Konsep Fitrah Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan manusia seutuhnya, berarti proses kependidikan yang harus dikelola oleh para pendidik harus berjalan, di atas pola dasar dari fitrah yang telah dibentuk Allah dalam setiap pribadi manusia.
Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yang kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yang dapat dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu dan mempengaruhi) untuk terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan sempurna melalui arahan kependidikan.
Makalah ini mencoba mengungkapkan konsep fitrah dan bagaimana implikasinya dalam pendidikan Islam.
1. Konsep Fitrah dalam Perspektif Pendidikan Islam Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir dengan seperangkat dosa waris, yakni dosa asal sebagai akibat dari perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, aliran Behaviorisme memandang bahwa manusia lahir tidak mempunyai kecenderungan baik maupun buruk. Teori ini terkenal dengan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).
Sedangkan Islam menawarkan sebuah konsep tentang hakikat manusia yang tercermin dalam konsep fitrahnya.
Para pakar Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, dan tiap-tiap formulasi yang dihasilkan melalui kajian dan argumentasi yang kuat. Landasan dari tiap formulasi tersebut adalah firman Allah SWT. yang berbunyi :
ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪﱢﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔﺎً ﻓِﻄْﺮَةَ اﻟﻠﱠﻪِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ اﻟﺪﱢﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴﱢﻢُ وَﻟَﻜِﻦﱠ أَآْﺜَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻟَﺎﻳَﻌْﻠَﻤُﻮنَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepad agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Dari ayat tersebut timbullah berbagai interpretasi tentang makna fitrah yaitu :
a. Fitrah berarti suci
b. Fitrah berarti Islam
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah
d. Fitrah berarti murni
e. Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran.
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah
g. Fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya.
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature).
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan dan pengaruh dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah sebagai kemampuan dasar dan kecenderungan yang murni bagi setiap individu.
Fitrah ini lahir dalam bentuk yang paling sederhana dan terbatas, kemudian saling mempengaruhi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh dan berkembang lebih baik, atau bahkan sebaliknya.
Sebagai mana telah dijelaskan di atas bahwa fitrah mengacu kepada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu diantaranya yaitu,
a. Potensi beragama
Perasaan keagamaan adalah naluri yang dibawa sejak lahir bersama ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat tertinggi yang Maha Unggul di luar dirinya dan dan diluar dari alam benda yang dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh apabila manusia dihadapkan pada persoalan persoalan yang melingkupinya.
Akal akan menyadari kekerdilannya dan mengakui akan kudratnya yang terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan sang hamba kepada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya dengan tulus ikhlas tersisih dari syirik atau sebarang penyekutuannya.
b. Kecenderungan moral
Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi beragama. Ia mampu untuk membedakan yang baik dan buruk. Atau yang memiliki hati yang dapat mengarahkan kehendak dan akal.
Apabila dipandang dari pengertian fitrah seperti di atas, maka kecenderungan moral itu bisa mengarah kepada dua hal sebagaimana terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7:
وَﻧَﻔْﺲٍ وَﻣَﺎ ﺳَﻮﱠاهَﺎ ﴿٧﴾ﻓَﺄَﻟْﻬَﻤَﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮرَهَﺎ وَﺗَﻘْﻮَاهَﺎ ﴿٨﴾
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,
c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156)
Manusia mampu dibentuk dan diubah. Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai dan aliran lama, dengan cara interaksi social baik dengan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat manusia yang mudah lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3 :
إِﻧﱠﺎ هَﺪَﻳْﻨَﺎﻩُ اﻟﺴﱠﺒِﻴﻞَ إِﻣﱠﺎ ﺷَﺎآِﺮاً وَإِﻣﱠﺎ آَﻔُﻮراً ﴿٣﴾
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.
d. Kecenderungan bermasyarakat
Manusia juga memiliki kecendrungan bersosial dan bermasyarakat.
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu :
a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql)
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat)
Yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian, diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaranajaranNya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.
Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia kepada dua bentuk, yaitu:
a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir.
Bentuk fitrah ini berupa nafsu, akal, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan.
b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar manusia. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang diturunkan Allah untuk membimbing dan mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara kedua fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi pula kualitas manusia.
Dari semua penjelasan mengenai potensi manusia, tampak jelas bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan ikut mempengaruhi dinamika dan arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, penempaan dan pembinaan fitrah yang dimiliki tidak pada fitrahnya maka manusia akan tergelincir dari tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu pembinaan fitrah dengan pendidikan.
Bila pengertian fitrah di atas dikaitkan dengan tugas dan fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah manusia tersebut masih memerlukan beberapa upaya untuk merangsangnya berkembang secara maksimal. Upaya tersebut adalah pendidikan.
Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi manusia yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya, tetapi ada juga potensi lain yang menjadi kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah harus tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar apabila mendapat suplay yang dijiwai oleh wahyu Allah, tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman Islam secara kaffah dan universal. Semakin tinggi tingkat interaksi seseorang dengan Islam, semakin baik pula perkembangan fitrahnya.
Konsep fitrah menurut Islam tidak sama dengan teori Tabularasa John Locke. Sebab dalam Islam, manusia sejak lahir telah memiliki berbagai bentuk potensi yang bisa dikembangkan. Konsep fitrah manusia menurut Islam juga berbeda jauh dengan teori nativisme A, Scopenhour, sebab dalam Islam mengakui adanya pengaruh yang besar di luar diri manusia, baik insani maupun non insani, dalam mengembangkan dan memodifikasi potensi yang dimilikinya.
Konsep fitrah menurut Islam juga berbeda dengan teori konvergensi William Stern, sebab dalam pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membentuk kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yang lebih dominan dalam membentuk kepribandian manusia, tapi ada kalanya lingkungan yang lebih dominan, atau kedua-duanya sama-sama dominan. Bahkan dalam Islam, di luar kedua pengaruh tersebut, ada pengaruh lainnya yang juga ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian manusia, yaitu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cakupan dari pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding dengan batasan yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan kontemporer dalam melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial dan lepas dari kerangka bingkai religiusitas manusia yang sakral dan asasi.
2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan Konvergensi)
Manusia lahir dengan membawa fitrah, yang mencakup fitrah agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. 5:2), fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan (kawin), cinta tanah air, dan sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut harus mendapat tempat dan perhatian, serta pengaruh dari faktor oksigen manusia (lingkungan) untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal dari kelestarian an-nafsu ammarah bis suu`, sehingga manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah yang mencitakannya.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah manusia.
Bahkan factor tersebut dapat mempengaruhi kepribadian manusia. Namun demikian, ia bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa ada dukungan dari faktor-faktor lain. Pernyataan tersebut menolak pandangan Skinner yang mengatakan bahwa lingkungan menentukan kehidupan manusia betapapun dia mengubah lingkungannya. Di sini terlihat bahwa manusia tidak lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-gerakan yang tiak disengaja), di samping itu agama sebagai aspek lain dari tingkah laku manusia dapat dijelaskan berkenaan dengan factor-faktor lingkungan.. pernyatan tersebut dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam biasanya menjadi muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen biasanya menjadi Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai salah satu contoh untuk menjelaskan teorinya (Abdullah, 1982: 60) Pada fase defense, masa kanak-kanak memberikan kemungkinan orang tuanya untuk memberikan pengaruh-pengaruh pada putra-putrinya.
Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan dengan hadits Nabi saw, yang menunjukkan cara fitrah itu dipengaruhi oleh lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53)
“Tidak seorang pun dilahirkan kecuali ia mempunyai fitah, maka kedua orang tuanya yang mempengaruhi, menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Hadits di atas menjelaskan bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir, dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Fitrah ini tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak memungkinkan untuk menjadikan fitrah tersebut lebih baik. Factor-faktor eksternal yang bergabung dengan fitrah dan sifat dasarnya bergantung pada sejauh mana interaksi internal berperan terhadap fitrah tersebut.
Sebaliknya, menurut pengamat behavioris, fitrah itu tidak mengharuskan manusia untuk berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yang hidup dalam kondisi yang sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus dengan cara yang berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun dari Mesir telah menjadi wanita yang beriman kepada Allah SWT.sekalipun berada di lingkungan orang musyrik, dia selalu berdo`a kepada Allah SWT yang disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11)
Di samping itu, hadits Nabi SAW. tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir, dan mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah merupakan akibat dari factor lingkungan (pendidikan). Di dalam fitrah terkandung pengertian baik buruk, benar salah, indah jelek, lempang sesat, dan seterusnya.
Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau mengembalikannya pada kebaikan setelah ia mengalami penyimpangan (kuratif) (Ahmad: 32).
Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan pengaruh alam sekitarnya. Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan dan pengajaran. Dari sisi ini pula, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT. memberi kemampuan akal yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk kepada manusia, sehingga pendidikan berperan dalam mengarahkan akal manusia ke jalan yang baik dan benar, bukan ke jalan yang jelek dan tersesat. Uraian itu dapat dibuktikan dalam al-Qur`an bahwa manusia mempunyai tabiat asli (Q.S. 30:30) yang harus diupayakan dengan pendidikan (Q.S. 16:78), serta adanya kemampuan memilih bagi manusia (Q.S. 6:78, 90:8, 76:3) (Al-Jamaly, 1986: 66).
Ibnu Khaldun juga mengungkapkan bahwa factor-faktor di luar diri manusia mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan tindakan manusia. Dengan demikian, manusia yang sebenarnya adalah manusia yang dibentuk oleh lingkungannya, baik lingkungan alam fisik maupun lingkungan alam social yang dibentuk oleh tindakan-tindakan nyata manusia (Raharjo, 1987: 7). Interaksi manusia dengan lingkungannya itulah menumbuhkan lembaga, tradisi, system atau structural yang memberikan ciri pada suatu masyarakat atau peradaban tertentu.
3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat dasar manusia merupakan makhluk yang serba terbatas dan memerlukan upaya yang membuat kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu ada upaya. Upaya itu adalah lewat pendidikan. Oleh karena itu sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat dan potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan dinamis. Potensi itu meliputi kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi, berpendapat,serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yang berhubungan langsung dengan manusia itu sendiri, alam, sosial, maupun pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213)
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya pada pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang ada pada aspek jasmani maupun rohani: intelektual, emosional, serta moral etis religius dalam diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok insan paripurna yang mampu melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya.
Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd maupun sebagai khalifah fi al-ardh. Adapun model atau bentuk yang ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan menjadi persoalan. Terserah kepada kebijaksanaan dan kepentingan manusia itu sendiri, asal saja pelaksanaan pendidikan tersebut tidak bertentangan, akan tetapi memiliki keserasian dengan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dan fitrah religiusnya untuk senantiasa mengarah pada fitrah Allah yang hanif. Dengan upaya ini akan menciptakan situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel.
Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi manusia secara integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah. Keduanya memiliki natur dan kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yang lain, karena hakekat esensial keduanya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu di antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah manusia, untuk itu proses pendidikan Islam harus mampu menyentuh keduanya secara padu dan harmonis, yaitu dengan jalan mengembangkan dan memenuhi kebutuhan kedua dimensi tersebut terhadap peserta didik.
Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu, pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, meliputi pengembanagn jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian paripurna bagi kemashlahatan seluruh umat (Langgulung, 1995: 13).
Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yang diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yang disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan potensi peserta didik. Artinya, pola pendidikan yang ditawarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan fisik dan psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan.
Jika tidak, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya.
Apabila kita melihat program pendidikan sebagai usaha untuk menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan insani, serta membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif.
(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada tumbuhnya daya kreativitas dan produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai ilahi dan insani. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai kemampuan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam program pendidikan.
Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang ini dan itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasarnya serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz yang membangun pembawaan agresi manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan untuk mencapai objek-objek pengganti dan prosedur-prosedur sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifatsifat agresi ini. Jelasnya seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya untuk menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik muslim untuk berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu tidak dapat berkembang dengan sendirinya.
Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan untuk bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hubungan yang mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan manusia akan adanya Allah melalui fitrahnya tidak dapat disamakan dengan teori yang memandang bahwa monoteisme sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tertinggi. At-tauhid merupakan inti dari semua ajaran agama yang dianugrahkan Allah kepada manusia, munculnya kepercayaan tentang banyaknyga Tuhan yang mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid telah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi juga masalah kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang menekankan keagungan Allah yang harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum pendidikan Islam.
Di samping fitrah, manusia juga mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah tidak dapat dikonsumsikan sebagaimana hewan, tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan harmonis untuk mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep demikian itu tidak berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, seperti tidak kawin; puasa terus menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tersebut diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30
ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ
“Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30)
Firman Allah di atas menunjukkan bahwa kebutuhan jasmaniah anak didik tidak boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada hal-hal yang positif. Seorang pendidik tidak boleh mengubah kebutuhan dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah An-Nisa ayat 119 :
…وَﻵﻣُﺮَﻧﱠﻬُﻢْ ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴﱢﺮُنﱠ ﺧَﻠْﻖَ اﻟﻠّﻪِ وَﻣَﻦ ﻳَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟﺸﱠﻴْﻄَﺎنَوَﻟِﻴّﺎً ﻣﱢﻦ دُونِ اﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺴِﺮَ ﺧُﺴْﺮَاﻧﺎً ﻣﱡﺒِﻴﻨﺎً ﴿١١٩﴾
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau merubahnya. Barang siapa yang menjadikan syetan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141)
Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati mengungkapkan lima faktor yang secara kontinu dan simultan membangun personalitas anak didik, yaitu :
• Factor ibu yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan.
• Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan hahrga diri.
• Factor sekolah yang membantu terbentuknya sifat.
• Factor masyarakat dan lingkungan yang memberikan sarana empiris bagi anak.
• Factor kebudayaan umum masyarakat yang memberi pengetahuan dan pengalaman tentang corak kehidupan manusia. (Syari`ati, 1982: 64)
Kelima faktor di atas merupakan stimulasi yang dapat mengembangkan fitrah anak didik dalam berbagai dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yang suci dan bersih, orang tua/pendidik dituntut untuk tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya pada kebiasaan yang baik, serta melarang mereka membiasakan diri untuk berbuat buruk.