Pengaruh Intensitas Pemakaian Internet Terhadap Penggunaan Internet Untuk Berbelanja Online Yang Dimoderasi Oleh Consumer Innovativeness

Pengaruh Intensitas Pemakaian Internet Terhadap Penggunaan Internet Untuk Berbelanja Online Yang Dimoderasi Oleh Consumer Innovativeness 
Internet, kependekan dari interconnected-networking adalah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Bisa disebut juga a global network of computer networks atau sebuah jaringan komputer dalam skala global yang mencakup jutaan jaringan baik jaringan pribadi maupun publik, akademik, bisnis dan pemerintahan dari jangkauan lokal hingga global yang terhubung melalui kabel, fiber-optic, wireless connections (nirkabel), dan teknologi lainnya. Jaringan komputer yang disebut dengan Internet inilah yang dapat membuat masing-masing komputer saling berkomunikasi secara luas. Network ini membentuk jaringan inter-koneksi (Inter-connected network) yang terhubung melalui Internet Protocol Suite (TCP/IP).


Banyaknya jumlah pengguna internet merupakan hal yang potensial bagi para pemasar untuk mengembangkan aktivitas pemasarannya. Aktivitas memasarkan barang atau jasa dalam dunia internet biasa disebut Internet Marketing. Internet memberikan banyak manfaat bagi pemasaran, salah satunya adalah efisiensi biaya dan waktu dalam distribusi informasi dan produk dengan jangkauan konsumen yang lebih luas. Penggunaan Internet, berdasarkan fakta yang ada dan survey dari AC Nielsen, mengalami peningkatan yang sangat drastis dalam satu dasawarsa terakhir. Hingga tahun 2008, pengguna internet di dunia telah mencapai 1,5 Milyar jiwa atau sekitar 20% dari 6,5 Milyar penduduk bumi, dan sepertiganya merupakan penduduk Asia. Jumlah tersebut merupakan peningkatan sebesar 300% jika dibandingkan dengan tahun 2000. Di Indonesia, peningkatan trend-online di masyarakat Indonesia juga cukup pesat. Pengguna internet di Indonesia pada awal tahun 2008 telah mencapai 25 juta orang atau sekitar 10% dari 240 juta total jumlah penduduk, dan mengalami peningkatan 1000% jika dibandingkan dengan tahun 2000 (www.internetworldstats.com). Ditunjang dengan peningkatan dukungan layanan internet dari para penyedia jasa akses internet di Indonesia yang semakin gencar membangun infrastruktur untuk akses internet, maka tidaklah mengherankan jika pengguna internet pada tahun 2010 akan tembus para angka dua kali lipatnya. Salah satu trend yang cukup baru bagi konsumen Indonesia sehubungan dengan penggunaan internet adalah online shopping yaitu penggunaan internet sebagai media untuk berbelanja. Meskipun di Indonesia belanja online belum banyak diterapkan oleh masyarakat, tapi tidak bisa diabaikan bahwa online shopping akan menjadi sangat potensial bagi pemasar di masa mendatang mengingat semakin banyaknya pengguna internet dari tahun ke tahun. Semakin bertambahnya penggunaan internet, semakin murah dan tersedianya fasilitas, tidak diragukan lagi dunia internet akan menjadi pasar potensial bagi perusahaan dan pengusaha di Indonesia untuk memasarkan produknya. Pengunaan internet secara umum oleh konsumen (browsing, chatting, email, dll) dapat membawa kepada penggunaan komersial (pembelian online), terutama bagi konsumen-konsumen yang inovatif.Tingkat innovativeness konsumen memfasilitasi mereka untuk menggunakan inovasi yang sudah ada (Internet) dengan cara yang baru (online shopping) untuk memenuhi kebutuhannya. Consumer Innovativeness dapat menjadi moderasi yang memperkuat hubungan antara penggunaan internet dengan online shopping yang dilakukan konsumen (Citrin et al, 2000).


AC Nielsen telah melakukan riset terhadap pengguna internet di Indonesia, dari riset tersebut ditemukan bahwa penggunaan internet untuk email, mayoritas responden (76%) mengakses internet setiap hari. Adapun untuk instant messaging, 55% responden mengatakan mengakses internet setiap hari. Selain itu, 28% responden Indonesia juga membaca blog setiap harinya, sedangkan untuk chatting, 34% responden Indonesia mengakses internet setiap hari (AC Nielsen, 2005). Terus meningkatnya jumlah pengguna internet di Indonesia merupakan hal yang potensial bagi para pemasar untuk memperluas aktivitas pemasarannya di dunia internet. Internet memberikan banyak manfaat bagi pemasaran, salah satunya adalah efisiensi biaya dan waktu dalam distribusi informasi dan penjualan produk melalui internet dengan jangkauan konsumen yang lebih luas. Akan tetapi, perusahaan perlu memahami karakteristik konsumen yang dapat mempengaruhi penggunaan internet secara umum (browsing, chatting dan e-mail) menjadi penggunaan internet secara komersial (online shopping) oleh konsumen. Citrin et al (2000), menyatakan “the future commercial success of the internet depends, to some extent, on whether current user of the internet (e.g. those who acces information and/or communicate electronically) also use this medium for product purchase”. Kesuksesan dari komersialisasi internet di Indonesia tergantung pada apakah pengguna internet di indonesia sekarang juga menggunakan internet sebagai media untuk berbelanja atau Online Shopping.


Intensitas penggunaan internet oleh konsumen Indonesia yang semakin meningkat akan memberikan peluang bagi pemasar untuk terus mengembangkan online shopping. Taylor (1977), menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara penggunaan dari suatu kelas produk dan adopsi dari produk lain yang berhubungan (significant, positive relationship between usage of a product class and time of adoption of related products). Sama juga halnya dengan internet, intensitas penggunaan internet oleh konsumen akan membawa kecenderungan bagi konsumen untuk mengadopsi online shopping. Penelitian yang dilakukan oleh Citrin et al (2000) mengungkapkan bahwa konsumen dengan intensitas penggunaan internet yang tinggi sebagian besar pernah melakukan pembelian online. Meskipun di Indonesia belanja online belum banyak diterapkan oleh masyarakat, hanya sekitar 40% dari pengguna internet pernah melakukan olnline shopping (AC Nielsen, 2005), tapi tidak bisa diabaikan bahwa online shopping akan menjadi sangat potensial bagi pemasar di masa mendatang mengingat semakin banyaknya pengguna internet dari tahun ke tahun. Semakin bertambahnya penggunaan internet, semakin murah dan tersedianya fasilitas, internet akan menjadi pasar potensial bagi perusahaan dan pengusaha di Indonesia untuk memasarkan produknya. 


Rogers (1995) mendefinisikan Innovativeness sebagai ‘the degree to which an individual or other unit of adoption is relatively earlier in adopting new ideas than other members of a system’, yaitu tingkatan seseorang atau unit lain dari proses adopsi yang secara relatif menjadi pendahulu dalam mengadopsi ide-ide baru daripada anggota lainnya dalam sistem tersebut. Beberapa literatur lain menjelaskan Consumer Innovativeness sebagai hasrat atau niat untuk mencari kemunculan ide baru atau hal-hal baru dalam suatu kategori produk (Goldsmith and Hofacker, 1991). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki Consumer Innovativeness sebagai pertanda awal yang menyebabkan adoption atau pengadopsian produk baru oleh konsumen. Penelitian yang dilakukan Chau dan Hui (1998) menemukan bahwa konsumen dengan inovasi tinggi mampu mengenal lebih dulu keberadaan produk windows 95 daripada konsumen lain. Foxall and Haskins (1986), dalam penelitiannya pada produk makanan juga menemukan bahwa innovativeness mempunyai validitas yang tinggi untuk memprediksi perilaku adopsi. Penelitian lain dilakukan oleh Citrin et al (2000), pada penelitian ini diuji bagaimana innovativeness yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk mengadopsi online shopping.


Online Shopping masih merupakan hal yang baru bagi sebagian besar konsumen di Indonesia, oleh karena itu diperlukan penerimaan dan adaptasi oleh konsumen. Online Shopping merupakan sebuah inovasi dari internet (Peterson, 1997), dan membutuhkan proses agar konsumen mengadopsi inovasi tersebut. Pengunaan internet secara umum oleh konsumen (browsing, chatting, email, dll) dapat membawa kepada penggunaan komersial (pembelian online), terutama bagi konsumen-konsumen yang inovatif. Tingginya consumer innovativeness konsumen mendorong mereka untuk menggunakan internet dengan cara yang baru (online shopping) untuk memenuhi kebutuhannya (Citrin et al, 2000). 


Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dapat di rumuskan permasalahannya adalah : (1) Apakah internet usage mempunyai pengaruh terhadap adopsi online shopping pada pengguna internet di Surabaya?. (2) Apakah consumer innovativeness mempunyai pengaruh terhadap adopsi online shopping pada pengguna internet di Surabaya?


Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dan diperoleh melalui penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui pengaruh internet usage terhadap adopsi online shopping pada pengguna internet di Surabaya, (2) Untuk mengetahui consumer innovativeness terhadap adopsi online shopping pada pengguna internet di Surabaya.


KERANGKA TEORITIS 
Internet Marketing
Pemasaran Internet (e-marketing) atau bisa disebut juga online marketing adalah segala usaha pemasaran suatu produk atau jasa melalui atau menggunakan media Internet atau jaringan web (World Wide Web). Web (World Wide Web) merupakan suatu layanan penyajian informasi di internet dengan menggunakan HTML (Hyper Text Markup Language). Definisi teknis dari world wide web adalah semua sumber daya dan semua pengguna di intenet yang menggunakan HTTP (Hypertext Transfer Protocol), sedangkan definisi web yang lebih luas dikemukakan oleh World Wide Web Consortium (W3C ) yaitu keseluruhan dari informasi yang dapat diakses dijaringan, perwujudan dari ilmu pengetahuan manusia. Kata e dalam e-marketing berarti elektronik (electronik) yang artinya kegiatan pemasaran yang dilaksanakan secara elektronik lewat Internet atau jaringan cyber (dunia maya). Dengan munculnya teknologi Internet dalam beberapa tahun ini, banyak istilah baru yang menggunakan awalan e-xxx, seperti halnya: e-mail, e-business, e-gov, e-society, dll.(www.wikipedia.com).


Elemen Internet Marketing (7 I’s)
Spalter (1996), telah mengembangkan 7 elemen dasar (7 I’s) dari Internet Marketing (Online Marketing), yaitu : (1) Interconnection. Merujuk pada perkembangan jaringan distribusi baru untuk barang, jasa dan informasi melalui berbagai macam media digital yang ada sekarang. Kemampuan untuk berhubungan dengan pelanggan dalam jumlah yang banyak dengan jangkauan yang luas secara langsung sekaligus, atau bisa disebut asynchronously, merupakan perubahan sentral yang dibutuhkan dalam sudut pandang pemasaran ketika bergerak menuju online marketing, (2) Interface. Sangat penting bagi online marketer untuk membuat website yang user-friendly. Interface adalah poin pertama dari kontak antara perusahaan dan pelanggan, oleh karena itu sebaiknya didesain lebih fungsional dan menarik jika perusahaan tidak ingin pelanggan hanya sekedar mengakses situs tersebut. Dalam skala global, perusahaan harus memastikan situsnya dapat diakses dan didesain untuk dapat menyesuaikan lintas budaya dan bahasa yang berbeda ,(Interactivity. Kemampuan bagi konsumen melakukan dialog dengan perusahaan yang tidak terbatas waktu dan tempat. Interaktivitas antar individu konsumen dalam sebuah forum diskusi, chat-list, dan komunitas cyber adalah fitur inti dari internet yang tidak terdapat dalam media lain seperti TV dan radio, (3) Involvement, para pemasar dituntut untuk dapat menciptakan atmosfir online yang kondusif untuk mendorong perluasan dan kunjungan ulang dari konsumen. Memberikan beberapa keuntungan bagi konsumen, baik melalui informasi, edukasi maupun entertainment adalah kunci untuk menjaga keterlibatan konsumen, (4) Information, informasi produk yang tersedia luas dalam internet membawa kebalikan dari strategi database marketing yang dilakukan perusahaan, ketika konsumen mengalami database consuming. Maksudnya adalah, konsumen dapat menggunakan database teknologi informasi untuk menarget produk dengan cara yang sama yang dilakukan pemasar untuk menarget pelanggannya. (5) Individualism, adalah kemampuan dan kemauan para pemasar untuk memberikan produk atau pengalaman yang terkustomisasi tergantung dari kombinasi teknologi, riset pemasaran yang efektif dan karakteristik dari produk, (6) Integrity, privasi, keamanan dan kenyamanan dari aktivitas online marketing harus dipastikan. Integritas dari website akan mempengaruhi kesuksesan dan reputasi perusahaan baik di dunia nyata maupun internet.


Keunggulan Internet bagi Perusahaan
Keunggulan yang didapat perusahaan yang menggunakan media internet menurut Susan & Stephen Dann (2001 : 57), antara lain : (1) Cost Cutting, banyak perusahaan menggunakan internet sebagai metode untuk mengurangi biaya. Untuk menurunkan biaya cetak dan promosional, dan mengurangi biaya untuk ekspansi ke pasar baru yang lebih luas. Mass Customization dari website yang ditunjang oleh sistem database otomatis dapat mereduksi banyak biaya per tiap pelanggan. (2) Efficiency, akses terhadap database ilmu pengetahuan yang sangat banyak, dan kemudahan untuk mencari informasi secara online dapat meningkatkan efektivitas dari pencarian informasi bagi konsumen. Internet memberikan kemudahan akses dalam jangkauan yang luas dari berbagai macam sumber informasi. (3) Open Acces, internet mengubah dinamika pasar yang sekarang tidak perlu lagi untuk bersandar pada jaringan distribusi yang kompleks untuk membawa produk ke pasar. Hal ini memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan kecil untuk lebih terbuka ke pasar yang lebih luas. (4) Promotional, internet menawarkan peluang untuk menunjukkan promosi, sejarah, detail produk dan informasi perusahaan yang mungkin tidak terdapat pada media tradisional. Misalnya sejarah perusahaan, yang menceritakan perkembangan perusahaan, dan filantrofi atau kedermawanan perusahaan dapat manambah nilai kepribadian dan image perusahaan.


Electronic Retailing
E-tailer, berasal dari kata Electronic dan Retailer adalah retailer atau pengecer yang secara khusus menggunakan Internet sebagai media bagi konsumennya untuk belanja produk maupun jasa yang ditawarkan. Electronic retailing untuk konsumen (B2C, Business to Customer) pertama kali dikembangkan dalam skala besar pada tahun 1908-an. Area ini berkembang secara pesat dengan kesadaran para perusahaan retail yang menyadari pentingnya penjualan produk mereka melalui jalur distribusi baru ini (Elektronik). Electronic Delivery Systems tidak membutuhkan interaksi manusia secara langsung, dan jalur distribusi ini mempunyai banyak keunggulan. Secara mendasar, kualitas dapat dijamin, biaya lebih rendah, terdapat kenyamanan bagi konsumen dalam mengakses, dan jangkauan distribusi yang lebih luas daripada jaringan retail normal. (Cox & William, 2003 : 354 ).


Terdapat tiga jenis e-tailer, yaitu virtual, two-channel dan multi-channel : (1) Virtual retailers ,perusahaan retail ini tidak mempunyai toko atau wujud yang nyata di jalan, mall atau lokasi lainnya. Mereka hanya bertransaksi melalui internet atau televisi saja. Sehingga perusahaan harus menemukan cara untuk menarik konsumen dan melayani kebutuhannya yang berbeda-beda. Contoh : Amazon.com, e-bay, dan lastminute.com. (2) Two-channel retailers : Mereka adalah retailer yang memiliki toko fisik yang telah mengembangkan kemampuan electronic-retailing-nya terhadap aspek kecil maupun besar dalam aktivitas-aktivitasnya. (3) Interactive Systems retailers : Perusahaan retail ini adalah para retailer yang telah berdiri dan melayani kebutuhan konsumen melalui berbagai macam cara, termasuk toko, order telepon, internet katalog dan TV. Contohnya Carrefour dan Wallmart.


Bentuk Online Retailing
Berbagai macam bentuk Online Retailing (Susan & Stephen Dann, 2001 : 61): (1)Cybermalls. Gabungan dari berbagai macam produk dan jasa yang berkumpul dalam satu situs dan menciptakan sebuah lingkungan online shopping yang serupa dengan yang ada di dunia nyata. Contoh : www.cybermall.com. (2) Shopping Portals. Situs retail ini berfungsi sebagai broker atau perantara dari barang dan jasa dimana para konsumen mencari di dalam situs broker tersebut dan kemudian situs tersebut menyediakan beberapa daftar dari suppliers yang sesuai. Situs ini tidak menjual apapun, tapi hanya sebagai mperantara antara pembeli dan suppliers. contoh : shopbot.au.com (situs penyedia daftar supplier komputer beserta produknya di Australia). (3) Online Department stores. Beberapa perusahaan retail besar di dunia telah membuka cabang kantor online untuk mencegah kehilangan penjualan dari kompetitor online. Contoh : www.toysrus.com. (4) Auction houses. Rumah lelang online menawarkan pengguna internet untuk membeli dan menjual barang-barang bekas di pasar internasional yang luas. Contoh : www.ebay.com. (5) Virtual Catalogues Sites. Situs katalog adalah toko online yang spesifik yang didirikan untuk kategori produk tertentu melalui sistem katalog yang kompleks dan interaktif. Contoh : www.amazon.com. (6) Digital Corner Stores : Niche marketing. Digital corner stores mengisi banyak pasar niche yang telah ada untuk melayani kebutuhan dan keinginan yang spesifik dari sub populasi internet. Toko digital dapat menyediakan informasi secara mendetil dari produk satu toko melalui internet seperti www.linuxmall.com. (7) Online Factory Direct. Para pebelanja online akan mendapat keuntungan dari penjualan produk secara langsung oleh wholesaler. Umumnya penjualan secara langsung ini terdapat pada industri komputer. Contoh : www.dell.com


Consumer Innovativeness
Rogers (1995) mendefinisikan Innovativeness sebagai ‘the degree to which an individual or other unit of adoption is relatively earlier in adopting new ideas than other members of a system’, yaitu tingkatan seseorang atau unit lain dari proses adopsi yang secara relatif menjadi pendahulu dalam mengadopsi ide-ide baru daripada anggota lainnya dalam sistem tersebut. Diberi istilah adopsi karena produk yang diakuisisi atau digunakan oleh konsumen merupakan produk yang benar-benar baru yang belum pernah mereka pakai sebelumnya. Beberapa literatur lain menjelaskan Consumer Innovativeness sebagai hasrat atau niat untuk mencari kemunculan produk baru atau hal-hal baru dari produk (Hirschman, 1980). Innovativeness termasuk sebuah ciri kepribadian (personality trait) dan merupakan tingkatan bagaimana seorang individu mau menerima ide-ide baru dan membuat keputusan inovatif yang independen terhadap pengalaman komunikasi dengan orang lain.


Menurut Goldsmith and Hofacker (1991), Consumer Innovativeness adalah perilaku innovativeness yang mencakup kecenderungan untuk mendapatkan informasi terbaru atau adopsi produk baru oleh konsumen terhadap kelas produk (kategori tertentu), atau domain yang spesifik. Perilaku Consumer Innovativeness cenderung berada pada kategori produk yang spesifik (misalnya seperti kategori produk fashion, handphone, dan lain-lain). Oleh karena itu bisa disebut juga Domain-specific Innovativeness yaitu Consumer Innovativeness yang berdasarkan kelas produk atau ketegori produk tertentu (Goldsmith and Hofacker, 1991). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki Consumer Innovativeness sebagai pertanda awal yang menyebabkan adoption atau pengadopsian produk baru oleh konsumen. Penelitian yang dilakukan Chau dan Hui (1998) menemukan bahwa konsumen dengan inovasi tinggi mampu mengenal lebih dulu keberadaan produk windows 95 daripada konsumen lain. Foxall and Haskins (1986), dalam penelitiannya pada produk makanan juga menemukan bahwa innovativeness mempunyai validitas yang tinggi untuk memprediksi perilaku adopsi. Penelitian lain dilakukan oleh Citrin (2000), pada penelitian ini diuji bagaimana consumer innovativeness yang mempengaruhi perilaku konsumen untuk mengadopsi online shopping. 


Konsumen dengan tingkat innovativeness yang tinggi bisa disebut sebagai innovators atau early adopters, yaitu mereka yang menjadi pelopor dalam mengadopsi produk baru atau ide-ide baru. Consumer Innovativeness menjadi sangat penting dalam area pemasaran dan riset konsumen karena pentingnya peran seorang innovators dalam kesuksesan suatu produk baru (Foxall & Bhate, 1993). Innovators atau early adopters dapat membantu kesuksesan penetrasi dan penyebaran dari suatu produk baru, karena kecepatan mereka dalam menyerap informasi dan mengadopsi produk-produk baru akan dapat memberikan persuasi (baik secara oral maupun memberi contoh) pada laters adopters atau konsumen pada umumnya, di dalam pasar Business to Consumers (B2C) maupun Business to Business (B2B), (Clark & Goldsmith, 2006). 


Berikut ini beberapa kategori tingkatan konsumen dari yang paling inovatif hingga yang non-inovatif menurut Rogers (1983) : (1) Innovators : Venturesome (Try anything once) Innovators adalah orang-orang yang pertama yang mencoba sebuah inovasi. Mereka adalah orang yang suka berpetualang, umumnya mempunyai sumber daya finansial yang cukup kuat, berani mengambil resiko dan mempunyai kemampuan untuk mengerti dan menggunakan pengetahuan teknologi yang kompleks. Mereka adalah para risk takers yang membutuhkan tantangan, petualangan dan pengalaman yang baru. (2) Early adopters : Respectable. Early adopters adalah umunya adalah seorang figur sosial yang mencari cara untuk mempertahankan reputasi dan posisi sosialnya dengan mencoba penggunaan inovasi tapi secara lebih selektif, tidak secara acak seperti innovators, mereka menilai dulu sebelum mencoba suatu ide. (3) Early Majority : Deliberate. Early Majority adalah orang-orang pada umumnya yang mulai mengadopsi inovasi ketika mereka benar-benar merasa membutuhkan dan telah mulai digunakan oleh sebagian orang. Mereka mengadopsi ide baru pada waktu rata-rata dan tidak terlalu tergesa-gesa dengan inovasi tersebut. Early Majority adalah awal dari kedewasaan sebuah pasar. Ketika sebuah inovasi telah bertemu dengan early majority maka persaingan akan semakin bertambah, dan diperlukan beberapa inovasi kecil bagi produk untuk memberikan diferensiasi. (4) Late Majority : Sceptical. Late Majority mulai mengadopsi ketika sebagian besar orang sudah mengadopsi ide baru tersebut terlebih dahulu. Karakteristik yang paling dominan umumnya adalah sikap skeptis dan tidak suka terhadap teknologi. Mengadopsi inovasi cenderung dilakukan karena kebutuhan ekonomi atau karena tekanan dari lingkungannya. (5) Laggards : Traditional. Laggards adalah mereka yang paling mengabaikan dan sering mengkritik di antara sebuah kelompok dalam literatur inovasi. Mereka bersikap stereotype, sangat konservatif, berorientasi masa lalu, dan cenderung mempunyai pandangan negatif terhadap hal-hal baru. Para pemasar harus menyadari ada beberapa alasan penting yang menyebabkan beberapa orang memilih untuk tidak menggunakan inovasi, muali dari alasan budaya hingga religius. Para Laggards menjadi tolak ukur dimana jika mereka pada akhirnya menggunakan inovasi, berarti seluruh populasi pasar bisa dipastikan telah mengasumsi inovasi tersebut, sehingga sudah tidak bisa dikatakan lagi sebuah inovasi.

Hubungan antara Internet Usage, Consumer Innovativeness dan Use of the Internet of Shopping
Internet Usage dan Use of the Internet of Shopping
Taylor (1977), menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara penggunaan dari suatu kelas produk dan adopsi dari produk lain yang masih berhubungan atau satu kategori (significant, positive relationship between usage of a product class and time of adoption of related products). Hal ini adalah sebuah hal yang logis karena pengguna suatu produk yang intens memberikan kemampuan dan pengetahuan yang banyak akan produk tersebut sehingga memudahkan dan bahkan mendorong konsumen untuk mengenal dan menerima inovasi dari kategori produk tersebut. Sama juga halnya dengan internet, intensitas penggunaan internet oleh konsumen akan membawa kecenderungan bagi konsumen untuk mengadopsi online shopping, dimana online shopping adalah sebuah inovasi dari internet yang awalnya hanya merupakan jaringan informasi yang digunakan untuk aktivitas-aktivitas seperti browsing, chatting, dan email (Citrin et al, 2000). 


Use of the Internet of Shopping
Meskipun semakin banyak pengguna internet pada masa sekarang ini, belum tentu semuanya telah menggunakan internet sebagai media untuk berbelanja. Relatif sedikit konsumen yang menggunakan media ini sebagai alat komersial (Schiesel, 1997). Pengunaan internet secara umum oleh konsumen (browsing, chatting, email, dll) dapat membawa kepada penggunaan komersial (pembelian online), terutama bagi konsumen-konsumen yang inovatif (Hirschman ,1980). Tingkat innovativeness konsumen memfasilitasi mereka untuk menggunakan Internet dengan inovasi yang baru (online shopping) untuk memenuhi kebutuhannya. Consumer Innovativeness dapat menjadi moderasi yang memperkuat hubungan antara penggunaan internet dengan online shopping yang dilakukan konsumen (Citrin et al, 2000).


ANALISIS DAN PEMBAHASAN 
Uji Validitas Dan Reliabilitas
Pengujian terhadap validitas dan reliabilitas merupakan suatu alat ukur atau instrument mutlak diperlukan, agar data yang digunakan dalam mendeskripsikan masing–masing variabel dan pengujian terhadap hipotesis betul–betul dapat diandalkan kebenarannya. 


Uji Validitas
Validitas adalah sejauh mana perbedaan yang didapatkan melalui alat pengukur mencerminkan perbedaan yang sesungguhnya diantara responden yang diteliti (Cooper dan Emory, 1998; dalam Sugiyono, 2006).


Penelitian ini menggunakan validitas konstruksi (Construct validity) karena kuisoner (instrumen) berbentuk test. Instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur yang berlandaskan teori tertentu. Korelasi Pearson Moment yang digunakan untuk menentukan validitas item ini sampai sekarang merupakan teknik yang paling banyak digunakan (Masrun, 1979; dalam Sugiyono. 2006). Untuk memberikan interpretasi terhadap koefisien korelasi, menurut Masrun (1979) item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi yang tinggi, menunjukkan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Dalam korelasi Pearson Moment, dinyatakan valid jika nilai r ≥ 0,3, jika nilai r < 0,3 maka instrumen dinyatakan tidak valid.


Pada tabel tampak bahwa seluruh item pernyataan bernilai lebih besar dari 0,3 maka seluruh item pernyataan dinyatakan valid dan dapat digunakan untuk proses selanjutnya.


Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran dilakukan dua kali atau lebih, atau dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsisten suatu alat ukur dalam mengukur gejala yang sama. Dalam penelitian ini reliabilitas kuesioner diukur melalui teknik pengukuran reliabilitas konsistensi internal dengan menghitung cronbach alpha (α). Pengujian reliabilitas dilakukan dengan membandingkan alpha dengan nilai 0,6. Dimana jika cronbach alpha (α) lebih besar dari 0,6 maka butir–butir pernyataan dalam kuesioner adalah reliabel.


Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa butir–butir pernyataan variabel independent dalam kuesioner adalah reliabel. Hal ini dapat diketahui melalui hasil cronbach alpha lebih besar dari 0,6 maka butir–butir pernyataan variabel independent dalam kuesioner adalah reliabel.

Model Fit
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa model regresi logistik yang dihasilkan adalah Fit (model sesuai dengan data), yang ditunjukkan dengan penurunan nilai -2Log Likelihood, dimana nilai -2Log Likelihood pada awal (block number=0) sebesar 162,982 menjadi 54,148 pada -2Log Likelihood berikutnya (block number=1). 


Model Fit juga ditunjukkan dengan Hosmer and Lemeshow Test. Dimana Hosmer and Lemeshow Test menghasilkan nilai Chi-Square sebesar 3,210 dengan tingkat signifikansi lebih besar dari 5% (0,05) yaitu 0,920, sehingga hipotesa nol diterima, hal ini berarti model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya dan layak dipakai untuk penelitian selanjutnya.


Interpretasi Regresi Logistik
Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat hubungan dari masing-masing variabel Penggunaan Internet (X1) dan Consumer Innovativeness (X2) penggunaan internet untuk belanja online (Y), yang dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Koefisien regresi variabel Penggunaan Internet (X1) sebesar 0,435 artinya apabila Consumer Innovativeness dianggap konstan/tetap, maka untuk setiap kenaikan Penggunaan Internet, kemungkinan konsumen menggunakan internet untuk belanja online adalah 1,545 kali kemungkinan konsumen tidak membeli (e0,435= 1,545). (2) Koefisien regresi variabel Consumer Innovativeness (X2) sebesar 4,706, artinya apabila Penggunaan Internet dianggap konstan/tetap, maka untuk setiap kenaikan Consumer Innovativeness, kemungkinan konsumen menggunakan internet untuk belanja online adalah 110,566 kali kemungkinan konsumen tidak membeli (e4,706 = 110,566). 


(3)Nilai Nagelkerke R Square yang dihasilkan sebesar 0,779, yang berarti penggunaan internet untuk belanja online (Y) di Surabaya yang dapat dijelaskan oleh penggunaan internet (X1) dan Consumer Innovativeness (X2) sebesar 77,9 %, sedangkan 22,1 % sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. (4) Wald Test digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Hasil Wald Test dapat dilihat pada Tabel 4.9 di atas. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa Wald Test antara variabel penggunaan internet (X1) dengan penggunaan internet untuk belanja online (Y) menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,039 lebih kecil dari tingkat signifikan 5% (0,05), sehingga disimpulkan bahwa penggunaan internet berpengaruh signifikan terhadap penggunaan internet untuk belanja online. Dengan demikian hipotesis pertama penelitian ini yang menduga bahwa penggunaan internet berpengaruh signifikan terhadap penggunaan internet untuk belanja online di Surabaya, terbukti kebenarannya. (5) Wald Test antara variabel Consumer Innovativeness (X2) dengan penggunaan internet untuk belanja online (Y) menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari tingkat signifikan 5% (0,05), sehingga disimpulkan bahwa penggunaan internet berpengaruh signifikan terhadap penggunaan internet untuk belanja online. Dengan demikian hipotesis kedua penelitian ini yang menduga bahwa Consumer Innovativeness konsumen berpengaruh signifikan terhadap penggunaan internet untuk belanja online di Surabaya, terbukti kebenarannya.


Hasil Pengujian Hipotesis 
Internet Usage dan Use of the Internet for Shopping
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa Internet Usage memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan internet untuk berbelanja online oleh konsumen di Surabaya dengan nilai probabilitas sebesar 0,039. 


Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Taylor (1977), bahwa akan terdapat hubungan yang positif antara tingkat konsumsi dari suatu kelas produk terhadap adopsi dari produk lain yang berhubungan (significant, positive relationship between usage of a product class and time of adoption of related products). Hal ini adalah sebuah hal yang logis karena pengguna suatu produk yang intens memberikan kemampuan dan pengetahuan yang banyak akan produk tersebut sehingga memudahkan dan bahkan mendorong konsumen untuk mengenal dan menerima inovasi dari kategori produk tersebut. Sama juga halnya dengan internet, intensitas penggunaan internet yang tinggi oleh konsumen akan membawa kecenderungan bagi konsumen untuk mengadopsi online shopping, dimana online shopping adalah sebuah inovasi dari internet yang awalnya hanya merupakan jaringan informasi yang digunakan untuk aktivitas-aktivitas seperti browsing, chatting, dan email (Citrin et al, 2000). 


Consumer Innovativeness dan Use of the Internet for Shopping
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa Consumer Innovativeness memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan internet untuk berbelanja online oleh konsumen di Surabaya dengan nilai probabilitas sebesar 0,000. 


Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Goldsmith and Hofacker (1991), dimana Consumer Innovativeness termasuk sebuah ciri kepribadian (personality trait) dan merupakan tingkatan bagaimana seorang individu mau menerima, mengadopsi ide-ide baru dan membuat keputusan inovatif yang independen, dalam sebuah kelas produk (kategori tertentu), atau domain yang spesifik. Consumer Innovativeness yang tinggi akan membawa konsumen untuk lebih terbuka dan mau mencoba hal-hal baru, dalam hal ini adalah online shopping yang merupakan sebuah inovasi dari media internet. 


SIMPULAN DAN SARAN
Setelah melakukan analisis dan pembahasan, pada bab ini akan diambil simpulan yang diperoleh dari penelitian. Selain simpulan, akan dikemukakan pula saran-saran berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini.

Simpulan 
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan atas data yang diperoleh dapat disimpulkan: (1) Internet Usage tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan internet untuk berbelanja online oleh konsumen di Surabaya dengan nilai probabilitas sebesar 0,105. Artinya tidak sesuai dengan pernyataan Taylor (1977), bahwa akan terdapat hubungan yang positif antara tingkat konsumsi dari suatu kelas produk terhadap adopsi dari produk lain yang berhubungan (significant, positive relationship between usage of a product class and time of adoption of related products). (2) Consumer innovativeness (intensitas pemakaian internet) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Adopsi Online Shopping oleh pengguna internet di Surabaya dengan nilai probabilitas sebesar 0,000. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Goldsmith and Hofacker (1991), dimana Consumer Innovativeness termasuk sebuah ciri kepribadian (personality trait) dan merupakan tingkatan bagaimana seorang individu mau menerima, mengadopsi ide-ide baru dan membuat keputusan inovatif yang independen, dalam sebuah kelas produk (kategori tertentu).


Saran
Bagi Penelitian Selanjutnya: (1) Karena keterbatasan waktu, dana, serta untuk memudahkan penelitian maka jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini cukup terbatas. Sehingga, disarankan bagi penelitian selanjutnya untuk dapat melakukan penelitian pada jumlah sampel yang lebih banyak sehingga lebih menggambarkan keadaan yang obyek penelitian sesungguhnya. (2) Penelitian ini hanya meneliti variabel yang menyebabkan terjadinya online shopping dan belum menjelaskan lebih banyak mengenai online shopping dan dampaknya lebih lanjut seperti manfaat bagi konsumen dan pemasar. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya sebaiknya dapat memberikan pendalaman tambahan dengan meneliti manfaat yang diperoleh bagi pengguna internet yang melakukan online shopping. (3) Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan pembatasan kategori produk tertentu, sehingga memberikan pengertian lebih luas tentang produk-produk yang dijual di internet dan pengaruhnya pada online shopping.


Bagi Pemasar dan Online Retailer: (1) Bagi para pemasar, diharapkan bisa terus meningkatkan penetrasi pasar di dunia internet, mengingat sebagian besar pengguna masih belum menggunakan fasilitas tersebut untuk melakukan transaksi pembelian. Peluang untuk mengembangkan pasar di Surabaya masih sangat luas. hasil penelitian ini menunjukkan hanya 23,3% atau 35 dari 150 pengguna internet Surabaya yang pernah melakukan online shopping. (2) Bagi para online retailer, agar bisa menerapkan strategi yang pas untuk menarik pengguna internet agar mau melakukan online shopping. Diketahui bahwa beberapa konsumen yang inovatif telah mengadopsi online shopping, oleh karena itu diharapkan para online retailer mampu menerapkan strategi untuk menarik para early adopters tersebut agar menjadi leader bagi pengguna internet lainnya untuk mau mengadopsi online shopping. Beberapa strategi misalnya promosi di dunia nyata, memberikan hal-hal baru dan inovatif di dalam internet dan pembentukan sistem belanja online yang lebih stabil dan aman agar kepercayaan pengguna internet meningkat.


DAFTAR PUSTAKA
www.wikipedia.com

www.internetworldstats.com

www.acnielsen.com

www.livinginternet.com

www.duniacyber.com

Assael, H. (1998), Consumer Behavior and Market Action, 6th edition, South-Western College Publishing.

Berman, B and Evans, J. (2007), “Retail management a strategic approach”, ninth Edition.

Chau, P.Y.K. and Hui, K.L. (1998), “Identifying early adopters of new IT products: a case of Windows 95”, Information and Management, Vol. 33 No. 5, pp. 225-30.

Citrin, A.V., Sprott, D.E., Silverman, S.N. and Stem, D.E. (2000), “Adoption of internet shopping: the role of consumer innovativeness”, journal of Industrial Management & Data Systems, Vol. 100 No. 7, pp. 294-300.

Clark, R. A., & Goldsmith, R. E. (2006), “Global Innovativeness and Consumer Susceptibility to Interpersonal Influence”, Journal of Marketing Theory and Practice, Vol. 14 No. 4, pp. 275-285.

Cox, B. G., & Koelter. W., (2004), Internet Marketing, Pearson Education.

Dann, S., & Dann S. (2001), Internet Marketing, John Wiley & Sons, Australia.

Flynn LR and Goldsmith, R.E. (1993b), “A Validation of the Goldsmith and Hofacker Innovativeness Scales”, Educational and Psychology Measurement, Vol 53 No 4, pp 1005–1116.

Foxall, G. R. & Bhate, S. (1993), Cognitive style and useinnovativeness for applications software in home computing: implications for new product strategy”, Technovation, vol. 13 no. 5, pp. 311-23.

Foxall, G. R., & James, V. K. (2003), “The behavioral ecology of brand choice: How and what do consumers maximize?”, Psychology & Marketing, 20(9), 811–836.

Foxall, G.R. and Haskins, C.G. (1986), “Cognitive style and consumer innovativeness: an empirical test of Kirton’s adaption-innovation theory in the context of food purchasing”, European Journal of Marketing, Vol. 20 Nos 3-4, pp. 63-80.

Gilbert, David. (2003), Retail Marketing Management, 2nd edition, New Jersey, Prentice Hall.

Goldsmith, R.E. and Hofacker, C.F. (1991), “Measuring consumer innovativeness”, Journal of Academy of Marketing Science, Vol. 19 No. 3, pp. 209-21. 

Hanson, W. (2000), Principles of Internet Marketing, Thomson Learning.

Hirschman, E.C. (1980), “Innovativeness, novelty seeking, and consumer creativity”, Journal of Consumer Research, Vol. 7 No. 3, pp. 283-95.

Joseph, B., Vyas, S.J. (1984), “Concurrent validity of a measure of innovative cognitive style”, Academy of Marketing Science. Journal, 1/2; ABI/INFORM Global pg. 159.

Kotler, Philip. (1994), Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, And Control, 8th Edition, Prentice Hall.

-----------------. (2003), Marketing Management, 11th Edition, New Jersey, Prentice Hall.

-----------------. (2005). Manajemen Pemasaran, Edisi kesebelas, Jilid satu, Yogyakarta, PT Index Kelompok Gramedia.

Leavitt, C. and Walton, J. (1975), “Development of a scale for innovativeness”, Advances in Consumer Research, Vol. 2 No. 1, pp. 545-55. 

Lewis, H. G., & Lewis, R. D. (1997), Selling on the Net: The complete guide, Chicago, IL: NTC Business Books.

Midgley, D.F. & Dowling, G.R. (1978). “Innovativeness: the concept and its measurement”, Journal of Consumer Research, 4, 229–242.

Midgley, D.F. and Dowling, G.R. (1993), “A longitudinal study of product form innovation: the interaction between predispositions and social messages”, Journal of Consumer Research, Vol. 19 No. 4, pp. 611-25.

Peterson R.A., Balasubramanian S., Bronnenberg B.J. (1997), “Exploring the implications of the Internet for consumer marketing”, Academy of Marketing Science. Journal, 4; ABI/INFORM Global pg. 329.

Peter JP and JC Olson, 2002. “Consumer Behavior and Marketing Strategy”, 6th ed., McGraw-Hill/Irwin.

Rogers, E.M. (1995) Diffusion of Innovations, 4th edn. The Free Press, New York.

Rogers, E.M. (1983), Diffusion of Innovations, The Free Press, New York.

Schiffman,. L. G., & Kanuk., L. L. (2007), Consumer Behavior, Pearson International Edition.

Spalter, M. (1996), "Maintaining a Customer Focus in an Interactive Age, the Seven I's to Success," in Ed Forrest and Richard Mizerski (Eds.), Interactive Marketing: The Future Present, American Marketing Association, NTC Business Books, Illinois.

Sugiyono. (2006), Metode Penelitian Bisnis, CV Alfabeta, Bandung.

Taylor, J. W. (1997), “Striking Characteristic Of Innovators”, Journal of Marketing Research, Vol 14, pp. 104-7.

Vaughn R. (1980), “How Advertising Works: A Planning Model”, Journal of Advertising Research, 20 (October), pp 27–33.

Subscribe to receive free email updates: