Aktualisasi Islam Yang Berkemajuan
Muhammadiyah dalam Muktamar Satu Abad tahun 2010 di Yogyakarta mendeklarasikan pandangan Islam yang berkemajuan. Konsep, istilah, dan pandangan Islam yang berkemajuan tersebut merupakan bagian dari substansi Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua. Di dalamnya terkandung pula pandangan tentang kebangsaan, kosmopolitanisme Islam, dan gerakan pencerahan.
Pandangan Islam yang berkemajuan sebagaimana dideklarasikan Muhammadiyah merupakan ikhtiar untuk menggali kembali api pemikiran Islam yang digagas dan diaktualisasikan oleh pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan seratus tahun yang silam. Selain itu, pandangan tersebut sekaligus menjadi bingkai pemikiran bagi Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua dalam perjalanannya ke depan, sehingga spirit pembaruan tetap berkesinambungan dalam gerakan Muhammadiyah dan seluruh komponen organisasinya.
Pandangan tentang Islam yang berkemajuan jangan diartikan dengan cara berpikir “mafhum mukhalafah” (makna sebaliknya, oposisi biner), seolah di balik itu ada Islam yang tidak berkemajuan. Cara berpikir seperti itu cenderung dangkal dan verbal. Islam itu pada hakikatnya agama yang berkemajuan, karena itu penting untuk ditonjolkan watak dasar Islam yang maju itu. Jika Muhammadiyah menekankan pada pandangan Islam yang berkemajuan maka jangan ditarik ke konsep dan pemikiran yang sempit dan formalistik. Muhammadiyah dengan pandangan Islam yang berkemajuan itu bahkan memperdalam dan memperluas tentang Islam sebagai ajaran yang menyeluruh atau komprehensif, yang diturunkan ke muka bumi untuk membawa kemajuan kepada seluruh umatnya di alam semesta.
Perumusan pandangan Islam yang berkemajuan bukanlah langkah yang tiba-tiba dan bersifat slogan besar. Langkah tersebut diambil sebagai jalan strategis yang memiliki fondasi dan orientasi yang kokoh dalam perjalanan gerakan Muhammadiyah. Perumusan tersebut juga bukanlah langkah utopis atau mengawang-awang dan seakan tidak membumi, karena pada kenyataannya Muhammadiyah sejak awal kelahirannya hingga mampu bertahan sampai satu abad lebih tidak lepas dari pandangan Islam yang berkemajuan. Dengan demikian pandangan Islam yang berkemajuan dalam Muhammadiyah bersifat aktual sehingga selalu dapat diaktualisasikan atau diwujudkan atau dilaksanakan dalam berbagai aspek gerakan.
Karenanya pandangan Islam yang berkemajuan penting untuk diyakini, dipahami, dan tidak kalah pentingnya diaktualisasikan dalam seluruh gerakan Muhammadiyah. Para anggota lebih-lebih kader dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh lingkungan dan komponennya dituntut untuk memahami secara luas dan mendalam mengenai pandangan Islam yang berkemajuan. Setelah itu bagaimana mewujudkan atau mengaktualisasikan pandangan Islam yang berkemajuan dalam seluruh gerakannya termasuk dalam melaksanakan usaha-usaha melalui amal usaha, program, dan kegiatan untuk mencapai tujuan terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin.
Islam Agama Berkemajuan
Islam adalah agama wahyu yang sempurna dan paripurna. Menurut Tarjih Muhammadiyah, Ad-Din alIslami: huwa maa syara’ahu Allah ‘ala lisani anbiyaaihi min al-awamir wa al-nawahi wa al-isryadati li-al-shalah al-ibadi dunya-hum wa ukhra-hum (Agama Islam ialah apa-apa yang telah disyari’atkan Allah melalui perantaraan Nabinabi-Nya berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk-Nya untuk kebaikan hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat). Islam memiliki landasan yang kokoh, karena sebagai agama yang diturunkan Tuhan (al-fitrah almunajalah), kompatibel dengan hakikat dan potensi dasar manusia yang dianugerahi Allah fitrah beragama (fitrah al-maqbulah), sehingga agama ini disebut sebagai agama fitrah atau agama hanif sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS Ar-Rum: 30).
Islam sebagai agama fitrah memiliki misi yang utama, yakni menjadi rahmat bagi kehidupan alam semesta.
Firman Allah dalam Al-Quran menyatakan:
Artinya: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya: 107).
Sebagai agama rahmat, Islam tidak hanya untuk manusia, tetapi memberi manfaat bagi kehidupan di alam raya seperti hewan, tumbuhan, lingkungan, dan lain-lain dalam relasi saling terkait antara hubungan dengan Tuhan (habluminallah), hubungan dengan sesama manusia (hablimannas), dan hubungan dengan semesta alam (hablumin al-’alam).
Islam sebagai agama mengatur seluruh aspek kehidupan. Tetapi ada aspek-aspek kehidupan yang secara rinci diatur, ada yang sifatnya mujmal atau umum, dan bahkan ada yang diberikan keleluasaan manusia untuk mengaturnya. Hadis Nabi: “Antum a’lamu bi umuri dunyakum”. Al-muradu bi-amri al-dunya...antum a’alum bi umuri dunyakum...huwa al-umuru’llati lam yub’ats li-ajliha al-anbiyaau” (yakni perkara-perkara / urusan-urusan / pekerjaan-pekerjaan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan-kebijakan manusia). Dalam hal ini terutama masalah-masalah mu’amalah-dunyawiyyah, al-ashlu fil asyaa (al-mu’amalat) al-ibahah, hatta yaquma ad-dalil ‘ala at-tahrim, bahwa asal muasal hukum mu’amalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Termasuk dalam hal bagaimana mengurus masyarakat, bangsa, dan negara.
Islam hanya mengatur prinsip-prinsipnya atau isyaratisyarat dalam bentuk al-isryadat. Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin berkomitmen untuk membangun tatanan kehidupan yang adil (QS Al-Araf: 29), makmur (Qs Hud: 61), sejahtera (QS An-Nisa: 19), persaudaraan (QS Al-Hujarat: 10), saling tolong menolong (QS Al-Maidah: 2), kebaikan (QS AlQashas: 77), terbangunnya hubungan baik pemimpin dan warga (An-Nisa: 57-58), terjaminnya keselamatan umum (QS At-Taubah: 128), Hidup berdampingan dengan baik dan damai (Al-Imran: 101, 104; dan Al-Qashas: 77), tidak adanya kezaliman (Al-Furqan: 19), tidak ada kerusakan atau fasad fi al-ardl (QS Al-Baqarah: 11), dan terciptanya umat terbaik atau khaira ummah (QS Ali Imran: 110), sehingga secara keseluruhan terwujud “baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur” sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan) “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (QS Saba: 15).
Islam mengajarkan agar manusia mengurus dunia dan menjadikannya sebagai “majra’at al-akhirat” atau ladang akhirat. Islam memerintahkan umatnya untuk merencanakan masa depan sebagai bagian tidak terpisahkan dari bertaqwa (QS Al-Hasyr: 18), bahkan umat diperintahkan untuk melakukan perubahan nasib dengan ikhtiar sebab “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya” (QS ArRa’d: 11). Muslim tidak boleh melupakan dunia, sebaliknya mengurus untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat dengan perbuatan baik sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS Al-Qashash: 77).
Karena itu menjadi suatu kewajiban umatnya agar Islam didakwahkan sehingga menjadi sistem kehidupan yang utama bagi peradaban umat manusia. Kewajiban berdakwah itu merupakan tanggungjawab pribadi sekaligus kolektif, sehingga setiap muslim harus merasa terpanggil untuk melakukannya dengan ikhlas dan niat beribadah tanpa paksaan. Kewajiban dakwah Islam itu diperintahkan Allah dalam Al-Quran sebagaimana firman-Nya:
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran: 104).
Nabi membangun fondasi peradaban Islam selama 23 tahun dengan penuh dinamika dilanjutkan oleh empat khalifah utama. Setelah itu peradaban Islam meluas dan Islam menjadi agama peradaban dunia selama sekitar lima abad lamanya. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan mencapai puncaknya ketika Barat saat itu tertidur lelap.
Terbentuknya peradaban Islam yang utama itu tidak lepas dari spirit ijtihad dan tajdid yang menyatu dalam kehidupan umat Islam. Nabi sendiri melalui sebuah hadis memberikan perspektif, bahwa pada setiap kehadiran abad baru datang mujadid yang akan memperbarui paham agama. Maknanya bahwa pada setiap babakan sejarah yang penting dan krusial selalui dibutuhkan pembaruan, sehingga Islam mampu menjawab tantangan zaman. Islam dan umat Islam tidak boleh jumud atau statis, sebaliknya harus dinamis dan progresif. Itulah spirit dan pandangan Islam yang berkemajuan sebagai tonggak peradaban.
Dari sejumlah ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi yang dipaparkan tersebut tampak jelas hakikat Islam sebagai agama yang menanamkan nilai-nilai kemajuan bagi umat manusia. Karenanya menjadi muslim dan umat Islam semestinya mempunyai spirit, etos, pemikiran, sikap, dan tindakan yang berwawasan kemajuan. Dengan Islam yang berkemajuan maka umat Islam akan melahirkan peradaban yang menyinari dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
Ideologi Kemajuan
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Muhammadiyah berasas Islam.
Dengan karakter tersebut Muhammadiyah menegaskan dirinya sebagai Gerakan Islam yang melaksanakan misi dakwah dan tajdid. Sedangkan maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah sejak awal berkomitmen dan berkiprah untuk memajukan kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan universal. Karenanya, Muhammadiyah sejak kelahirannya memiliki watak yang berkemajuan.
Istilah “kemajuan”, “maju”, “memajukan”, dan “berkemajuan” telah melekat dalam pergerakan Muhammadiyah sejak awal berdiri hingga dalam perjalanan berikutnya. Dalam Statuten pertama kali tahun 1912, tercantum kata “memajukan” dalam frasa tujuan Muhammadiyah, yaitu “...b. Memajoekan hal Igama kepada anggauta-anggautanja”. Kyai Dahlan, seringkali mengungkapkan pentingnya berkemajuan. Menjadi kyai, jadilah kyai yang maju, ujar Kyai. Pikiran-pikiran dasar dan langkah-langkah awal Kyai Dahlan sejak meluruskan arah kiblat sampai mendirikan lembaga pendidikan Islam, mengajarkan dan mempraktikkan Al-Ma’un, dan membentuk pranata-pranata amaliah sosial Islam yang bersifat modern, semuanya menunjukkan pada watak Islam yang berkemajuan.
Dalam tulisan utuh Kyai Dahlan dalam bahasa Jawa tahun 1921 dan menurut informasi sebagai satu-satunya tulisan lengkap yang diwariskan pendiri Muhammadiyah ini, yang berjudul “Tali Pengikat Hidup Manusia” (terjemahan Syukriyanto AE & A. Munir Mulkhan) istilah “kemajuan” juga sempat diulas. Kyai mengulas tentang pentingnya para pemimpin umat bersatu hati, dan di frasa itu menunjuk apa yang disebut “... pemimpin kemajuan Islam...”. Dalam tulisan itu, selain mengupas tentang persatuan pemimpin dan manusia sebagai makhluk Allah, yang menarik hampir lebih separuh dari tulisan itu menguraikan tentang akal, pendidikan akal, kesempurnaan akal, kebutuhan manusia, orang yang mempunyai akal, dan perbedaan antara pintar dengan bodoh” (Syukriyanto & Mulkhan, 1985: 1-9).
Kyai Dahlan menulis, kenapa orang mengabaikan atau menolak kebenaran, hal itu karena lima sebab yaitu: (1) Bodoh, ini yang banyak sekali, (2) Tidak setuju kepada orang yang ketempatan (membawa) kebenaran, (3) Sudah mempunyai kebiasaan sendiri dari nenek moyangnya, (4) Khawatir tercerai dengan sanak-saudara dan teman-temannya, dan (5) Khawatir kalau berkurang atau kehilangan kemuliaan, pangkat, kebesaran, kesenangannya, dan seagainya. Karenanya Kyai mengingatkan agar menjadi pemikrian seputar lima hal yaitu; (1) Orang itu perlu dan harus beragama, (2) Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram, padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama, (3) Orang itu harus menurut aturan dari syarat yang sah dan yang sudah sesuai dengan pikiran yang suci, jangan sampai membuat keputusan sendiri, (4) Orang itu harus dan wajib mencari tambahan pengetahuan, jangan sekali-kali merasa cukup dengan pengetahuannya sendiri, apalagi menolak pengetahuan orang lain, dan (5) Orang itu perlu dan wajib menjalankan pengetahuannya yang utama, jangan sampai hanya tinggal pengetahuan saja. (Syukriyanto & Mulkhan, 1985 : 4).
Dalam pejaran keempat sebagaimana dinukil Kyai Hadjid, Kyai Dahlan menyatakan, “Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal fikirannya, untuk memikir, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus menggunakan fikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan keyakinannya, tujuan hidup dan tingkahlakunya, mencari kebenaran yang sejati.
Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selamanya”. Pendapat tersebut dikaitkan dengan ayat ke-44 Surat Al-Furqan, yang artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)”.
Pada pelajaran kelima, Kyai Dahlan melanjutkan, bahwa “Setelah manusia mendengarkan pelajaranpelajaran fatwa yang bermacam-macam, memikirmikir,menimbang-nimbang, membanding-banding kesana-kemari, barulah mereka itu mendapat keputusan, memperoleh barang benar yang sesungguhnya.
Dengan akal-fikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar.”. Dilanjutkan, bahwa “Sekarang, kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir, kalau menetapi barang yang benar, akan terpisah dari apa-apa yang sudah menjadi kesenangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata banyak kekhawatiran itu yang akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidupnya seperti makhluk yang tak berakal, hidup asal hidup, tidak menepati kebenaran.” (Hadjid, t.t.: 15).
Dalam Majalah Suara Muhammadiyah tahun 1922, ditulis dalam bahasa Jawa, tentang pentingnya Islam sebagai “agami nalar”, artinya agama yang berkemajuan dalam pemikiran umatnya. Pak Djarnawi Hadikusuma dalam buku Matahari-Matahari Muhammadiyah, ketika menjelaskan penisbahan Muhammadiyah dengan nama Nabi Muhammad memberikan uraian sebagai berikut:
”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi napas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Dalam pidato iftitah HB Muhammadiyah tahun 1927, 1928, dan 1929, berturut-turut diangkat tema dan ulasan tentang “Pandangan tentang Kemajuan Islam dan Pergerakan Muhammadiyah”, “Pandangan tentang Agama Islam dan Pergerakan Muhammadiyah”, serta “Pandangan tentang Kemajuan Agama Islam dan Pergerakan Muhammadiyah Hindia Timur”, yang mengupas berbagai pandangan Islam, kemajuan umat Islam di tanah air dan belahan dunia, serta berbagai masalah yang dihadapi Muhammadiyah dan umat Islam. Dari berbagai khutbah iftitah atau “Khutabtul Arsy” dari tahun 1921 hingga tahun 1971, tergambar betapa luas pandangan para tokoh Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam dan menghadapi kompleksitas kehidupan, yang berpijak pada fondasi Al-Quran dan As-Sunnah yang maqbulah dengan mengembangankan pemikiran yang berkemajuan.
Kyai Mas Mansur dalam Khutbatul Arsy pada Kongres Muhammadiyah Seperempat Abad di Betawi tahun 1937, menyatakan antara lain: “...Dalam tiap-tiap perjalanan atau pekerjaan yang telah dikerjakan, Muhammadiyah senantiasa pula menghitung-hitung akan laba dan ruginya, terutama tentang usahanya memajukan dan mempropagandakan Islam di Indonesia ini. Kemajuan Agama Islam dan ketinggian derajat pemeluknya, adalah menjadi pengharapan Muhammadiyah yang sangat terutama, sebaliknya pula kemunduran dan kerusakannya itulah yang menjadikan renungan dan rundingan di dalamnya. Sehingga tidak luput pula Muhammadiyah memanjangkan pandangan dan pendengarannya tentang propaganda Islam di seluruh dunia Islam” (Syukriyanto & Mulkhan, 1985: 162).
Aktualisasi Islam yang Berkemajuan
Kyai Mas Mansur ketika menulis tentang “Sebabsebab Kemnunduran Ummat Islam” dalam Adil Nomor 52/IX tahun 1941 seperti dikutip Air Hamzah W, menunjuk empat faktor. Keempat sebab itu ialah iman umat yang tipis, umat yang tidak cerdas, pimpinan yang hanya pandai gembar-gembor, dan syi’ar agama yang kurang. Ketika menjelaskan ciri kedua, yakni umat yang tidak cerdas, Ketua PB Muhammadiyah tersebut menulis sebagai berikut: “Ummat kita tiada mempunyai kecerdasan. Ratarata ummat Islam di Indonesia berada dalam kebodohan, mereka tidak tahu hakikat agama. Agamanya mengajak mereka pada kemajuan, tetapi lantaran kekebalannya, mereka sebaliknya malah mundur. Agamanya diserang oleh orang lain tidak diinsyafinya.”. Dalam ciri kedua Dua Belas Langkah Muhammadiyah tahun 1938-1942, bahkan disebutkan tentang pentingnya “Memperluaskan Faham Agama” dinyatakan sebagai berikut: “Hendaklah faham agama yang sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang sesluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu” (PB Muhammadiyah Madjlis Taman Poestaka, 1939: 51).
Istilah “berkemajuan” juga diperkenalkan dalam memberikan ciri tentang masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. Dalam Muktamar ke-37 tahun 1968 dikupas tentang karakter masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Di antara sembilan ciri masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, salah satu cirinya ialah “Masyarakat berkemajuan”, yang ditandai oleh: “(a) Masyarakat Islam ialah masyarakat yang maju dan dinamis, serta dapat menjadi contoh; (b) Masyarakat Islam membina semua sektor kehidupan secara serempak dan teratur/terkoorrdinir; (c) Dalam pelaksanaannya masyarakat itu mengenal pentahapan dan pembagian pekerjaan”. Dari ciri masyarakat Islam yang berkemajuan itu jelas sekali bagaimana tujuan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid untuk membentuk masyarakat yang dicita-citakan. Makin kuat rujukan tentang ikon pandangan dan cita-cita Islam yang berkemajuan Selain rumusan yang terkandung dalam pemikiran Kyai Dahlan maupun keputusan organisasi sebagaimana disebutkan, pandangan Islam yang berkemajuan secara faktual melekat dengan kelahiran dan langkah-langkah Muhammadiyah dalam perjalanan sejarahnya. Dalam tulisan Solichin Salam (1962: 15) apa yang dilakukan Kyai Dahlan dan Muhammadiyah generasi awal ialah melawan kekolotan (konservatisme), taklid (fanatisme), dan mengerjakan apa saja apa yang dipusakainya dari nenek moyangnya meskipun itu sudah terang bukan dari ajaran Islam (tradisionalisme). Secara umum kondisi umat Islam ketika Muhammadiyah lahir dicirikan oleh hal-hal berikut: (a) Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar kemurniannya lagi; (b) Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat; (c) Kegagalan dari sebagian lembagalembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kaderkader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman; (d) Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme; (e) Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat; (f) Adanya tantangan dan sikap acuh tak acuh (onverschillig) atau rasa kebencian di kalangan intelegensia kita terhadap agama Islam, yang oleh mereka dianggap sudah kolot dan tidak up to date lagi; (g) Ingin membentuk suatu masyarakat, di mana di dalamnya benar-benar berlaku segala ajaran dan hukum-hukum Islam (Salam, 1962: 35).
Sedangkan menurut Mukti Ali, bahwa background atau latarbelakang berdirinya Muhammadiyah dapat disimpulkan dalam empat segi: (1) ketidakbersihan dan campuraduknya kehidupan agama Islam di Indonesia, (2) ketidakefektifannya lembaga-lembaga pendidikan agama, (3) aktivitet dari misi-misi Katholik dan Protestan, dan (4) sikap acuh tak acuh, malah kadang-kadang merendahkan dari golongan intelegensia terhadap Islam. Dengan latarbelakang sosiologis yang demikian maka kelahiran Muhammadiyah menurut Mukti Ali memiliki misi gerakan dan orientasi amaliah sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (Ali, 1958: 20). Dari latar belakang dan misi Muhammadiyah awal itu maka gerakan Islam ini melakukan langkah-langkah di bidang pemahaman dan pembinaan keagamaan, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan amal usaha yang terus berkembang hingga saat ini, yang semuanya berbasis pada pandangan Islam yang berkemajuan. Karena itu masyarakat luas menilai dan menjuluki Muhammadiyah sebagai gerakan Islam reformis, modernis, dan istilah sejenis lainnya yang mengandung esensi Islam yang berkemajuan.
Spirit dan jiwa yang berkemajuan juga tampak kuat dalam usaha-usaha Muhammadiyah, yang diformulasikan dalam Anggaran Rumah Tangga, tetapi sesungguhnya merupakan pantulan dari apa yang selama ini dilakukan gerakan Islam ini. Usaha yang dilakukan Muhammadiyah ialah sebagai berikut: (1) Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan, serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan; (2) Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya; (3) Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah, hibah, dan amal shalih lainnya; (4) Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumberdaya manusia agar berkemampuan tinggi serta berakhlaq mulia; (5) Memajukan dan memperbaharui pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta meningkatkan penelitian; (6) Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas; (7) Meningkatkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; (8) Memelihara, mengembangkan, dan mendayagunakan sumberdaya alam dan lingkungan untuk kesejahteraan; (9) Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerjasama dalam berbagai bidang dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri; (10) Memelihara keutuhan bangsa serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (11) Membina dan meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku gerakan; (12) Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk mensukseskan gerakan; (13) Mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta meningkatkan pembelaan terhadap masyarakat; dan (14) Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah (AD dan ART Muhammadiyah, 2000).
Dari rujukan-rujukan tertulis maupun berdasarkan fakta langkah-langkah Muhammadiyah yang melakukan tajdid atau pembaruan, maka dapat disimpulkan bahwa Muhammadiyah itu memiliki paham dan mendakwahkan Islam yang berkemajuan. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan fungsi utama dakwah dan tajdid dapat dikatakan sebagai Gerakan Islam yang berkemajuan. Dengan demikian, jika ditanyakan karakter ideologi Muhammadiyah, maka ideologi Muhammadiyah itu tidak lain sebagai ideologi yang berkemajuan. Dalam terminologi studi Islam kontemporer pandangan Islam yang berkemajuan disepadankan dengan “Islam progresif”, yang berbeda dengan pandangan Islam yang “konservatif” maupun yang “sekuler-liberal”. Islam yang berkemajuan mwmiliki posisi jalan-tengah (wasathiyyah) dari berbagai idelogi pemikiran dan gerakan Islam yang serba esktrem.
Jalan tengah bukankah tanpa prinsip dan kejelasan sikap, tetapi untuk menunjukkan pandangan dan sikap keagamaan yang mendalam, luas, menyeluruh, dan tidak terperangkap pada ekstrimitas. Ketika harus bersikap dan mempertahankan prinsip Islam, Muhammadiyah tegas dan jelas. Dalam pandangan keislaman Muhammadiyah menyeimbangkan antara pemurnian atau peneguhan dan pengembangan atau pembaruan, sehingga seimbang tetapi kaya dengan nilai kemajuan. Inilah karakter utama Muhammadiyah, yakni ideologi Islam yang berkemajuan.