah mendapatkan pendidikan dasar dan lulus dengan gemilang, Durkheim melanjutkan studinya di Paris, mempersiapkan diri masuk di École Normale Superiéur, di mana nanti ia menemukan sahabat-sahabat yang setia sepanjang hayatnya. Suasana akademik yang bertingkat tinggi yang meliputi École Normale Superiéur itu, dengan mahasiswa pilihan, membangkitkan jiwa Durkheim secara penuh, untuk aktif berdiskusi, mengajukan argumentasi-argumentasi yang bernada politik, moral dan filsafati. Filsuf yang sangat berpengaruh pada Durkheim adalah A. Comte (Bapak Sosiologi). Pengaruh Comte pada Durkheim adalah bersifat formatif.
Durkheim membangun suatu kerangka berfikir yang luas untuk memberikan analisis sistem sosial yang tetap penting bagi sosiologi dan sejumlah disiplin ilmu lain yang berkaitan, khususnya antropologi hingga saat ini. Bahkan orang-orang yang pada dasarnya tidak sependapat dengannya tetap memandang Durkheim sebagai kerangka acuan utama.
Beberapa karya utama Emile Durkheim diantaranya The Division of Labour in Society (1893), The Rules of Sociological Method (1895), Suicide (1897) dan diakhiri dengan The Elementary Forms of The Religious Life (1912) serta sejumlah artikel, monografi dan beberapa makalah serta materi kuliahnya yang telah diterjemahkan dan dipublikasikan dalam bentuk buku berbahasa Inggris.
Sosiologi Durkheim ditandai oleh tegangan antar ilmu pengetahuan, kesusilaan, politik dan ideologi. Banyak dari pekerjaan ilmiahnya menampilkan perubahan moral dengan tujuan umumnya adalah untuk menggambarkan kondisi yang stabil ditengah-tengah masyarakat modern.
Pribadi Durkheim dapat dikatakan aneh. Dengan wajah yang tampak dingin dan keras, hati sanubarinya sangat halus. Kematian sahabatnya, Victor Hommay, akibat bunuh diri sangat memukul perasaan Durkheim, hingga ide tentang bunuh diri ini nanti menjadi salah satu unsur dalam teorinya tentang masyarakat. Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor.
Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antara sesama manusia, sesuatu yang berada di atas segala-galanya. Ia bersifat menentukan dalam perkembangannya. Hal-hal yang paling dalam jiwa manusia pun berada di luar diri manusia sebagai individu, misalnya kepercayaan keagamaan, kategori alam pikir, kehendak, bahkan hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal tersebut bersifat sosial dan terletak dalam masyarakat.
Masyarakat adalah suatu realitas yang bersifat sui generis, memiliki ciri-ciri khusus yang tidak ditemukan kesamaannya di seluruh mayapada ini. Pengertian “masyarakat” yang dimaksud Durkheim dan peranannya yang dimainkan dalam menganalisis tindakan-tindakan kemanusiaan, orang harus melepaskan diri dari pengertian abstrak dan orang harus lebih melihatnya dari penggunaan perspektif masyarakat itu.
Masyarakat merupakan sumber dan dasar segala-galanya yang di dalamnya individu sama sekali tidak mempunyai arti dan kedudukan. Hal-hal seperti kejahatan, sakit jiwa, kesusilaan, kompetisi, ekonomi, undang-undang dan sebagainya, semuanya diterangkan berdasarkan prioritas masyarakat. Masyarkat itu ada tidak tergantung pada anggota-anggota, melainkan terdiri sebagai suatu struktur adat istiadat, kepercayaan, sebagai suatu lingkungan hidup terorganisasi. Sebagaimana tampak dengan jelas setiap individu itu lahir dan hidup dalam satu lingkungan, berbicara satu bahasa, memiliki satu lembaga dan tanpa persetujuan si individu sejak waktu yang sangat dini dalam hidupnya, lingkungan telah membuktikannya dan memaksanya mengikuti arah tertentu. Meskipun dalam bahasa Prancis digunakan kata societe dan dalam bahasa Inggris society, masyarakat bagi Durkheim berakar pada kata Latin communitas, bukan societas.
Durkheim mengajukan tesis bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang hidup atau dinamik dan merupakan tempat kedudukan kehidupan moral. Ia bukan robot mekanik dan bukan pula sebuah organisme yang dibatasi oleh tubuh dan organ tubuh serta segala kemungkinan yang ada dari lingkungannya. Benang merahnya menunjukkan secara dialektiks bahwa suatu fenomena baik sosiologis maupun psikologis, relatif bebas dari matriksnya, dengan pengertian dapat disebut sebagai Essay dalam Spritualisme Sosiologis.
Seandainya saya di tanya tentang apa sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan bahasan Durkheim dalam sosiologinya itu dan apa pula garis pemikirannya, maka akan saya jawab: Yang dibahas oleh Durkheim adalah hubungan antara Rata-rata (Average), Normal dan Ideal serta konsepsinya tentang Syntesis Kreatif. Pertama, yang average ini membatasi pokok bahasan sosiologi; sedang yang kedua atau yang normal menunjukkan indeks utama sistem sosial Durkheim. Kedua faham ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya timbul dari konsepsi tertentu mengenai pokok bahasan dan merupakan bagian dari metodologi yang sama.
Rata-rata, Normal dan Ideal
Dengan segala keterbatasan yang penulis miliki dan kesulitan memperoleh bacaan tentang Emile Durkheim. Pada bagian ini penulis mencoba menelusuri benang merah hubungan antara Rata-rata, Normal dan Ideal.
Individu menurut konsep Durkheim adalah homodupleks, mengandung unsur saya dan kita. Ini adalah dua hal yang berbeda, bukan suatu sintesis yang berakar pada konsepsinya tentang masyarakat dan kekuatan-kekuatan penggerak yang terdapat di masyarakat tersebut.
Dalam penelitian beliau tentang bunuh diri (Suicide). Durkheim mengkritik sosiologi ahli statistik asal Belgia Quelete, karena ia menjelaskan kerutinan perilaku tertentu yang dihubungkan dengan masing-masing masyarakat dengan mempostulasikan suatu “manusia rata-rata”, yakni sebuah tipe kepribadian khas setiap masyarakat, dan tipe ini dijumpai dalam mayoritas individu.
Pengetahuan akan perilaku manusia rata-rata ini didapat dengan membalik proses yaitu dari mayoritas ke individu sehingga kerutinan diatribusikan dalam bentuk perilaku individu. Tipe kepribadian ini dijumpai dalam rata-rata individu. Rata-rata dan prototipe adalah satu.
Kalau begitu bagaimanakah pendapat Durkheim sendiri mengenai masalah keseragaman sosial atau social uniformity dan peranan individu dalam pembentukan keseragaman tersebut?
Durkheim mengatakan bahwa suatu gejala sosiologis berhubungan generalitasnya dapat mempunyai dua bentuk. Sesuatu yang umum dalam seluruh species: yang umum ini dijumpai setidaknya dalam sebagian besar “individu”. Diantara kedua istilah yang berdekatan ini terdapat beberapa variasi. Sedang variasi lain adalah perkecualian. Dan bahwa setiap penyimpangan dari bentuk standart ini akan berbahaya sekali (bisa menyebabkan kematian). Di sini perilaku yang sering terulang tidak saja disamakan dengan perilaku normal tetapi juga merupakan pertanda perilaku yang sehat.
Negarawan sendiri tidak dianjurkan merencenakan sesuatu yang lebih baik, suatu yang ideal bagi masyarakat di hari mendatang cukuplah mempertahankan apa adanya saja, jika keadaan ini dipandang sebagai keadaan masyarakat yang “umum = rata-rata = normal = sehat/ideal”
Ini mirip pendekatan klinis dokter yang dalam hal mendiagnosis keadaan organisme yang sedang ia tangani ia membandingkan dengan kondisi organisme yang sedang ditanganinya itu dengan kondisi rata-rata organisme dari usia dan jenis kelamin yang sama dengan menggunakan kriteria tingkat frekuensi keadaan rata-rata sebagai tolok ukur normalitas dan kesehatan.
Jika gejala sosial tertentu adalah normal dan umum bagi masyarakat tertentu maka mau tidak mau seseorang harus menerima gejala itu dan tidak dapat menerima gejala lainnya jika ia tidak bersedia merubah sistem sosial dan kondisi-kondisi eksistensinya. Pada tingkat analisis ini “desirability” mempunyai konotasi nilai guna yang artinya: “Sesuatu itu dilakukan dalam masyarakat tertentu karena ada gunanya”
Sintesis tidak saja membebaskan individu dari ikatannya yang telalu dekat kepada masyarakat tetapi juga membebaskan orang dari fungsi pengaruh dari sebab dan dunia ide dari aspek-aspek materil morfologinya. Kita dapat mengatakan bahwa kreasi membebaskan kreator dari ciptaannya maupun ciptaan itu dari ciptaannya jika pencipta dan ciptaannya itu dipandang sebagai konsep parlementer yang pengertian penuhnya hanya dapat dipahami bila keduanya dilihat dalam kaitan satu sama lain.
Beberapa contoh yang dikatakan Durkheim sebagai “sifat-sifat kreatif” yang akan lenyap antara lain krisis besar yang dialami Kristen, Reformasi, Renaisanse dan Revolusi Perancis, perstiwa-peristiwa tertentu “karena keadaan yang berbeda-beda” menghidupkan larangan-larangan sosial. Intensitas kehidupan sosial mengambil bentuk pertemuan privat dan publik yang berlangsung terus menerus di antara para anggotanya. Semakin besar intensitas kehidupan sosial maka semakin besarlah kemungkinan bahwa dari kumpulan ide-ide ini akan muncul ide-ide baru yaitu suatu cerminan yang dimurnikan dari momen historis yang unik ini.
Menurut Durkheim apa yang dipelajari oleh sosiolog, bukanlah kekuatan-kekuatan sosial iu sendiri tetapi tanda-tanda eksternal melalui mana kekuatan sosial tersebut menjadi tampak.
Setelah membaca dan mencoba menelaah ide-ide Durkheim tentang masyarakat, moral dan religi, dapatlah dikritisi bahwa ide-ide tersebut memilki kekuatan dan kelemahannya.
Makluk manusia itu mengembangkan aktivitas religi tidak karena ia kagum terhadap kekuatan-kekuatan alam, juga tidak karena ia mempunyai perasaan bahwa di belakang kegaiban alam ada suatu kekuatan sakti, juga tidak karena ia mempunyai di dalam pikirannya bayangan-bayangan abstrak tentang suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam, tetapi karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan yang timbul di dalam alam jiwa manusia karena pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.
Sentimen kemasyarakatan itu berupa kompleks perasaan-perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta dan sebagainya terhadap masyarakat dan disebabkan karena manusia merasakan kekuasaan dari padan anggapan-anggapan kolektif kepada segala kelakuan di dalam hidupnya. Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya merupakan pangkal dari segala kelakukan keagamaan manusia, yaitu tidak selalu berkobar-kobar di dalam alam jiwa manusia. Apabila tidak dipelihara maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan latent.
Teori Sosiologi Makro
1. Teori Struktural Fungsional
Melihat masyarakat sebagai sistem yang senantiasa dalam keadaan seimbang. Proses sosial bersifat kontinew dengan mengembangkan keselarasan.
Tokoh Talcot Person dan Robert K. Merton
Teori fungsionalisme struktural mengambil basis teoritis dari teori stratifikasi sosial yang diperkenalkan oleh Kingsley davis dan Wilbert Moore (1945). Namun dalam perkembangannya teori ini telah mengalami kemerosotan khususnya pada empat dekade terakhir dan akhirnya hanya bermakna historis. Teori struktural fungsional Talcot Person dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistim ”tindakan” yang disebut dengan AGIL. 1. Adaptation (adaptasi). 2. Goal attainment (pencapaian tujuan). 3 Integration (integrasi), 4. Latency (pemeliharaan pola).
Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton
Postulat tentang kesatuan masyarakat. Postulat ini berpendirian bahwa semua keyakinan dan praktik kultural dan sosial yang sudah baku adalah fungsional untuk masyarakat sebagai satu kesatuan maupun untuk individu oleh masyarakat. Postulat tentang fungsionalisme universal, bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial dan struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Postulat tentang indispensability, bahwa semua aspek masyarakat yang sudah baku tidak hanya mempunyai fungsi positif, tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai satu kesatuan.
2. Teori Konflik
Perbedaan cara pandang dan kepentingan masyarakat yang sangat kompleks menyebabkan terjadinya pertentangan dan perubahan proses sosial yang identik dengan proses perjuangan yang terus-menerus menuju sasaran.
Mengasumsikan sebuah konflik dalam masyarakat tercipta dengan adanya keinginan-keinginan untuk berkompetisi antar individu dan kelompok. Konflik merupakan fenomena yang senantiasa ada dalam kehidupan sosial Hasilnya: masyarakat senantiasa ada dalam perubahan yang terus-menerus. Konflik terjadi karena sesuatu yang berharga dalam masyarakat tidak terdistribusi secara merata dan adil. Beberapa ahli berpendapat: sebelum sistem ekonomi dan politik masyarakat berubah, reformasi pendidikan tidak akan terwujud. Konflik Menunjuk pada perjuangan yang dilakukan setiap anggota masyarakat untuk mempertahankan, meningkatkan, dan menjaga posisi sosial mereka. Konflik bukanlah proses destruktif (merusak).
3. Teori Marxian
Peletak dasar bagi teori konflik pada kesenjangan dan eksploitasi terhadap kondisi sosial para pakerja. Kelompok “si kaya” dan “si miskin” yang bersaing dalam masyarakat merupakan situasi ketegangan yang ajeg, yang dapat mengarah pada kemungkinan adanya perlawanan.
Karl marx merupakan salah satu penganut aliran marxisme. Ia adalah keturunanYahudi yang dilahirkan di Jerman pada tahun 1818 dan meninggal dunia pada tahun 1883.
Karl marx mengemukakan pendapatnya tentang manusia, bahwa manusia baginya adalah seseorang yang tidak berarti apa-apa. Arti manusia dikaitkan dengan masyarakat. Masyarakat harus berkembang, dan perkembangan masyarakat disebut sebagai sejarah. Menurut Marx yang menjadi dorongan perkembangan masyarakat adalah yang menjadi dorongan jalan sejarah yaitu kekuatan materia yang ada di dalam masyarakat itu. Konsep ini juga memperjelas bahwa Marx sangat membedakan antara manusia dengan binatang. Perbedaan ini terletak pada cara atau usaha dalam mencapai keperluan hidupnya. Manusia dalam mencapai keperluan hidupnya harus mencari dan menggunakan alat (Poedjawijatna, 1983:168).
Asumsi dasar pemikiran Karl Marx adalah bahwa kepentingan manusia adalah untuk mempertahankan materi. Pandangan Marx yang agak ekstrem determinase sosial atas tingkah laku individu, bahwa manusia pada hakekatnya mengejar kepentingannya sendiri. Marx percaya bahwa manusia memiliki potensi untuk menjadi egois atau tidak egois bergantung dari sifat hubungan-hubungan tempat ia lahir atau dimana ia berada (Mof, 1997:1).
Menurut Marx (dalam Lawang, 1986:120) kehidupan individu dan masyarakat kita didasarkan pada asas ekonomi. Antara lain berarti bahwa institusi-instritusi politik, pendidikan, agama, ilmu pengetahuan, seni, keluarga, dan sebagainya, bergantung pada tersedianya sumber-sumber ekonomi. Hal ini berarti juga bahwa institusi-institusi ini tidak dapat berkembang dengan tuntutan-tuntutan system ekonomi. Pendirian dan pemeliharaan perpustakaan dan museum sebagai tempat menyimpan ciptaan-ciptaan budaya, berhasilnya suatu tim atletik, terwujudnya suatu kebijakan politik, kesenangan keluarga dalam suatu perjalanan liburan, suatupenelitian seorang ilmuwan, semua ini dan kegiatan lain yang tidak terbilang jumlahnya tidak dapat dilaksanakan tanpa sumber materiil yang diperoleh lewat kegiatan ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi Karl Marx berorientasi pada materi. Karl marx tidak mengakui adanya kebebasan individu, tetapi kebebasan pribadi dibatasi oleh kelompok elite yang mengatas namakan rakyat banyak. Paham ini menurt saya kurang cocok apabila dimplikasikan pada pendidikan di Indoneia karena paham yang dianut Karl Marx berbeda dengan paham yang dianut Indonesia yaitu pancasila.
Oleh karena itu, pandangan Karl Marx tidak sesuai apabila diterapkan di Indonesia, karena Indonesia menganut filosofi manusia yang memandang manusia secara utuh. Bahkan Indonesia telah jelas-jelas menolak pandangan atau pendirian materialisme. Hal tersebut tertuang dalam pandangan hidup Pancasila yang dijabarkan lebih lanjut dalam UUD 1945, dan GBHN yang dituangkan dalam Tap. No. IV/MPR/1973 dan IV/MPR/1978 dengan poin-poin pendirian sebagai berikut:
- Kita menolak pendirian materialisme, yang menganggap manusia sebagai materi semata-mata.
- Kita juga tidak dapat menerima visi Plato dengan dualismenya.
- Pendapat Aristoteles bahwa jiwa manusia akan musnah pada saat kematian manusia tidak sesuai dengan pendapat kita.
Kita menegaskan bahwa manusia itu makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, manusia itu makhluk jasmani maupun rohani (Budiman, dkk. 1986:124). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat menentang pendapat Karl Marx. Bahkan pendapat Karl Marx apabila diterapkan pada pendidikan di Indonesia tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang di dalam UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi Karl Marx sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia, khususnya dibidang pendidikan. Sebab, tujuan pendidikan di Indonesia bukan untuk memperoleh material belaka tetapi untuk membentuk manusia seutuhnya yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Metode Penelitian Sosiologi Pendidikan (Teori Mikro)
1. Teori Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek. Fenomenologi memiliki peran dan posisi dalam banyak konteks, diantaranya sebagai sebuah studi filsafat, sebagai sikap hidup dan sebagai sebuah metode penelitian.
Fokus Penelitian Fenomenologi
Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya.
Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi
Teknik “utama” pengumpulan data: wawancara mendalam dengan subjek penelitian. Kelengkapan data dapat diperdalam dengan : observasi partisipan, penulusuran dokumen, dan lain-lain.
Tahap-Tahap enelitian Fenomenologi
Pra-penelitian
Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti
Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian
Proses Penelitian Fenomenologi
Melakukan wawancara dengan subjek penelitian dan merekamnya.
Analisis Data Fenomenologi
a. Mentranskripsikan rekaman hasil wawancara ke dalam tulisan.
b. Bracketing (epoche): membaca seluruh data (deskripsi) tanpa prakonsepsi.
c. Tahap Horizonalization: menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik.
d. Tahap Cluster of Meaning: rincian pernyataan penting itu diformulasikan ke dalam makna, dan dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu. (Textural description, Structural description)
e. Tahap deskripsi esensi: mengintegrasikan tema-tema ke dalam deskripsi naratif.
2. Teori Interaksi Simbolis
Teori teraksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa pada abad 19 kemudian menyeberang ke Amerika terutama di Chicago. Namun sebagian pakar berpendapat, teori interaksi simbolik khusunya George Herbert Mead (1920-1930an), terlebih dahulu dikenal dalam lingkup sosiologi interpretatif yang berada di bawah payung teori tindakan sosial (action theory), yang dikemukakan oleh filosof sekaligus sosiolog besar Max Weber (1864-1920).
Meskipun teori interaksi simbolik tidak sepenuhnya mengadopsi teori Weber namun pengaruh Weber cukup penting. Salah satu pandangan Weber yang dianggap relevan dengan pemikiran Mead, bahwa tindakan sosial bermakna jauh, berdasarkan makna subyektifnya yang diberikan individu-individu. Tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan kerenanya diorientasikan dalam penampilan (Mulyana,2002).
Dalam perkembangan selanjutnya teori interaksionisme simbolik ini dipengaruhi beberapa aliran diantaranya adalah mazhab Chicago, mazhab Iowa, pendekatan dramaturgis dan etnometodologi, diilhami pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme.
Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiiliam James, Charles Peirce dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan : Pertama, realitas sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan ketika kita bertindak terhadap dunia. Kedua, manusia mengingat dan melandaskan pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka. Ketiga, manusia mendefenisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka. Keempat, bila kita ingin memahami orang yang melakukan tindakan (actor), kita harus berdasarkan pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia. Sementara aliran behaviorisme yang dipelopori Watson berpendapat bahwa manusia harus dipahami berdasarkan apa yang mereka lakukan (Mulyana, 2001: 64).
Jika ilmuwan lain seperti James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Chooley , John Dewey, William I. Thomas dikenal sebagai perintis interaksionisme simbolik, maka G. H. Mead dikenal sebagai ilmuwan yang paling populer sebagai peletak dasar teori interaksionisme simbolik ini.
Pada awalnya, Mead Mead memang tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku. Para mahasiswanya lah yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society. Herbert Blumer, sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik. Sebuah terminologi yang ingin menggeambarkan apa yang dinyatakan oleh Mead bahwa “the most human and humanizing activity that people can engage in—talking to each other.”
Asumsi Teori
Ralph LaRossa dan Donald C.Reitzes (dalam West dan Turner, 2007: 96) mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik, yang memperlihatkan tiga tema besar, yakni: (1) Pentingnya makna bagi perilaku manusia, (2) Pentingnya konsep mengenai diri, dan (3) Hubungan antara individu dan masyarakat.
Tentang relevansi dan urgensi makna, Blumer (1969) memiliki asumsi bahwa:
- Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.
- Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia
- Makna dimodifikasi dalam proses interpretif.
Blumer mengemukakan tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik yang berhubungan dengan meaning, language, dan thought. Premis ini kemudian mengarah pada kesimpulan tentang pembentukan diri seseorang (person’s self) dan sosialisasinya dalam komunitas (community) yang lebih besar.
Meaning (Makna): Konstruksi Realitas Sosial
Blumer mengawali teorinya dengan premis bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah obyek atau orang lain ditentukan oleh makna yang dia pahami tentang obyek atau orang tersebut.
Languange (Bahasa): The source of meaning
Seseorang memperoleh makna atas sesuatu hal melalui interaksi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna adalah hasil interaksi sosial. Makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Bahasa adalah bentuk dari simbol. Oleh karena itulah teori ini kemudian disebut sebagai interaksionisme simbolik.
Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama yang berguna untuk membedakan satu obyek, sifat, atau tindakan dengan obyek, sifat, atau tindakan lainnya. Dengan demikian premis Blumer yang kedua adalah Manusia memiliki kemampuan untuk menamai sesuatu. Simbol, termasuk nama, adalah tanda yang arbitrer. Percakapan adalah sebuah media penciptaan makna dan pengembangan wacana. Pemberian nama secara simbolik adalah basis terbentuknya masyarakat. Para interaksionis meyakini bahwa upaya mengetahui sangat tergantung pada proses pemberian nama, sehingga dikatakan bahwa Interaksionisme simbolik adalah cara kita belajar menginterpretasikan dunia.
Thought (Pemikiran): Process of taking the role of the other
Premis ketiga Blumer adalah bahwa, “an individual’s interpretation of symbol is modified by his or her own thought processes.” Interaksionisme simbolik menjelaskan proses berpikir sebagai inner conversation, Mead menyebut aktivitas ini sebagai minding. Secara sederhana proses menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut. Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi secara simbolik. Bahasa adalah software untuk bisa mengaktifkan mind.
Kontribusi terbesar Mead untuk memahami proses berpikir adalah pendapatnya yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan yang unik untuk memerankan orang lain (take the role of the other). Sebagai contoh, pada masa kecilnya, anak-anak sering bermain peran sebagai orang tuanya, berbicara dengan teman imajiner, dan secara terus menerus sering menirukan peran-peran orang lain. Pada saat dewasa seseorang akan meneruskan untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain dan bertindak sebagaimana orang itu akan bertindak.
Penganut interaksionisme simbolik menyatakan bahwa self adalah fungsi dari bahasa. Tanpa pembicaraan tidak akan ada konsep diri, oleh karena itu untuk mengetahui siapa dirinya, seseorang harus menjadi anggota komunitas. Merujuk pada pendapat Mead self (diri) adalah proses mengkombinasikan I dan me. I adalah kekuatan spontan yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah bagian dari diri yang tidak terorganisir. Sementara me adalah gambaran diri yang tampak dalam the looking-glass dari reaksi orang lain.
Me tidak pernah dilahirkan. Me hanya dapat dibentuk melalui interaksi simbolik yang terus menerus—mulai dari keluarga, teman bermain, sekolah, dan seterusnya. Oleh karena itulah seseorang membutuhkan komunitas untuk mendapatkan konsep dirinya. Seseorang membutuhkan the generalized other, yaitu berbagai hal (orang, obyek, atau peristiwa) yang mengarahkan bagaimana kita berpikir dan berinteraksi dalam komunitas. Me adalah organized community dalam diri seorang individu.
Interaksi simbolik pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blummer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert
Mead (gurunya Blummer) yang kemudian di modifikasi oleh Blummer untuk tujuan tertentu.
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. (Mulyana, 2003 : 71)
Menurut teoritis interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan symbol-simbol . Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan symbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interprestasi mereka atas dunia sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau structural. Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.(Mulyana, 2003 :71)
Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbolsimbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vocal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokal yang potensial menjadi seperangkat symbol yang membentuk bahasa. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap symbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya.
Dalam bukunya Deddy Mulyana, dengan judul Metodologi Penelitian Kualitatif suatu simbol disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu membangkitkan pada individu yang menyampaikannya, respons yang sama seperti yang juga akan muncul pada individu yang dituju .
Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blummer mengacu pada tiga premis utama, yaitu :
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarakana makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain, dan
3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. (Kuswarno, 2008 : 22)
3. Teori Etnografi
Penutup
Sosiologi ialah pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara sesame manusia ( individu dan individu ), antara individu dengan kelompok, serta sifat perubahan-perubahan dalam lembaga-lembaga dan ide-ide sosial.
Latar belakang timbulnya sosiologi pendidikan ialah disebabkan karena masyarakat mengalami perubahan sosial yang cepat. Perubahan sosial itu menimbulkan cultural lag. Cultural lag ini merupakan sumber masalah sosial dalam masyarakat. Masalah sosial itu di alami oleh dunia pendidikan. Lembaga pendidikan tidak mampu mengatasinya kemudian ahli sosiologi menyumbangkan pemikiran-pemikirannya untuk memecahkan masalah itu, maka lahirlah sosiologi pendidikan.
Aliran-aliran besar dalam sosiologi antara lain yaitu struktural fungsionalis, analitis, modernisasi international, positivistik.