EKONOMI POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Bab 1 Kebijakan Publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi.
Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik).
Bab II Dalam suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi kebutuhannya manusia berhubungan dengan manusia lain. Karena Proses produksi selalu merupakan hasil saling hubungan antar manusia, maka sifat dari produksi juga selalu bersifat sosial. Saling hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut sebagai hubungan sosial produksi. Dari kegiatan produksi ini kemudian muncul kegiatan berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang. Hubungan sosial produksi dalam sebauh masyarakat bisa bersifat kerja sama atau bersifat penghisapan. Hal ini tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat-alat produksi (alat-alat kerja dan obyek kerja).
Hubungan sosial produksi dan tenaga produktif (alat-alat produksi dan tenaga kerja) inilah kemudian membentuk suatu cara produksi dalam suatu masyarakat. Misalnya cara produksi komunal primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Perubahan yang terjadi dari suatu cara produksi tertentu ke cara produksi yang lain terjadi akibat berkembangnya tenaga produktif dalam suatu masyarakat yang akhirnya mendorong hubungan produksi lama tidak dapat dipertahankan lagi dan menuntut adanya hubungan produksi baru. Inilah hukum dasar sejarah masyarakat dan merupakan sumber utama dari semua perubahan sosial yang ada.
Bab III Seperti yang di jelaskan sebelumnya bahwa kapitalisme hidup pertama dari kepemilikan mereka atas alat-alat produksi yang seharusnya menjadi milik sosial (lihat sejarah masyarakat bahwa pada awalnya alat-alat produksi ini adalah milik bersama/sosial). Kepemilikan alat-alat produksi ini dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang yang dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus.
Sederhananya, kapital menuntut kapitalis untuk terus mengakumulasi modal, untuk menjadi kaya, kaya sekaya-kayanya untuk semakin kaya lagi, dan tidak ada kata cukup untuk menambah kekayaan. Ini semua bukanlah persoalan kapitalisnya serakah atau rakus atau karena kapitalisnya adalah orang yang tidak taat agama, orang Cina, Amerika, Jepang, Korea, Arab dll. Semua kapitalis adalah sama. Karena memang tuntutan ini bukan karena ada watak-watak serakah dari individu-individu kapitalis. Melainkan tuntutan dari cara kerja sistem kapitalisme menuntut setiap kapitalis untuk menjadi demikian. Penjelasannya seperti di bawah ini.
Misal bahwa harga ditentukan oleh komposisi permintaan dan penawaran. Adanya permintaan yang besar terhadap suatu barang, sementara penawaran (persedian) yang ada lebih kecil dari permintaan pasar menyebabkan harga suatu barang barang dagangan meningkat. Kejadian ini menyebabkan kapital akan bergerak ke keadaan dimana permintaan meningkat
Ketika harga suatu barang dagangan tinggi akibat permintaan lebih besar daripada barang yang tersedia di pasar, maka untuk memperbesar keuntungan maka si kapitalis meningkatkan jumlah barang dagangannya. Ini dilakukan dengan cara meningkatkan/menambah jumlah mesin yang ia miliki, menambah jumlah buruh, melakukan pembagian tugas/kerja yang lebih canggih (lebih kecil), melakukan percepatan, dan meningkatkan efisiensi dalam pabrik.
Tetapi mesin-mesin juga menciptakan kelebihan populasi pekerja, mereka juga mengubah watak buruh. Buruh-buruh trampil menjadi tidak berguna ketrampilannya karena ketrampilannya telah diganti oleh mesin. Lihat misalnya para sarjana yang kerja di perbankan, atau di perusahaan-perusahaan lainnya, mereka yang telatih menggunakan komputer, memiliki kemampuan akutansi, memiliki bermacam keahlian. Semua ketrampilan dan keahlian ini menjadi tidak berguna. Karena dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi proses mekanisasi kerja. Kerjanya kini hanya memasukkan data-data setiap harinya. Terus berulang-ulang. Dengan penggantian mesin, anak-anak juga dapat dipekerjakan.
Penambahan mesin-mesin baru yang lebih modern/canggih (ingat sifat dari teknologi yang terus berkembang) memungkinkan seorang buruh dapat memproduksi sebanyak tiga kali lipat, sepuluh kali lipat, tujuh belas, atau puluhan kali lipat dari sebelumnya. Dengan cara ini, maka hasil produksi dapat jauh lebih besar. Harga biaya produksi bisa lebih diperkecil.
Tetapi semua tindakan kapitalis diatas tidak saja dilakukan oleh satu kapitalis saja melainkan kapitalis yang lain juga melakukan tindakan yang sama. Masing-masing berlomba untuk dapat menguasai pasar, bahkan dengan menurunkan harga barang dagangan tadi (walaupun harganya tetap diatas biaya produksi). Persaingan ini terus terjadi. Dimana disatu titik akan menyebabkan beberapa kapitalis yang kalah dalam persaiangan ini terpaksa kalah, bangkrut atau pindah ke usaha lain yang berkembang. Kapitalis-kapitalis yang modalnya lebih besar memenangkan pertarungan ini.
Sejak satu abad yang lalu, dengan mesin-mesin baru yang lebih canggih (hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) kemampuan produksi kapitalisme telah dapat memenuhi jumlah dari permintaan yang ada, bahkan telah jauh diatasnya. Hingga akhirnya produksi barang jauh lebih besar dibanding dengan kemampuan pasar untuk membeli barang-barang ini. Akhirnya si kapitalis kini bukan saja harus memikirkan bagaimana mendapatkan untung dari penjualan barang produksinya melainkan juga bagaimana dapat menjual barang dagangannya yang berlimpah (diatas permintaan pasar) yang juga harus bersaing dengan kapitalis lain, menyebabkan kebangkrutan dari beberapa kapitalis. Kebangkrutan jelas juga membawa akibat terphknya buruh di perusahaan yang kalah bersaing ini. Rakyat pekerja dilempar ke jalan-jalan menjadi pengangguran. Sementara itu, barang-barang produksi melimpah di pasar, sementara masyarakat tidak memiliki daya beli untuk mengkonsumsi barang—barang ini. Ini juga menyebabkan kebangkrutan kembali dari perusahaan-perusahaan yang ada. Inilah cara kerja kapitalisme, dimana didalam keteraturannya (ketertibannya) terkandung ketidaktertibannya, liar, anarki produksi.
Bab IV Sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 1990-an, yang memiliki andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005, harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat resiko politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 milyar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 milyar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 milyar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 milyar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001, bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB . Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen dari PDB Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar 15 persen pada tahun 2006 menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.