Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda
Berbagai permasalahan yang muncul dalam sistem pendidikan kita. diantaranya adalah: pertama, rendahnya kualitas atau mutu pendidikan. Kedua, adalah belum adanya pemerataan dalam memperoleh akses di bidang pendidikan. Ketiga, adalah tidak adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Disamping itu persoalan yang keempat adalah belum adanya demokratisasi pendidikan. Peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan masih sangat terbatas. Khusus untuk sekolah kejuruan, persoalan yang dirasakan sangat penting berkaitan dengan ketidakmampuan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Hal itu disebabkan karena kualitas lulusan yang memang jauh dari kehendak pasar. Disamping itu juga adanya ketidaksesuaian antara ”supply” lulusan dengan kecilnya “demand”.
Salah satu bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mengantisipasi hal itu adalah Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda (dual system). Sistem ini berusaha mengintegrasikan kepentingan dunia pendidikan dengan dunia industri. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), baik pengetahuan, ketrampilan maupun etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja, sehingga siap masuk ke pasaran kerja Melalui PSG diharapkan ada kesesuaian antara mutu dan kemampuan yang dimiliki lulusan, dengan tuntutan dunia kerja.
Pendidikan Sistem Ganda yang diselenggarakan pada sekolah menengah kejuruan merupakan salah satu bentuk implementasi kebijakan “link and match” antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Bentuk penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda menekankan pada pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sitematik dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan program keahlian yang diperoleh langsung di perusahaan.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Mardi Rasyid (dalam Ruchiat, 2002: 5), menemukan adanya masalah pokok yang dialami dalam melaksanakan PSG adalah: 1) Industri yang menjadi mitra sekolah belum mampu ikut merencanakan kegiatan belajar siswa dalam membentuk profesionalisme siswa, 2) Sekolah harus dapat mempersiapkan siswa untuk memperoleh ketrampilan yang sesuai dengan bidang yang ditekuni, 3) Visi dan misi program PSG dalam pelaksanaannya masih sangat bervariasi, termasuk didalamnya persepsi dari para guru, instruktur dan kepala sekolahnya.
Erwin Kurniadi (1995) berhasil mengidentifikasi empat kendala utama pelaksanaan PSG antara lain: 1) Umumnya peserta belum mempunyai kemampuan dasar yang memadai, 2) Mentalitas peserta masih belum siap untuk memasuki dunia kerja, khususnya dalam hal budaya kerja dan disiplin kerja, 3) Terlalu banyaknya tenaga dan pikiran yang dikeluarkan untuk memahami padatnya modul yang disediakan oleh sekolah, 4) Sarana yang disediakan pihak sekolah belum mampu mengikuti perkembangan IPTEK di dunia usaha.
Jaringan Penelitian Depdikbud Jawa tengah tahun 1995, menemukan beberapa permasalahan dalam pelaksanaan program PSG antara lain adalah: 1) Ketidaksiapan instansi atau perusahaan yang menjadi partner kerjasama dalam menyediakan peralatan, jenis pekerjaan dan teknologi yang sesuai dengan sekolah menengah kejuruan, 2) Ketidaksiapan sekolah dalam merencanakan kurikulum, guru, pelaralatan, waktu dan dana yang tersedia, 3) Kurang tersosialisasikannya program PSG pada pemerintah daerah dan masyarakat.
Badan Litbang Depdikbud (Kompas, 20 Nopember 1995) dalam penelitiannya juga mengidentifikasi sejumlah hambatan yaitu: 1) Tidak seragamnya kualitas siswa sehingga sering menjadikan perusahaan tak dapat menggali potensi maksimal siswa dan membuat pekerjaan yang dihadapi siswa kurang memberikan nilai tambah, 2) Keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia di perusahaan dalam memantau jumlah siswa, sehingga penilaiannya menjadi kurang akurat, 3) Muatan kurikulum SMK yang cenderung sarat dengan berbagai materi yang dianggap bagus dan penting berdasarkan pertimbangan disiplin keilmuan akan tetapi tak jelas kaitannya dengan pembentukan keahlian yang harus dikuasai siswa, 4) Sistem pembelajaran yang terjadi masih sangat berorientasi kepada pemenuhan tuntutan formal program kurikulum sekolah, 5) Orientasi program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) lebih berat pada perusahaan besar dibanding pada perusahaan kecil dan menengah.
Namun apakah semua sekolah mempunyai kecenderungan yang sama?
Pertanyaan diatas mendorong perlunya dilakukan evaluasi atas pelaksanaan PSG tersebut. Penelitian dilakukan di Sekolah Tehnik Menengah/ SMK Negeri 2 di Kabupaten Klaten, karena merupakan salah satu Sekolah Menengah Kejuruan negeri yang dianggap berhasil di Kabupaten Klaten, sehingga sering dijadikan barometer bagi sekolah kejuruan yang lainnya. Untuk itu maka evaluasi dilakukan.
Evaluasi Implementasi kebijakan
Evaluasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan (Darwin, 1994: 34). Evaluasi merupakan penilaian terhadap suatu persoalan yang umumnya menunjuk baik buruknya persoalan tersebut. Dalam kaitannya dengan suatu program biasanya evaluasi dilakukan dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. (Hanafi & Guntur, 1984: 16).
Evaluasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu: 1) Proses pembuatan kebijakan, 2) Proses implementasi kebijakan, 3) Konsekuensi kebijakan, 4) Efektivitas dampak kebijakan (Wibowo, 1994: 9). Sementara itu Pall (1987: 52) membagi evaluasi kebijakan kedalam empat kategori, yaitu: 1) Planning and need evaluations, 2) Process evaluations, 3) Impact evaluations, 4) Efficiency evaluations, Menurut Ripley (Riyanto, 1997: 35), evaluasi implementasi kebijakan adalah evaluasi yang dirumuskan sebagai berikut :
1. Ditujukan untuk melakukan evaluasi terhadap proses
2. Dilaksanakan dengan menambah pada perspektif apa yang terjadi selain kepatuhan
3. Dilakukan untuk mengevaluasi dampak jangka pendek.
Mengenai konsep implementasi sendiri, Presman dan Wildavsky (dalam Wahab (2002: 60) mengartikannya, sebagai “to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Sedangkan Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan sebagai ”Those action by public an private individual (or groups) that are directed at the achiefment of objectives set fort in prior policy decisions”.
Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan Udoji (dalam Abdul Wahab, 1991: 45). Implementasi kebijakan merupakan jembatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Menurut Anderson (1979: 68), ada 4 aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan yaitu: 1) siapa yang mengimplementasikan, 2) hakekat dari proses administrasi, 3) kepatuhan, dan 4) dampak dari pelaksanaan kebijakan.
Sementara itu menurut Ripley & Franklin(1986,54) ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What”s happening ? (Apa yang terjadi ). Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan. Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya.
Guna melihat keberhasilan implementasi, dikenal beberapa model implementasi, antara lain model yang dikembangkan Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan bahwa Implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel, yaitu 1) Karakteristik masalah, 2) Struktur manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan yang mengoperasionalkan kebijakan, 3) Faktor-faktor di luar peraturan.(Wibowo dkk, 1994: 25) Karakterisitik masalah berkaitan dengan mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan. Semakin mudah suatu masalah digarap dan dikendalikan maka akan diharapkan dengan mudah tercapai efektivitas dalam implementasinya. Struktur manajemen program tercermin dalam kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya.
Sementara itu sejumlah variabel diluar peraturan yang mempengaruhi proses implementasi, antara lain: 1) Kondisi sosial, ekonomi dan teknologi, 2) Dukungan publik, 3) Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok, 4) Dukungan dari pejabat atasan, 5) Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana.
Pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini menganggap bahwa suatu Implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis). Oleh karena itu model ini disebut top down.
Sementara itu Van Horn dan Van Meter (1975: 447), dengan modelnya merumuskan sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan adalah; 1) standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, 2) tersedianya sumber daya, baik yang berupa dana, tehnologi, sarana maupun prasarana lainnya, 3) komunikasi antara organisasi yang baik ,4) karakteristik birokrasi pelaksana, 5) kondisi sosial, ekonomi, dan politik Sementara itu menurut Grindle (1980), implementasi ditentukan oleh isi (content) kebijakan dan konteks implementasinya. Dalam hal ini, Isi kebijakan mencakup: 1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, 2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan, 3) Derajat perubahan yang diinginkan, 4) Kedudukan pembuat kebijakan, 5) Siapa pelaksana program, 6) Sumber daya yang dikerahkan. Sementara itu Konteks kebijakan meliputi: 1)Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, 2) Karakteristik lembaga dan penguasa, 3) Kepatuhan serta daya tanggap pelaksana.
Dalam penelitian ini tidak mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi akan tetapi lebih mengacu bagaimana proses itu berlangsung, apakah telah sesuai dengan aturan pelaksanaannya, hasil apa yang telah diperoleh selama proses implementasi, bagaimana sikap pelaksananya, bagaimana sejumlah sumber digunakan untuk proses implementasi. Dengan demikian evaluasi implementasi dititikberatkan pada evalusi kinerja proses implementasi kebijakannya. Konsep yang dipilih adalah dari Ripley (1985).
Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda
Kebijakan pendidikan sistem ganda dikembangkan berdasarkan konsep dual system di Jerman, yaitu suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sitematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, dengan tujuan untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. Tujuan penyelenggaran Pendidikan Sistem Ganda adalah: 1) menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, 2) Memperkokoh link and match antara sekolah dengan dunia usaha, 3) Meningkatkan efisiensi proses pendidikan dan pelatihan tenaga kerja, 4) Memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan.
Dalam pelaksanaan PSG pada sekolah menengah kejuruan, isi pendidikan dan pelatihan meliputi :
a. Komponen pendidikan umum (normatif), meliputi : Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Agama, Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum.
b. Komponen pendidikan dasar meliputi : Matematika, Bahasa Inggris, Biologi, Fisika dan Kimia.
c. Komponen kejuruan, yaitu meliputi pelajaran teori-teori kejuruan dalam lingkup suatu program studi tertentu untuk membekali pengetahuan tentang tehnis dasar keahlian.
d. Komponen Praktek Dasar Profesi, berupa latihan kerja untuk menguasai teknik bekerja secara benar sesuai tuntutan profesi.
e. Komponen Praktik Keahlian profesi yaitu berupa kegiatan bekerja secara terprogram dalam situasi sebenarnya uanutk mencapai tingkat keahlian dan sikap profesional.
Untuk pengelolaan kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan system ganda ini ada beberapa prinsip dasar yaitu :
a. Ada keterkaitan antara apa yang dilakukan di sekolah dan apa yang dilakukan di institusi pasangan sebagai suatu rangkaian yang utuh
b. Praktek keahlian di institusi pasangan merupakan proses belajar yang utuh, bermakna dan sarat nilai untuk mencapai kompetesi lulusan.
c. Ada kesinambungan proses belajar dengan waktu yang sesuai dalam mencapai tingkat kompetensi yang dibutuhkan.
d. Berorientasi pada proses disamping berorientasi kepada produk dalam mencapai kompetensi lulusan secara optimal.