Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi

Perkembangan Teori Komunikasi Dalam Perspektif Antropologi 
Wilbur Schramm, salah satu yang dianggap sebagai founding father ilmu komunikasi pernah mengandaikan bahwa ilmu ini layaknya sebuah oase di gurun pasir; banyak kafilah yang datang, pengembara yang melintas, namun sedikit saja yang memutuskan untuk tinggal (1980). Pengandaian ini salah satunya dimaknai betapa ilmu komunikasi merupakan bidang yang hiruk pikuk oleh berbagai disiplin dan persepktif untuk pada gilirannya menemukan state of the art. 


Perspektif adalah cara untuk melihat atau memandang fenomena tertentu (Miller, 2005: 1). Sementara Griffin (2003: 475) melihat perspektif merupakan istilah yang semakna dengan standpoint, viewpoint, outlook, dan position. Semua istilah ini mengarahkan pada sebuah lokasi khusus dalam ruang dan waktu di mana pengamatan dilakukan dengan mengacu pada nilai-nilai atau sikap-sikap tertentu; sebuah tempat dalam ruang dan waktu untuk memandang dunia di sekitar kita. Sedang Littlejohn (2002: 165), mengutip Barnett Pearce, mengartikan perspektif sebagai satu cara melihat atau memikirkan sesuatu. Dari beberapa sumber di atas, saya memahami perspektif sebagai cara memandang suatu fenomena berdasarkan kerangka konsep atau nilai dalam konteks ruang dan waktu tertentu.


Berdasar pemahaman ini, maka bisa diuraikan lebih lanjut bahwa perspektif memiliki unsur seperti cara pandang yang paling pokok, nilai atau sikap serta konteks ruang dan waktu yang membedakannya dari perspektif yang lain terhadap setiap sesuatu yang tengah dihadapinya. Selanjutnya, perspektif berfungsi memberikan landasan pijak maupun yang menentekan dari sisi mana suatu fenomena akan dipandang, atau memberikan “kacamata” yang nantinya menentukan akan seperti apa fenomena itu dilihat.


Perspektif berbeda dari definisi maupun teori. Teori, dalam kata-kata yang digunakan Littlejohn (2002: 19) adalah seperangkat konsep dan penjelasan yang terorganisir atas suatu fenomena tertentu. Bila demikian adanya, yang membedakan perspektif dari teori adalah bahwa teori merupakan penjelasan-penjelasan maupun konseptualisasi dari fenomena yang diamati, sehingga teori di dalamnya berisi tentang, misalnya penjelasan relasi antarkonsep maunpun antarfenomena. Adapun perspektif tidaklah menjelaskan relasi itu, namun lebih menyediakan cara pandang ketika berhadapan dengan suatu fenomena.


Adapun Miller (2005: 3) mengatakan bahwa orang mendefinisikan istilah di dalam cara-cara yang berbeda, dan di dalam perbedaan definisi itu akan dan dapat mempunyai dampak yang besar terhadap apa yang kita pahami terhadap masalah itu. Sebuah definisi, lazimnya tidak melihat salah atau benar. Atau pun mengklaimnya sebagai satu-satunya definisi yang benar, melainkan bagaimana tekanan dan cakupan yang diberikan di dalamnya. Sebuah definisi mencakup suatu aspek, tetapi mengabaikan aspek lainnya. Singkatnya, definisi memberikan penjelasan atas fenomena, sedangkan persepktif menawarkan bagaimana fenomena harus dilihat.


Menggunakan definisi yang digunakan Koentjaraningrat (2002: 15), antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Definisi ini menekankan pada keanekaragaman untuk kemudian mengelompokkan manusia berdasarkan persamaan-persamaan tertentu berdasarkan fisik maupun kebudayaannya itu. “Keanekaragaman” itulah yang dijadikan perspektif antropologi dalam tulisan ini. 


Ada empat subdisiplin antropologi, yaitu (1) Biological/Physical Anthropology, yang mencakup subdisiplin anthropometrics, forensic anthropology, osteology, dan nutritional anthropology; (2) Socio/cultural Anthropology, yang mencakup psychological anthropology, folklore, anthropology of religion, ethnic studies, cultural studies, anthropology of media and cyberspace, dan study of the diffusion of social practices and cultural forms; (3) Archaeology, mencakup prasejarah dan masa awal kebudayaan, kecenderungan pokok dalam evolusi kebudayaan, teknik untuk menemukan, mengangkat, menentukan umur dan analisis terhadap materi yang berasal dari masyarakat di masa lalu; dan (4) Linguistic Anthropology, menekankan pada arti penting pengaruh sosiokultural, komunikasi nonverbal, dan struktur, fungsi serta sejarah dari bahasa, dialek, pidgins, dan creoles. Termasuk dalam subdisiplin ini adalah anthropological linguistics, sociolinguistics, cognitive linguistics, semiotics, discourse analysis, dan narrative analysis.


Perkembangan Teori Komunikasi
Menarik bahwa dalam berbagai agama, genesis (proses penciptaan awal manusia) kerap dijelaskan dengan perspektif antropologi komunikasi yang kental. Ada mufasir – ahli tafsir Al Qur’an – yang melihat bahwa sebenarnya yang menentukan Adam sebagai manusia pertama adalah kemampuannya untuk melakukan komunikasi. Ini bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh (2: 30-33), bahwa ketika diciptakan, Tuhan “mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya” (ayat 31, garis miring dari saya).


“Nama-nama” merupakan terjemahan dari kata asmâ’, bentuk plural dari ism, yang dalam bahasa Inggris adalah sign atau symbol. Dari sini kemudian diartikan bahwa Adamlah yang pada mulanya memiliki kemampuan untuk memproduksi sistem tanda.


Dengan sistem penandaan yang dibuatnya itu, dimungkinkan bagi “spesies” Adam ini untuk berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan, mengkonservasi pengalaman untuk ditransformasikan kepada individu atau komunitas lain, baik kepada yang memiliki dimensi waktu yang sama, ataupun yang hidup sesudahnya. Atas dasar itulah maka, secara antropologi lingusitik, Adam menjadi “manusia pertama” dalam pengertian “manusia sempurna” (homo sapiens) pertama, karena kemampuannya menggunakan sistem tanda itu.


Selanjutnya akan dijelaskan perspektif antropologi perkembangan ilmu komunikasi dalam beberapa periode yang dikenal sampai saat ini.

1. Tahap Awal sampai Tahun 1930-an.
Periode ini merupakan gabungan dari fase fragmentasi sebagaimana yang dibuat oleh Delia (1900-1940) dan fase awal (early communication study) dan perkembangan speech & journalisme tahun 1900 – 1930-an menurut Ruben dan Davis. Berikut ini adalah beberapa hal yang menarik dari masa itu untuk dilihat dari perspektif antropologi.


Ruben dan Davis (hal. 22) menjelaskan bahwa masa Yunani merupakan era demokrasi awal, di mana telah dikembangkan bentuk pemerintahan demokratis. Berbagai bidang kehidupan masyarakat, mulai dari bisnis, pemerintahan, hukum dan pendidikan kesemuanya disampaikan secara oral. Atas dasar itulah, maka mulai berkembang retorika sebagai bentuk persuasi. 


Secara arkeologis, artefak maupun situs dari zaman Yunani yang sampai sekarang masih ada tampaknya memang menunjukkan suasana demokrasi berbasis komunikasi oral itu. Misalnya bila kita melihat susunan ruang senat di Atena yang formasi tempat duduk dibuat melingkar (radial) dan berundak. Dengan susunan yang demikian, maka pembicaraan di dalam forum senat ini memungkinkan untuk terjadinya suasana yang dialogis di antara para senator. Ini berbeda dengan bentuk yang berhadap-hadapan dua arah yang mengindikasikan adanya relasi kekuasaan tertentu. Pada keraton di Jawa, misalnya, ruang sitihinggil yang menjadi pertemuan antara raja dengan rakyat merupakan ruangan segi empat di mana ada satu kursi (singgasana) raja, sementara di arah yang berlawanan adalah tempat kawula (rakyat) yang ngléséh (duduk tampa kursi dan alas) di bawah raja. Ini tentu mencerminkan suasana yang feodalistik.


Sistem hukum saat itu juga sudah mengenal pengadilan dengan pembela dan juri yang jumlahnya sampai ratusan (ibid.: hal. 22). Pengaduan dan gugatan hukum merupakan hal yang sudah lazim. Bagi pembela, misalnya, kemampuannya melakukan public speaking menjadi persyaratan mutlak. Itulah mengapa retorika kemudian menarik minat banyak orang untuk mempelajarinya.


Tradisi komunikasi lisan yang kuat juga ditunjukkan dengan banyaknya ditemukan folklore yang berasal dari masa ini. Wujudnya adalah mitologi Yunani. Sampai sekarang, mitos yang berasal dari dari masa masih digunakan secara luas, utamanya digunakan untuk memberikan istilah bagi fenomena tertentu. Di dalam psikologi, misalnya muncul konsep oedipus complex dan narcisme untuk menggambarkan kejiwaan yang mencintai ibu dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Mitologi tentang Kotak Pandora dan Kuda Troya sering digunakan dalam, meski tidak terbatas hanya, dunia politik. 


Pada masa kekaisaran Romawi berbeda lagi. Situasi politik yang berkembang bukan lagi demokratis, melainkan aristokrasi dengan orientasi emperium dan ekspansi wilayah. Persuasi masih menjadi sesuatu yang penting, namun lokasinya tidak lagi di dalam senat maupun pengadilan, karena keputusan politik dan hukum ditentukan sepenuhnya oleh kaisar, namun berpindah ke dalam teater. Karenanya, wujud persuasi adalah drama.


Colosseum merupakan bentuk ‘teater’ yang menarik untuk diperhatikan dalam hubungannya dengan komunikasi. Colosseum adalah tempat penyelenggaraan sebuah “drama” pertunjukan yang spektakuler, yaitu sebuah pertarungan antara binatang (venetaiones), pertarungan antara tahanan dan binatang, eksekusi tahanan (noxii), pertarungan air (naumachiae) dengan cara membanjiri arena, dan pertarungan antara gladiator (munera). Namun sebenarnya tempat ini juga merupakan tempat berlangsungnya drama politik di mana kaisar hendak menunjukkan kekuasaan dengan memberikan pertunjukkan yang sering bersifat intimidatif kepada rakyatnya. Ini, sekali lagi menunjukkan bahwa retorika menjadi bentuk komunikasi yang penting pada masa itu.


Baik pada masa Yunani maupun Romawi, mengingat pentingnya retorika bagi kepentingan publik, patut diduga telah dikembangkan menu-menu atau nutrisi tertentu (nutritional anthropology) yang dimaksudkan untuk menghasilkan suara yang lantang, sehingga akan menopang keberhasilan retorika. Dugaan ini diajukan karena di Jawa, para pesinden (penyanyi) yang mengiringi karawitan dalam pementasan kesenian tradisional seperti wayang kulit atau ketoprak, melakukan diet atau konsumsi makanan tertentu. Di samping juga ada perlakuan tertentu terhadap organ vokal. Misalnya dengan melakukan gurah (mengeluarkan lendir dari rongga dada melalui hidung dengan ramuan tertentu) secara rutin untuk menjaga kualitas suaranya. Belakangan metode ini diadopsi oleh para qari/qariah.


Kajian komunikasi meredup pada era Pertengahan dan Pencerahan, disebabkan memudarnya sistem demokrasi dan tradisi oral. Bahkan pada akhir abad ke-14, di mana teori komunikasi sebelumnya dikembangkan dalam retorika, sekarang dikaji sebagai bidang keagamaan.


Namun demikian, gagasan Habermas (1989) tentang ruang publik di Eropa pada masa ini memiliki warna antropologi yang kental. Ketika ia berbicara tentang transformasi ruang publik pada masyarakat borjuis Eropa pasca revolusi industri, ia melihat bahwa kehadiran pers ternyata telah menggeser keberadaan ruang publik itu. 


Sebelumnya, demikian Habermas, ruang komunikasi publik terletak di saloon dan coffee house. Di situlah diskusi, perdebatan dan pembentukan opini atas isu-isu publik terjadi. Orang datang ke bar tidak sekadar untuk berkumpul, namun juga untuk mendiskusikan isu politik, misalnya, yang sedang berlangsung. Persuasi dan retorika, karenanya, terjadi dalam komunikasi oral di tempat itu.


Kehadiran media massa pers kemudian merubah pola komunikasi yang demikian. Perdebatan politik tidak lagi dilakukan di tempat “tradisional” semacam itu, namun bergeser ke media massa. Koran memfasilitasi pembentukan opini publik dalam skala ruang yang lebih luas.

2. Era Tahun 1940-1950
Oleh Ruben, masa ini disebutnya sebagai “interdisciplinary growth” bagi perkembangan ilmu komunikasi. Yang mencirikan adalah munculnya sejumlah ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sosial turut mengembangkan teori komunikasi yang melampaui batas ilmu asal mereka.


Perspektif antropologi yang digunakan pada masa ini misalnya adalah ketika dikembangkan riset tentang posisi dan jarak tubuh dan gesture dalam kebudayaan tertentu, yang kemudian dikenal dengan expectancy violations theory. Kebudayaan yang berbeda akan menafsirkan jarak personal secara berbeda pula. Judee Burgon, misalnya, mendefinisikan ruang personal (personal space) sebagai ruang yang diinginkan oleh individu untuk menjaga jarak dengan orang lain. Menurutnya, ukuran dan bentuk personal space itu ditentukan oleh norma budaya dan kehendak individu.


Di sisi lain, Edward Hall, antropolog dari Illinois Institute of Technology, menggunakan istilah proxemic untuk menyebut penggunaan jarak sebagai elaborasi budaya. Interpretasi akan jarak ini, menurutnya, merupakan sesuatu yang tidak disadari oleh individu. Ia mengidentifikasi ada empat jarak proxemic dalam budaya Amerika, yaitu intimate (0-18 inci), personal (18 inci – 4 kaki), sosial (4-10 kaki), dan publik (lebih dari 10 kaki).


Riset antropologi terhadap bidang komunikasi semacam itu sudah dilakukan oleh berbagai ahli dari disiplin lain, meski tidak memiliki label sebagai penelitian komunikasi.


3. Era Tahun 1960-an
Era ini disebut sebagai era integrasi yang ditandai oleh adanya sintesis pemikiran dari retorika, jurnalistik dan media massa dengan disiplin dari ilmu sosial lainnya. Gejala komunikasi menjadi perhatian penting dalam berbagai disiplin ilmu.


Dalam pendapat Baran & Davis (hal. 26), salah satu karya yang menjadi landmark bagi era ini adalah Diffusion of Innovation (Rogers, 1962) yang berbicara tentang teori difusi, yaitu penjelasan tentang bagaimana proses gagasan baru dan inovasi teknologi dikenalkan sampai diadaptasi oleh kelompok, organisasi atau masyarakat.


Munculnya teori difusi ini tampaknya menjadi penanda penting integrasi ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lain, utamanya bila melihat situasi era itu yang sudah memasuki ketegangan politik dan ideologi blok-blok yang terlibat dalam Perang Dingin di satu sisi, dan menguatnya paradigma pembangunan (developmentalisme) dalam bidang ekonomi dan sosial negara-negara yang baru terlepas dari penjajahan dan cenderung terpengaruh oleh Blok Barat dalam peta Perang Dingin itu.


Selain teori difusi, yang juga dipublikasi dengan nafas sejenis adalah misalnya tulisan Daniel Lerner (1958), The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East, terjemahan Indonesia berjudul Memudarnya Masyarakat Tradisional (1983) yang berbicara tentang bagaimana modernisasi dalam masyarakat di Timur Tengah salah satunya ternyata dipengaruhi oleh (media) komunikasi yang berkembang di tengah masyarakat.


Dari perspektif antropologi, kedua tema itu, yaitu difusi dan modernisasi, melihat bahwa masyarakat dengan kebudayaan beserta nilai yang dihayatinya serta pola komunikasi yang ada menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Proses perubahan sosial (termasuk pembangunan) hanya berhasil bila aspek kebudayaan ini diperhatikan secara sungguh-sungguh.


Dalam teori difusi, misalnya, pola dan jenis kepemimpinan ternyata mempengaruhi kesediaan anggota kelompok untuk melakukan adopsi dan inovasi tertentu. Sementara dalam proses modernisasi, sebagaimana dijelaskan Lerner, aspek kebudayaan setempat bisa dipengaruhi oleh kehadiran media komunikasi tertentu. Media bisa dimanfaatkan untuk melakukan perubahan sosial. Koentjaraningrat (1990) menyebut hal yang demikian semacam memiliki warna antropologi terapan dan antropologi pembangunan – menggunakan pemahaman antropologis untuk perlakuan tertentu, termasuk perubahan sosial dan pembangunan.


Pada era ini juga, dalam catatan Baran dan Davis, mulai dikembangkan antropologi lingusitik, sekaligus mengemuka apa yang dikenal sebagai komunikasi antarbudaya (intercultural communication).


4. Era Tahun 1970-an hingga Awal Tahun 1980-an
Era ini merupakan era pertumbuhan dan spesialisasi, di mana dalam ilmu komunikasi muncul bidang semacam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi politik, komunikasi internasional dan komunikasi interkultural. Demikian juga profesi di dalam bidang komunikasi. Pertumbuhan industri komunikasi dan media yang mulai melebar juga terjadi di era ini.


Pendekatan antropometrik dari antropologi menemukan relevansinya dalam era industri komunikasi. Televisi, salah satu media yang skala industrinya paling pervasif di masa itu, menggunakan ukuran-ukuran tertentu untuk menempatkan orang pada posisi tertentu. Untuk presenter, misalnya, ukuran tinggi badan menjadi penting. Demikian juga bentuk wajah yang camera-face. Untuk itu, kemudian dikembangkan oleh para ahli tentang perbandingan ukuran dan proporsi antara, misalnya, hidung, mata, kening dan pipi. Kemenarikan, kemudian ditentukan oleh keseimbangan hasil pengukuran tadi.


Tidak hanya dalam industri visual, pendekatan ini juga diterapkan dalam komunikasi pemasaran dan public relations, misalnya. Bahwa mereka yang ada pada lini untuk melakukan penjualan langsung (direct selling), semacam sales promotion girls, atau yang ada pada posisi untuk melakukan layanan dengan konsumen (misalnya front officer) memerlukan bentuk tubuh yang sesuai dengan ketentuan antropometri yang dikembangkan tadi. Dan ternyata itu berhubungan dengan ras atau suku tertentu. Katakanlah bahwa suku tertentu “menghasilkan” tubuh dengan kriteria tertentu, dan karenanya sesuai dengan profesi tertentu. 


Pendekatan ini tampaknya merupakan elaborasi lebih jauh dari apa yang disampaikan Aristoteles dalam Rhetoric ribuan tahun yang lalu tentang prior ethos. Menurutnya, salah satu keberhasilan dari proses komunikasi adalah kemampuan komunikator untuk membangkitkan minat awal dari lawan komunikasinya. Dan itu bisa dilakukan salah satunya dengan menunjukkan kesan baik dalam proses inisiasi komunikasi. Dalam bahasa yang popluer dalam psikologi, ini disebut sebagai “hello effect” yang membangkitkan kesan pertama itu.


5. Era Tahun 1980-an hingga Sekarang
Era ini, oleh Baran & Davis, disebutnya sebagai era informasi (the information age), meski Toffler (1992) menyebut era informasi ini sudah mulai berkembang sejak tahun 1960-an. Era ini ditandai oleh besarnya peran yang dimainkan oleh teknologi komunikasi dan informasi dalam masyarakat. Besarnya peran itu salah satunya disebabkan oleh terjadinya konvergensi media dan teknologi, yang muncul dalam berbagai bentuk teknologi hibrida yang memungkinkan perubahan sedemikian rupa dalam komunikasi yang dilakukan oleh umat manusia. Sebagian juga melihat era ini sebagai globalisasi – sebuah konsekuensi dari perkembangan pervasif teknologi komunikasi itu.


Perspektif antropologi di era ini nampak pada beberapa penelitian yang mengeksplorasi berbagai masyarakat dalam berbagai bangsa, ras dan suku ketika mereka mulai bersentuhan dengan teknologi komunikasi ini.


Jurnal Insight (2007) yang mengusung tema “Mobile Phone and Development: The Future in New Hand?” menurunkan laporan tentang bagaimana kebudayaan di berbagai negara beradaptasi dengan telepon genggam (HP). Di Nigeria, misalnya, HP sudah memasuki sektor informal ekonomi, namun secara bersamaan juga ternyata mempertajam ketidaksetaraan yang ada di tengah masyarakat. Sementara di Bangladesh, penetrasi HP juga memasuki wilayah kaum wanita di pedesaan, dan itu memberikan akses bagi mereka terhadap gaya hidup keseharian mereka. Di Zambia, sebagaimana di Nigeria, penggunaan HP di kalangan perempuan ternyata justru memperkuat ketidaksetaraan gender di antara mereka. Namun, di Jamaica, HP ternyata bisa membantu meningkatkan rata-rata pendapatan rumah tangga, bersamaan dengan implementasi mobile-banking di negara itu. Fenomena yang sama terjadi si Afrika Selatan, Kenya dan Pilipina.


Menarik juga sebuah penelitian tentang “antropologi ciuman” yang dilakukan oleh Martin Salma berjudul “Transformasi Keintiman di Indonesia? Sebuah Kajian Awal tentang Ciuman”. Tampaknya, di Indonesia dulu ciuman dengan mulut atau dari mulut ke mulut memang kurang biasa. Karya sastra Nusantara yang klasik seperti Serat Centhini, yang sering disebut Kamasutra-nya orang Jawa, atau buku-buku Primbon, seperti “Seks Para Pangeran, Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa”, memang bermacam-macam teknik bermesraan untuk menggoda seorang kekasih. Bagaimanapun, ciuman mulut jarang ditemui dalam karya-karya tersebut, melainkan yang ramai digambarkan adalah ciuman pipi, alis, mata, dada, telinga dan sebagainya, yang barangkali juga dilakukan dengan hidung (sebenarnya “membau”, namun bisa saja difahami “mencium secara erotik dengan hidung”).


Bagi orang Eropa yang pertama memasuki wilayah Asia Tenggara, berciuman dengan hidung merupakan hal yang asing, sehingga mereka menamakannnya “the Malay kiss”. Sebagaimana ada istilah “French kiss” untuk ciuman lidah, “the Malay kiss” menggambarkan ciuman hidung.


Di Indonesia orang yang berciuman adalah hal yang kontroversial – baik dewasa ini maupun di masa lalu. Namun, meskipun di Indonesia kita jarang melihat orang berciuman di tempat umum, ciuman tetap muncul di publik melalui representasinya di televisi dan film. Barangkali baru lewat film ciuman mulut sebagai praktek romantis menjadi populer di Indonesia. Ini misalnya muncul dalam film Ada Apa Dengan Cinta, Buruan Cium Gue. Penelitian itu kemudian menunjukkan bahwa media, baik berupa fim, televisi, majalah atau buku, kemudian merubah pandangan orang Indonesia tentang ciuman mulut yang lantas dianggapnya sebagai normal atau biasa saja. Globalisasi mentransformasi ciuman. Itulah tesis antropologisnya.


Sementara prediksi Prof. T. Jacob, salah satu antropolog terkemuka Indonesia, yang mengajukan tesis bahwa bisa jadi suatu saat manusia bisa jadi akan memiliki ukuran jemari tangan yang membesar sebagai adaptasi fisiologis atas penggunaan teknologi saat ini yang frekuensi menekan gadget dengan jemari sangat tinggi juga menarik untuk diperhatikan.


Kesimpulan
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan yang dihasilkan sehingga setiap manusia satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Dijelaskan perspektif antropologi perkembangan ilmu komunikasi dalam beberapa periode yang dikenal sampai saat ini yaitu periode tahap awal sampai tahun 1930-an, periode tahun 1940-1950, periode tahun 1960-an, periode tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an serta era tahun 1980-an hingga sekarang.


Periode awal sampai tahun 1930-an merupakan gabungan dari fase fragmentasi sebagaimana yang dibuat oleh Delia (1900-1940) dan fase awal (early communication study) dan perkembangan speech dan journalism tahun 1900 – 1930-an menurut Ruben dan Davis. Masa Yunani merupakan era demokrasi awal dimana telah dikembangkan bentuk pemerintahan demokratis dimana didominasi komunikasi secara oral. Atas dasar itulah, maka mulai berkembang retorika sebagai bentuk persuasi. Demikian halnya dengan era Romawi yang bernuansa aristokrasi dengan orientasi emperium dan ekspansi wilayah. Persuasi masih menjadi sesuatu yang penting walau keputusan politik dan hukum di tangan Kaisar. Wujud persuasi adalah drama.


Selanjutnya, periode tahun 1940-1950 dimana di masa ini disebut sebagai “interdisciplinary growth” bagi perkembangan ilmu komunikasi. Yang mencirikan adalah munculnya sejumlah ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sosial turut mengembangkan teori komunikasi yang melampaui batas ilmu asal mereka. Perspektif antropologi yang digunakan pada masa ini misalnya adalah ketika dikembangkan riset tentang posisi dan jarak tubuh dan gesture dalam kebudayaan tertentu yang kemudian dikenal dengan expectancy violations theory. 


Kemudian adalah era tahun 1960-an. Era ini disebut sebagai era integrasi yang ditandai oleh adanya sintesis pemikiran dari retorika, jurnalistik dan media massa dengan disiplin dari ilmu sosial lainnya. Gejala komunikasi menjadi perhatian penting dalam berbagai disiplin ilmu. Salah satu karya yang menjadi landmark bagi era ini adalah Diffusion of Innovation yang berbicara tentang teori difusi, yaitu penjelasan tentang bagaimana proses gagasan baru dan inovasi teknologi dikenalkan sampai diadaptasi oleh kelompok, organisasi atau masyarakat.


Selanjutnya, era tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an merupakan era pertumbuhan dan spesialisasi dimana dalam ilmu komunikasi muncul bidang semacam komunikasi kelompok, komunikasi organisasi, komunikasi politik, komunikasi internasional dan komunikasi interkultural. Demikian juga profesi di dalam bidang komunikasi. Pertumbuhan industri komunikasi dan media yang mulai melebar juga terjadi di era ini.


Dan terakhir, era tahun 1980-an hingga sekarang dimana disebut sebagai era informasi (the information age). Era ini ditandai oleh besarnya peran yang dimainkan teknologi komunikasi dan informasi dalam masyarakat. Perspektif antropologi di era ini nampak pada beberapa penelitian yang mengeksplorasi berbagai masyarakat dalam berbagai bangsa, ras dan suku ketika mereka mulai bersentuhan dengan teknologi komunikasi ini.


Daftar Pustaka
Baran, Stanley dan Dennis K. Davis. (2000). Mass Communication Theories: Foundation, Ferment, and Future. 2nd edition. Belmont, CA: Wadsworth. 

Dahlan, Alwi (1997). “Pemerataan Informasi, Komunikasi dan Pembangunan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, 5 Juli 1997.

---------, “The Dynamics of Information Sharing” dalam Under Asian Eyes, tahun dan penerbit tidak diketahui (hanya dalam bentuk fotokopi satu tulisan).

Edelstein, Alex. (1983). “Communication and Culture: The Value of Comparative Studies”, dalam Ferment in the Field, Journal of Communication, Vol. 33 Number 3.

Haber, Audrey dan Richard P. Runyon. (1986) Fundamentals of Psychology. 4th ed. New York: Random House.

Hoed, Benny H. (2001). Dari Logika Tuyul ke Erotisme. Magelang : Indonesiatera.

Littlejohn, Stephen (2002 & 2005 with Karen Foss). Theories of Human Communication., 7th and 8th edition. Belmont, CA: Wadsworth. 

McManus, John. (1994). Market Driven Journalism: Let The Citizen Beware. New Delhi: Sage Publications.

McQuail, Denis (ed.) (2002). McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.

----------. (2005). McQuail’s Mass Communication Theory. 5th edition. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage Publications.

Rogers, Everett M. (1997). A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: The Free Press.

White, Robert A. (1983). “Mass Communication and Culture: Transition to A New Paradigm”, dalam Ferment in the Field, Journal of Communication, Vol. 33 Number 3.

Wright, Charles R. (1959). Mass Communication: A Sociological Perspective. New York: Random House.

Subscribe to receive free email updates: