Potret Organisasi Perempuan Muda

Potret Organisasi Perempuan Muda 
Sebagai sebuah Ortom Muhammadiyah NA tidak bisa melepaskan faktor kesejarahannya begitu saja. NA harus bersedia dan memang itu misinya, sebagai pendukung Gerakan Muhammadiyah dalam rangka menegakkan dakwah Amar Makruf Nahi Munkar. Sebagai ortom yang bergerak di bidang keputrian NA harus mampu merumuskan tantangan zaman yang berubah. Mampukah ia bertahan dalam perubahan zaman yang cepat yang kadang sering tidak sesuai dengan cita-cita yang diharapkan Muhammadiyah. NA periode 2000 – 2004 merupakan sebuah potret bagaimana sebuah organisasi perempuan muda berusaha menjawab tantangan zamannya di tengah perubahan remaja putri pada umumnya.


Empat tahun bukanlah waktu yang panjang dalam ukuran sosiologi. Namun dalam masa empat tahun ini tentunya sudah banyak kiprah yang dilakukan NA baik dalam melaksanakan program-programnya maupun dalam menjawab persoalan perubahan zaman. NA di awal berdirinya tentunya berbeda dengan NA di akhir-akhir ini. Kondisi sosial yang berubah, kemajuan teknologi informasi, derasnya arus informasi serta padatnya lalu lintas pemikiran, tentunya membawa warna tersendiri bagi NA. Memang menjalankan organisasi perempuan muda berskala nasional tidak mudah. Pimpinan Pusat harus bisa mendefinisikan tantangan yang berskala nasional pula. Kebijakan PP NA tidak bisa hanya didasarkan atas perkembangan yang terjadi di Jakarta dan Yogya. Dia harus mampu mengcover seluruh tanah air. Untuk itu tentunya masukan dari wilayah dan daerah di struktur di bawah harus banyak, agar PP NA mampu memberi jawab dan solusinya.


Perubahan sosial, terutama yang menyangkut kehidupan remaja putri dan perempuan muda, juga terjadi dalam skala nasional. Dan lebih sulit lagi kecepatan perubahan tidak sama antara daerah satu dengan daerah lainnya. Kehidupan perempuan di kota-kota besar di Jawa tentunya tidaklah sama dengan perubahan yang terjadi di luar Jawa. Dan NA sebagai gerakan berskala nasional harus bisa menjawab itu semua. Penampilan PP NA juga menggambarkan bagaimana efektifitas dan efisiensi organisasi putri ini. Sudahkah struktur kepengurusan PP NA mampu melaksanakan misi yang diembannya. Sebab penampilan PP NA secara struktural diharapkan akan mampu menjawab persoalan yang berkembang. Akankah Muktamar yang digelar di Surakarta Desember mendatang bisa menjadi ajang musyawarah yang benar serta menelorkan keputusan-keputusan yang mampu menjawab persoalan ? Apalagi Tema Muktamar kali ini adalah berkenaan dengan kebijakan publik. Ini tentunya lebih pelik sebab NA telah menetapkan bahwa dirinya tidak sekedar menjadi ortom Muhammadiyah yang menjawab persoalan umat, namun publik yang notabene secara umum lebih banyak ragam tuntutan dan masalahnya, sudah bulatkah NA untuk terjun ke kancah publik ?


Penampilan NA periode 2000 – 2004 tidaklah seluruhnya merupakan cerita sukses, pun bukanlah sebuah berita kegagalan seluruhnya. Ada sisi-sisi yang NA berhasil namun ada pula yang diakui Pimpinan NA sendiri agak kurang sukses.


Dalam periode ini (2000 – 2004) NA telah memilih untuk menggelembungkan susunan pengurusnya. Artinya personil yang direkrut untuk duduk di jajaran pimpinan cukup banyak. Ini berdasar pengalaman periode sebelumnya yang dinilai kekurangan pengurus. Namun penggelembungan ini pun bukan tanpa masalah. Banyak yang kemudian berhenti atau tidak aktif di tengah jalan, serta tampak terjadinya ine fisiensi karena terlalu banyaknya pengurus. Struktur yang dibuat terlalu banyak dan cenderung ruwet. Departemen maupun bidang yang dimiliki tidak memerankan fungsinya dengan baik. Ada yang cuma nampang nama namun tidak melakukan aktifitas apa-apa, namun ada juga yang sempat mengadakan kegiatan. Soal apakah kegiatan atau program yang dilakukan sudah menjawab tantangan atau sekedar menjalankan program saja, belum terlihat. Pokoknya ada kegiatan, itu sudah lumayan.


Ada juga yang baru pada NA periode ini, yakni kiprahnya dalam bidang yang sepertinya tidak ada kaitannya dengan keputrian. Misalnya saja NA aktif dalam pemantauan dan sosialisasi Pemilu. Dalam Pemilu 2004 ini NA boleh dikata cukup basah kuyup. Entah apa sebabnya kok NA tiba-tiba punya kepedulian yang tinggi terhadap proses demokrasi yang notabene bukan milik perempuan saja. Begitu pula dengan kerjasama dengan organisasi lain, NA banyak melakukan. Sebut saja kerjasamanya dengan The Asia Foundation, hal yang pada periode sebelumnnya tidak terjadi. Apakah dalam hal ini NA hanya sekedar akseptor dana ataukah ada juga misi atau program TAF (The Asia Foundation) yang dititipkan kepada NA untuk dilaksanakan ?


NA periode ini juga banyak mengirim utusannya ke kursus-kursus serta event-event yang berskala nasional maupun internasional. Dalam kadar yang sangat sedikit, NA telah mencuatkan dirinya menjadi organisasi berskala internasional. Tentu saja internasionalisasi NA yang sedikit ini telah membawa dampak psikologis bagi kepemimpinan NA, paling tidak dikenal di dunia internasional, walau dalam kalangan yang terbatas.


Simak saja penuturan Dra Trias Setiawati, Ketua umum PP NA periode 2000-2004. Menurut Trias keberhasilan periode ini adalah kerjasama-kerjasama dengan pihak luar. Misalnya dengan The Asia Foundation, kerjasama luar negeri, pengiriman untuk kursus-kursus serta pertukaran pelajar. Banyak juga fungsionaris PP NA yang mendapat beasiswa untuk S-2, ikut aktif di politik menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Ada juga fungsionaris NA yang aktif di eksekutif. Dalam Pemilu kemarin NA aktif dalam penyelenggaraan pendidikan pemilih, pemantauan pemilu bahkan ada yang jadi anggota KPU.


Untuk periode ini NA melakukan pelatihan kader, mengadakan pengayaan materi untuk model pelatihan pengkaderan. Begitu pula di bidang ekonomi kami membentuk jaringan usaha, wirausaha dan ini tumbuh subur di daerah-daerah. Kebetulan banyak juga anggota NA di daerah yang sudah S-2. Hal ini menyebabkan kemandirian dan mampu mempersiapkan muktamar sendiri. Kami juga merasa bertanggung jawab dalam mengatasi permasalahan kemasyarakatan yang berkenaan dengan perempuan semisal pelacuran dan kekerasan terhadap perempuan. “Di wilayah, kami bekerjasama dengan badan-badan yang bergerak di bidang itu.Tapi kami juga mengakui ada kekurangan di sana-sini. Banyak diantara kami yang mengelola organisasi ini dengan part timer, kurang optimal.“ Ujar dosen UII Yogyakarta ini. “Kami juga berharap bahwa NA bisa memberikan bekal ketrampilan kerja untuk para putri, hal ini berkenaan dengan pengangguran yang meluas di masyarakat. Begitu pula kami menggarap pasangan atau ibu-ibu usia subur agar bisa menyiapkan kelahiran dan mengasuh anak dengan baik. Pengembangan masyarakat yang kami lakukan adalah dengan meningkatkan kualitas keislaman mereka. Mayoritas aktivis NA adalah perempuan terdidik, jadi mereka mudah memahami persoalan kemasyarakatan yang ada di sekitar mereka.“ ujarnya


“Kami juga ingin meningkatkan jaringan kerjasama dengan pihak eksternal.Kami juga memahami soal kapitalisme global, dan kami ingin mengantisipasinya. Secara internal kami menangkap semangat untuk mandiri dan eksist yang besar dalam tubuh NA. Dalam muktamar ke-10 ini kami ingin mendefinisikan kembali NA sebagai gerakan masyarakat, agama , perempuan dan dijiwai dengan ruh yang benar.“ Tegas Trias Setiowati


Sementara itu Himatul Hasanah, Ketua Kajian PP NA berpendapat bahwa sekarang ini pimpinanya banyak, ada optimalisasi soalnya periode sebelumnya kurang orang. Tapi nampaknya banyaknya orang ini kurang efektif. Banyak kader comotan, tidak punya latar belakang kepemimpinan di NA maupun ortom lain. “Saya juga melihat program-programnya belum jalan.Namun sebagai pimpinan saya merasa bahwa NA cukup dikenal dibanding organisasi wanita lain. Misalnya Mbak Rahmawati Husein yang membawa nama NA keluar, mewakili NA dalam event-event eksternal. Namun saya melihat pimpinan NA ghirahnya kurang.“ Ujarnya 


Oleh sebab itu Muktamar ke-10 merencanakan perampingan pimpinan. Ada tim koreksi yang mengevaluasi keaktifan pimpinan. Program NA yang jalan kurang lebih 30 %.Ada juga program eksternal semisal JPPR. Di NA SDM pimpinan rata-rata S-1 dan S-2. Mereka mengartikan dakwah sebatas pengajian. Dakwah kurang diartikan sebagai profesionalitas dalam mengartikulasikan ajaran agama menjadi praksis sosial. Sebenarnya latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki aktivis NA beragam. Untuk ini NA sedang melakukan kajian untuk memperluas bidang garap dakwah. Hal yang dihadapi NA adalah kurangnya pendanaan. Sebenarnya NA bisa melakukan jemput bola atau mengusahakan sendiri pendanaan programnya.


Landasan gerak aktivitas NA adalah sebagaimana gerakan Muhammadiyah. Kemudian setelah itu bagaimana teman-teman pimpinan menerjemahkan ayat ini dalam gerak NA. Di NA banyak latar belakang disiplin ilmu. Mereka diharapkan dapat menerapkan ayat ini dalam bidang masing-masing.


Sementara itu Laily Nailulmuna, anggota Departemen dakwah PP NA menilai keberhasilan NA periode ini adalah keberhasilan dalam mengelola organisasi, yakni secara struktural dari atas ke bawah tertib.NA juga lebih concern kepada permasalahan sosial serta melaksanakan kaderisasi dengan baik. Tapi ada kekurangannya juga, yakni soal manajerial yang kurang. Banyak anggotanya yang surut atau kurang aktif.


Isu yang dibahas di muktamar nanti adalah tentang praksis sosial. Banyak anggota NA melibatkan diri dalam aktivitas sosial kemasyarakatan semisal menjadi anggota legislatif. Hal ini menunjukkan bahwa anggota NA memiliki potensi yang bisa diberdayakan.Namun kami juga melihat bahwa komunikasi antara pimpinan NA dengan anggotanya kurang berjalan dengan baik. Untuk itu di masa depan NA akan lebih mengembangkan komunikasi ini. Diharapkan dengan komunikasi yang baik organisasi akan lebih berkembang. Pemendekan periode dari lima tahun menjadi empat tahun berdampak pada percepatan kaderisasi. Diharapkan suplai kader dari bawah ke atas bisa berjalan dengan baik.


Sementara itu para pimpinan NA di tingkat wilayah juga memberikan tanggapan seputar kepemimpinan NA periode 2000 – 2004 saerta menyatakan harapannya kepada muktamar ke-10 di Surakarta mendatang.


Nurlaila, Ketua umum PW NA Jatim berpendapat bahwa isu yang diangkat NA di muktamar besok tidak lepas dari masalah kemandiriann.Dengan Muktamar mandiri besok diharapkan kemandiriannya tidak hanya pada faktor pelaksanaannya tetapi juga pada hal yang lain. Harus ada penekanan program. Memang keanggotaannya sudah jelas yaitu pemudi, tetapi disebut sebagai organisasi kader juga tidak jelas kekaderannya. Disebut organisasi sosial juga tidak berbuat apa-apa.Disebut organisasi keagamaan juga tidak pernah mengadakan pengajian dan kajian agama. Memang harus ada pilihan yang jelas diantara ketiga hal yang baik itu, mana yang harus diprioritaskan.


Program dari PP tentang adanya penahapan-penahapan program kerja tiap muktamar itu memang sangat bagus tetapi sosialisasi ke bawahnya yang kurang. Disosialisasikan menjelang muktamar dan pergantian pimpinan sehingga tidak bisa terwariskan secara utuh kepada penerusnaya. Usia di Nasyiah itu kompleks, yang kuliah sedang sibuk menyelesaikan skripsi, ada yang baru berkeluarga,maka satu hal yang kami tekankan kepada para anggota NA itu adalah bahwa kalau di NA itu adalah untuk mengamalkan ilmunya bukan untuk mencari pengetahuan sebagaimana di IRM atau IMM. Program Buana (Badan usaha NA) yang dicanangkan NA itu sebenarnya cukup dijadikan sarana warga NA berkiprah mengamalkan ilmunya. Hanya itu sayangnya PP selalu terlambat mensosialisasikan programnya.Ada kerepotan dalam sosialisasi ke bawah.


Untuk pemasokan kader ke Aisyiyah saya kira masih bisa diharapkan tetapi kalau yang dimaksud itu “mengintili” Aisyiyah seperti dahulu, kita memang kurang karena sudah mempunyai program sendiri. Isu yang diangkat Jatim pada muktamar besok adalah penyederhanaan birokrasi internal. Usia NA yang berkisar 17 – 40 tahun agak rumit juga. Bagi yang sudah 35 tahun masih agak bisa sambung dengan anak 17 tahun. Satu hal lagi masalah yang dihadapi Jatim, kita kurang percaya pada PP NA. PP terlalu sering menelikung keputusan muktamar. Tanfidz yang seharusnya merupakan hasil muktamar seringkali berbeda secara substantif dengan hasil muktamar, itu sebuah kekacauan. Bahkan ada PW yang menyarankan tidak usah ikut muktamar. Mudah-mudahan itu tidak terjadi lagi.


Sementara itu Dra Nur Fadhliyah, anggota PP NA yang berkedudukan di Jakarta menilai keberhasilan NA secara umum masih dalam tahap evaluasi. Tapi jika dilihat dari parameter program pokok, kami telah melaksanakan tugas membina wilayah-wilayah secara maksimal. Dalam artian semampu yang kami lakukan dengan segala keterbatasannya. Selama ini kami masih berusaha memberikan tawaran alternatif program untuk mengatasi kemonotonan yang ada dalam program-program tradisional seperti pembinaan kader dalam bidang ekponomi.


Hambatan-hambatan yang terjadi menurut saya sangat klise dan setahu saya ini juga dialami di wilayah sampai ranting. Kendala kami mungkin karena banyaknya kader yang masuk usia produktif dan memiliki konsentrasi dalam rumah tangga dan pekerjaan lebih besar dibanding aktif di NA. Periodisasi yang pendek tidak memungkinkan kami bergerak sampai ke bawah, akan tetapi positifnya, waktu yang lebih pendek memungkinkan kami untuk memperhatikan prioritas. Dalam menentukan kebijakan publik kami memang belum sejauh ormas perempuan yang lain, hal ini karena kami masih dalam bayang-bayang kebesaran Aisyiyah.


Nurhayati, Ketua PWNA DKI mengatakan bahwa perkaderan formal di DKI kurang berhasil. Jadi kegiatannya bersifat insidental semisal pelatihan jurnalistik. Respon yang didapat positif. Perkaderan NA harus dikembangkan lebih baik. Karena saya melihat sistem perkaderan yang ada belum proaktif dalam merespon peta potensi kader. Potensi SDM kami bagus-bagus akan tetapi sulit mengangkat ke taraf yang lebih karena alasan kesibukan mereka yang padat. Kalau bisa dibilang, mereka tidak hanya memikul beban ganda di luar aktifitas NA. Landasan gerak yang kami lakukan minimal sekali, selain mengadakan DANA, kami selalu memfokuskan pada setiap waktu akan pentingnya wawasan kepemimpinan yang baik.


Hal lain yang tidak kalah penting dalam penataan organisasi NA adalah koordinasi dengan wilayah-wilayah dan daerah pada struktur di bawah PP. Ini penting mengingat sebagai organisasi berskala nasional informasi yang berkembang di daerah harus dalam pengetahuan PP NA. Bagiamana NA harus memutuskan kebijakannya yang berskala nasional kalau dia tidak tahu perkembangan di bawah ? Oleh sebab itu Muktamar ke-10 nanti menjadi moment penting sebab ini pertama kalinya NA muktamar mandiri. NA harus mampu merespon perkembangan di daerah dan merumuskan strategi kebijakannya yang berskala nasional sekaligus menjawab tantangan perubahan. Komunikasi yang baik dengan wilayah-wilayah merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan keputusan muktamar. PP NA harus selalu memantau sejauh mana keputusan muktamar ke-10mendatang dijalankan oleh struktur di bawahnya.


NA memang merupakan organisasi yang unik, ada kekhasan yang dimiliki, yakni organisasi keputrian, tapi sekaligus ormas yang dikenal publik yang tentu saja oleh publik sangat diharapkan kiprahnya. Apalagi Tema Muktamar ke-10 ini berkaitan dengan kebijakan publik. Mau tidak mau NA harus berani dinilai oleh masyarakat umum yang luas segmentasinya. Dia harus siap menerima kritik, dinilai kurang berhasil, atau sesekali menanggung cemoohan. Aplause atau acungan jempol mungkin merupakan barang mahal yang akan sulit untuk didapatkan. Masyarakat yang beragam ini punya banyak keinginan. Ada yang menitikberatkan pada aspek keputriannya saja. Sehingga nanti kalau NA terlalu banyak campur tangan pada masalah sosial NA akan dikritik. Begitu pula ada yang ingin melihat NA tampil menyolok di politik dengan banyaknya kader yang jadi anggota legislatif, namun yang menentang inipun juga tidak kurang. Oleh sebab itu kunci keberhasilan NA dalam berhubungan dengan publik adalah melakukan komunikasi yang aktif dengan cara sebanyak mungkin menginformasikan banyak hal tentang NA dan kegiatannya kepada publik. Ini merupakan satu hal yang mungkin baru dalam tubuh NA.


Kalau dulu mungkin NA dikenal kuper (kurang pergaulan) mungkin kini saatnya NA harus membuka diri untuk mengenal dan dikenal organisasi lain, baik organisasi wanita maupun organisasi sosial kemasyarakatan. NA harus sebanyak mungkin menampilkan dirinya dalam forum-forum diskusi, aksi-aksi sosial, maupun kegiatan yang sifatnya lintas sektoral. Begitu pula NA harus banyak membuat program yang melibatkan pihak eksternal. Kerjasama dengan organisasi lain selain membuat NA dikenal publik jug a memberi pengalaman yang baru bagi NA mengenai jenis kegiatan yang dilakukan. Mungkin NA periode mendatang akan memiliki program-program yang tidak ada pada periode 2000 – 2004. Dan PP NA harus bisa menjelaskan perubahan orientasinya kepada jajaran di bawahnya ( wilayah sampai ranting). Lebih dari itu PP NA harus bisa memberi arahan bagi jajaran pimpinan di bawahnya untuk juga ikut aktif menjalin kerjasama dengan pihak eksternal.


Tentu saja, dan ini yang sulit, adalah bagaimana kerjasamanya dengan banyak pihak tetap membuat NA berjalan di atas khitahnya. Oleh sebab itu khitah yang akan ditempuh selama empat tahun ke depan harus dirumuskan dengan jelas dalam muktamar nanti. Jangan sampai wilayah dan daerah tidak jelas dengan arah yang akan ditempuh PP NA ke depan. Hal ini penting sekali mengingat perkembangan antara daerah satu dengan yang lain berlainan. Kegiatan NA di daerah pelosok di luar Jawa akan berbeda sekali dengan kegiatan NA di Jawa. Maka harus dicari konsensus bagaimana agar aktifitas di daerah selalu diketahui dan disetujui PP NA agar perahu NA secara nasional bisa mengarah ke satu tujuan bersama.


Muktamar ke-10 akan menjadi momentum bagi NA dalam merumuskan kebijakan empat tahun ke depan. Dalam perubahan yang cepat NA harus mampu menjadi organisasi yang solid, efektif dan cerdas dalam menjawab tantangan jaman. Temanya yang berkenaan dengan publik membawa konsekuensi di masa depan NA akan banyak dinilai, dikritik, kadang mungkin dicemooh dan akan sangat jarang sekali mendengar pujian. Perkembangan NA menuju dan pasca muktamar tentunya akan menarik untuk disimak dan dicermati. 

Sumber: 
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04

Subscribe to receive free email updates: