Sejarah Pentingnya Persaingan Usaha
Setelah runtuhnya sistem-sistem ekonomi perencanaan di Eropa Timur lebih dari satu dasawarsa yang lalu, banyak negara dunia ketiga juga mulai memilih kebijakan ekonomi yang baru. Negara-negara berkembang semakin sering memanfaatkan instrumen-instrumen seperti harga dan persaingan, untuk meningkatkan dinamika pembangunan di negara masing-masing. Hal ini disebabkan oleh pengalaman menyedihkan dari kegagalan birokrasi, yang terlalu membebani pemerintah dan penjabat Negara dalam sistem ekonomi terencana. Seperti Negara-negara bekas blok timur, negara-negara berkembang juga harus membayar mahal akibat kebijakan ekonomi perencanaan ini. Hal ini terlihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat mereka.
Inilah akibat penyangkalan terhadap “prinsip ekonomi” yang melekat pada system ekonomi terencana padahal prinsip tersebut merupakan syarat mendasar bagi aktivitas ekonomi yang sehat.
“New deal” dalam kebijakan ekonomi banyak negara berkembang ingin mengakhiri pemborosan sumber daya semacam ini. Kebijakan ekonomi baru yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan instrumen-instrumen pasar dan persaingan dalam membangun ekonomi bangsa.
Dewasa ini sudah lebih 80 negara di dunia yang telah memiliki Undang-Undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli dan lebih dari 20 negara lainnya sedang berupaya menyusun aturan perundangan yang sama. Langkah Negara-negara tersebut, sementara mengarah pada satu tujuan yaitu meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi guna menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat (fair competition) merupakan salah satu syarat bagi Negara-negara mengelola perekonomian yang berorientasi pasar.
Inti dari ekonomi pasar adalah desentralisasi keputusan, berkaitan dengan “apa”, “berapa banyak”, dan “bagaimana” produksi. Ini berarti individu harus diberi ruang gerak tertentu untuk pengambilan keputusan. Suatu proses pasar hanya dapat dikembangkan di dalam struktur pengambilan keputusan yang terdesentralisasi artinya bahwa terdapat individu-individu independen dalam jumlah secukupnya, yang menyediakan pemasokan dan permintaan dalam suatu pasar, karena prosesproses pasar memerlukan saat-saat aksi dan reaksi pelaku-pelaku pasar yang tidak dapat diprediksi. Ini adalah satu-satunya cara untuk menjamin bahwa kekeliruankekeliruan perencanaan oleh individu tidak semakin terakumulasi sehingga akhirnya menghentikan fungsi pasar sebagai umpan balik sibernetis (cybernetic).
Kecenderungan dan kegandrungan negara-negara di dunia terhadap pasar bebas telah diprediksikan sebelumnya oleh Francis Fukuyama pada era tahun 1990-an. Menurut Fukuyama, prinsip-prinsip liberal dalam ekonomi “pasar bebas”, telah menyebar dan berhasil memproduksi kesejahteraan material yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kedua hal tersebut terjadi di Negara-negara industri dan di Negara-negara berkembang. Padahal menjelang Perang Dunia II, negara-negara tersebut masih merupakan negara dunia ketiga yang sangat miskin. Oleh karena itu, menurut Fukuyama sebuah revolusi liberal dalam pemikiran ekonomi kadang-kadang mendahului dan kadang-kadang mengikuti gerakan menuju kebebasan politik di seluruh dunia.
Bagaimanapun juga, untuk memastikan terselenggaranya pasar bebas versi Fukuyama tersebut, rambu-rambu dalam bentuk aturan hukum, tetap perlu dipatuhi oleh para pelaku pasar.
Salah satu esensi penting bagi terselenggaranya pasar bebas tersebut adalah persaingan para pelaku pasar dalam memenuhi kebutuhan konsumen.
Dalam hal ini persaingan usaha merupakan sebuah proses di mana para pelaku usaha dipaksa menjadi perusahaan yang efisien dengan menawarkan pilihanpilihan produk dan jasa dalam harga yang lebih rendah. Persaingan hanya bila ada dua pelaku usaha atau lebih yang menawarkan produk dan jasa kepada para pelanggan dalam sebuah pasar. Untuk merebut hati konsumen, para pelaku usaha berusaha menawarkan produk dan jasa yang menarik, baik dari segi harga, kualitas dan pelayanan. Kombinasi ketiga faktor tersebut untuk memenangkan persaingan merebut hati para konsumen dapat diperoleh melalui inovasi, penerapan teknologi yang tepat, serta kemampuan manajerial untuk mengarahkan sumber daya perusahaan dalam memenangkan persaingan. Jika tidak, pelaku usaha akan tersingkir secara alami dari arena pasar.
Sementara itu para ekonom dan praktisi hukum persaingan sepakat bahwa umumnya persaingan menguntungkan bagi masyarakat. Pembuat kebijakan persaingan pada berbagai jenjang pemerintahan perlu memiliki pemahaman yang jelas mengenai keuntungan persaingan, tindakan apa saja yang dapat membatasi maupun mendorong persaingan dan bagaimana kebijakan yang mereka terapkan dapat berpengaruh terhadap proses persaingan. Pemahaman ini akan membantu pembuat kebijakan untuk bisa mengevaluasi dengan lebih baik apakah kebijakan tertentu, misalnya dalam hukum persaingan usaha atau perdagangan menciptakan suatu manfaat luas bagi rakyat.
Agar persaingan dapat berlangsung, maka kebijakan ekonomi nasional di negara-negara berkembang pertama-tama harus menyediakan sejumlah prasyarat: yang pertama-tama diperlukan adalah mewujudkan pasar yang berfungsi dan mekanisme harga. Dalam konteks tersebut, yang dituju adalah penyediaan akses pasar sebebas mungkin dan pada saat yang sama menyediakan insentif untuk meningkatkan jumlah dari pengusaha nasional. Tingkat integrasi sejumlah pasar setempat dan regional juga harus ditingkatkan melalui peningkatan infrastruktur negara (misalnya jaringan komunikasi dan transportasi). Akhirnya, suatu kebijakan moneter yang berorientasi stabilitas merupakan prasyarat bagi berfungsinya ekonomi persaingan. Hanya dengan cara ini distorsi-distorsi persaingan yang berpotensi melumpuhkan mekanisme harga dapat dihindari.
Dapat dipahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha maka terbuka peluang untuk menghindari atau mematikan bekerjanya mekanisme pasar (market mechanism) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan konsumen. Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas, dan kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan (kartel) guna memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Persaingan di antara para pelaku usaha juga dapat terjadi secara curang (unfair competition) sehingga merugikan konsumen, bahkan negara. Oleh karena itu, pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil mutlak diperlukan.
Pada bagian ini akan dijelaskan sejarah persaingan usaha di berbagai Negara khususnya Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Jerman, Australia, Uni Eropa dan Indonesia
I.1.a. Amerika Serikat
Berbagai nama telah diberikan terhadap aturan hukum yang menjadi dasar terselenggaranya persaingan usaha yang sehat. Pada tahun 1980, atas inisiatif senator John Sherman dari partai Republik, Kongres Amerika Sertikat mengesahkan undang-undang dengan judul “Act to Protect Trade and Commerce Againts Unlawful Restraints and Monopolies”, yang lebih dikenal dengan Sherman Act disesuaikan dengan nama penggagasnya. Akan tetapi, dikemudian hari muncul serangkaian aturan perundang-undangan sebagai perubahan atau tambahan untuk memperkuat aturan hukum sebelumnya. Kelompok aturan perundang-undangan tersebut diberi nama “Antitrust Law”, karena pada awalnya aturan hukum tersebut ditujukan untuk mencegah pengelompokan kekuatan industri-industri yang membentuk “trust” (sejenis kartel atau penggabungan?) untuk memonopoli komoditi-komoditi strategis dan menyingkirkan para pesaing lain yang tidak tergabung dalam trust tersebut. Antitrust Law terbukti dapat mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada sekelompok perusahaan sehingga perekonomian lebih tersebar, membuka kesempatan usaha bagi para pendatang baru, serta memberikan perlindungan hukum bagi terselenggaranya proses persaingan yang berorientasi pada mekanisme pasar.
I.1.b. Jepang
Pada tanggal 14 April 1947, Majelis Nasional (Diet) Jepang mengesahkan undang-undang yang diberi nama “Act Concerning Prohibition of Private Monopoly and Maintenance of Fair Trade” (Act No. 54 of 14 April 1947). Nama lengkap aslinya adalah Shiteki Dokusen no Kinshi Oyobi Kosei Torihiki no Kakuho ni Kansuru Horitsu, namun nama yang panjang disingkat menjadi Dokusen Kinshi Ho. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, beberapa raksasa industri di Jepang terpaksa direstrukturisasi dengan memecah diri menjadi perusahaan yang lebih kecil. Raksasa industri seperti Mitsubishi Heavy Industry dipecah menjadi tiga perusahaan, sedangkan The Japan Steel Corp dipecah menjadi dua industri yang terpisah. Meskipun dalam era pemberlakuan Dokusen Kinshi Ho, sempat terjadi gelombang merger (penggabungan), namun Industrial Structure Council, sebuah lembaga riset industri dibawah Kementerian Perdagangan dan Industri (MITI) secara berkala menerbitkan laporan-laporan praktik dagang yang tdak adil dan bersifat anti-persaingan, baik yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan Jepang maupun oleh partner dagangnya di luar negeri.
I.1.c. Korea Selatan
Pada tanggal 31 Desember 1980 mengundangkan Undang-Undang No. 3320 yang diberi nama “The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act”.
Melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan tanggal 1 April 1981, undangundang tersebut diberlakukan. Sekurang-kurangnya sudah tujuh kali dilakukan amandemen terhadap undang-undang yang awalnya terdiri atas 62 pasal tersebut. Korea Selatan sekarang merupakan sebuah kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dunia, karena pengelolaan perekonomian yang berorientasi pada mekanisme pasar. Dibandingkan dengan negara tetangganya (Korea Utara) yang masih fanatik dengan pola perekonomian terpusat sesuai paham komunis, apa yang dicapai Korea Selatan adalah sebuah fenomena.
I.1.d. Jerman
Sejak tahun 1909 Jerman memiliki Gesetz gegen Unlauteren Wettbewerb (UWG) (Undang-undang Melawan Persaingan Tidak Sehat). Sesudah Perang Dunia II, terpecahnya Jerman menjadi Jerman Barat dan Timur mempengaruhi aturan hukum di bidang persaingan usaha, karena Jerman Timur sebagai Negara komunis tidak memerlukan aturan hukum seperti ini, karena semua kegiatan ekonomi diatur oleh Negara secara terpusat. Sebaliknya Jerman Barat di bawah Menteri Ekonomi Federal, Ludwig Erhard menerapkan sistem ekonomi sosialisme yang berorientasi pasar dan mewajibkan Negara memberikan jaminan terhadap kebebasan pasar melalui aturan hukum. Dengan alasan itu, Parlemen, menyetujui diundangkannya Gesetz gegen Wettbewerbsbeschraenkungen (GWB) (Undang-Undang Perlindungan Persaingan) yang oleh para pelaku usaha di Jerman lebih suka menyebutnya dengan Kartel Act (Undang-Undang Kartel).
Dengan bersatunya kembali dua Jerman tersebut maka kedua undang-undang tersebut berlaku di seluruh Jerman.
Praktek kartel pasar sudah terjadi di Jerman sejak lama. Baru pada saat memburuknya hubungan ekonomi setelah kekalahan perang dunia dan adanya tekanan dari publik pembuat undang-undang akhirnya pada tahun 1923 terpaksa mengambil inisitif mengundangkan Peraturan Kartel Tahun 1923. Peraturan Kartel tersebut mengatur larangan penyalahgunaan, tetapi pada waktu itu praktis tidak berpengaruh, karena kenyataannya hanya sedikit kasus-kasus kartel yang dihadapkan dengan Peraturan Kartel 1923.
Bahkan hasilnya Peraturan Kartel tersebut melalui legalisasi kartel dan legalisasi pemaksaan organisasi melawan pihak luar gerakan kartel di Jerman tidak dapat dihentikan, tetapi sebaliknya semakin dituntut melakukan kartelisasi. Organisasi ekonomi Jerman dalam melakukan kartel secara terpaksa berdasarkan Undang-undang Kartel Paksa Tahun 1933 (das Zwangskartellgesetz von 1933). Para Negara sekutu baru pada tahun 1947 memperkenalkan Undang-undang dekartelisasi di Jerman. Konsekuensi pelaksanaannya adalah kartelisasi tidak terjadi lagi, karena diperkenalkan iklim usaha yang baru. Sejak tahun 1950 Pemerintah Federal Jerman berusaha menghilangkan undang-undang dekartelisasi Negara sekutu melalui Undang-undang Kartel Jerman dimana titik poinnya terdapat larangan kartelisasi dan pengawasan merger dan akuisisi. Baru pada tahun 1957 Gesetz gegen Wettbewerbsbeschraengkung (Undang-undang Anti Hambatan Persaingan Usaha) berhasil diundangkan dan dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1958. Dan undang-undang ini sejak diundangkan sampai sekarang sudah diamandemen tujuh kali dan telah dilakukan harmonisasi dengan hukum persaingan usaha Uni Eropa.
I.1.e. Australia
Australia memiliki sejarah yang berbeda ketika memberlakukan undangundang Hukum Persaingan mereka. Berdasarkan sejarah Common Law pada abad ke 17 sebenarnya telah mulai mengatur mengenai perjanjian yang mengakibatkan proses persaingan terhambat. Kemudian terjadi paradigma yang berubah mengenai hambatan persaingan yang berhubungan dengan kepentingan umum maupun kebebasan seseorang melakukan perdagangan. Setelah itu pada abad ke 19 doktrin modern diperkenalkan dengan menekankan pada kebebasan berkontrak yang merupakan refleksi dari kepentingan umum. Sebagai akibatnya lembaga peradilan menetapkan ukuran “beralasan” (reasonableness) dalam menentukan suatu keadaan. Saat itu keuntungan ekonomi sebagai hasil dari proses persaingan yang dinikmati publik diabaikan dan persaingan malahan dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Keadaan inilah yang kemudian menginspirasikan akan adanya kebutuhan undang-undang yang mengatur persaingan yang sehat. Undang-Undang Commonwealth mengalami perubahan baik dalam tingkat Negara Bagian maupun Pemerintah Federal.
Seluruh Negara Bagian kecuali Tasmania telah memberlakukan aturan yang melarang tindakan yang menghambat persaingan. Tetapi dalam pelaksanaannya, The State Acts tidak melakukan penegakan hukum dengan baik sedangkan Negara Bagian berkompetisi untuk menarik perhatian industri. Demikian juga lembaga peradilan kurang berupaya agar pemerintah Negara Bagian mengimplementasikan peraturan tersebut.
Pada tahun 1906 diundangkanlah The Australian Industries Preservation Act yang dipengaruhi juga oleh Sherman Act dari Amerika. Tetapi pendekatan mengenai larangan dalam perundang-undangan ini mendapat batasan karena konstitusi Australia. Hal ini disebabkan tidak adanya yurisdiksi khusus yang menegaskan tentang larangan praktek monopoli dalam sistem hukum Commonwealth. Berdasarkan kewenangan kekuasaan, maka badan legislatif mengatur perdagangan serta kewenangan yang berhubungan dengan perusahaan asing atau keuangan perusahaan yang dibentuk dalam Commonwealth. Pasal 4 dan 7 dibatasi hanya pada kombinasi dan monopoli yang berhubungan dengan perdagangan dengan negara lain atau diantara negara bagian dan pasal 5 dan 8 ditujukan pada larangan kombinasi antara hambatan persaingan pada negara Commonwealth bila kegiatan tersebut dilakukan melalui perusahaan asing atau perdagangan atau perusahaan keuangan yang dibentuk dengan Commonwealth.
Undang-undang ini akhirnya tidak begitu efektif semasa melalui 2 perang dunia, perubahan paradigma mengenai sistem ekonomi dan juga ketika masa depresi.
Pada tahun 1965, Australia memberlakukan Commonwealth’s Trade Practices Act dengan menggantikan undang-undang tahun 1906. Sejarah menunjukkan bahwa undang-undang inipun kemudian menghadapi beberapa permasalahan yang berkenaan dengan seputar isi pasal 7 yang berhubungan dengan pasal 35 dan 36 mengenai batasan kegiatan perdagangan, kewenangan yang diatur oleh konstitusi, perdagangan antar Negara Bagian, perusahaan, territorial dan hubungan dengan Commonwealth. Sehingga pada tahun 1971 undang-undang ini digantikan dengan Restrictive Trade Practices Act yang efektif berlaku pada tanggal 1 Februari 1972. Pada saat pemerintahan buruh berkuasa, maka Restrictive Trade Practices Act menjadi undang-undang sesudah amandemen yang substansial dilakukan pada tahun 1973 dan kemudian efektif diberlakukan pada tanggal 24 Agustus 1974. Masih terjadi juga amandemen minor pada tahun 1974 dan 1975 yang mengatur mengenai substansi distribusi kartu kredit dan memberikan Pengadilan Industri kewenangan untuk melakukan perintah.
Undang-undang tahun 1974 juga ditinjau oleh berbagai komite yang dibentuk oleh Partai Liberal Country pada 1 April 1976 dengan mempublikasikan Trade Practices Act Review Committee Report pada 20 Agustus 1976. Laporan itu berisikan 139 rekomendasi yang diusulkan untuk mengamandemen undang-undang Amandemen yang dituangkan efektif berlaku pada 1 Juli 1977.
Menarik untuk diamati bahwa Trade Practices Commissions dan Trade Practices Tribunal yang dibentuk berdasarkan undang-undang tahun 1965 tetap dipertahankan dalam substansi undang-undang ini. Tetapi fungsi mereka yang diperluas pada undang-undang tahun 1974 kemudian dibatasi pada amandemen tahun 1977.
Disamping itu Australia juga memberlakukan Competition Policy Reform Act pada tahun 1995 yang melakukan perubahan cukup penting pada Trade Practices Act dimana pada intinya ruang lingkup bagian IV Trade Practices Act diperluas sampai dengan kegiatan usaha di tingkat Commonwealth, pemerintah Negara Bagian dan teritorial serta kegiatan bukan perusahaan (non corporate persons, sole traders and partners). Kemudian Trade Practices Commission digabung dengan Prices Surveilance Authority, yaitu badan yang didirikan untuk mengawasi pelaksanaan Prices Surveillance Act 1983 menjadi Australian Competition and Consumer Commission atau ACCC. Pada umumnya ACCC bertugas berdasarkan yurisdiksi yang diberikan oleh kedua undangundang tersebut yang meliputi informasi pasar termasuk keluhan mengenai pelanggaran undang-undang, memutuskan atau menolak usulan rencana merger, memberikan masukan kepada pemerintah dan berdasarkan inisiatif juga melakukan penyelidikan. Sedangkan tugasnya yang berhubungan dengan Prices Surveillance Act meliputi penilaian mengenai usulan kenaikan harga dari berbagai organisasi usaha yang berada dibawah pengawasan mereka, mengajukan pemeriksaan terhadap praktek harga dan memberikan laporannya kepada Menteri Commonwealth dan memonitor harga, biaya dan keuntungan industri atau usaha dan melaporkannya kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugasnya ACCC lebih condong kepada upaya komunikasi, konsultasi dan menentukan peraturan sendiri (self regulation). Komisi juga menentukan pemberlakuan pengecualian dari undang-undang.
Salah satu fungsi dari Trade Practice Commission (yang sekarang dikenal dengan nama Australian Competition and Consumer Commission – ACCC ) adalah untuk menentukan aplikasi untuk menyetujui permohonan melakukan perjanjian yang sifatnya eksklusif (exclusive dealing). Pemohon dapat mengajukan permintaan kepada Trade Practice Tribunal untuk memeriksa kembali bila pemohon keberatan terhadap putusan penolakan komisi. Pertimbangan untuk pemeriksaan kembali adalah menjadi fungsi satu-satunya dari Tribunal.
Proses ini memungkinkan pelaku usaha yang kurang yakin apakah undangundang juga mengatur apa yang sudah diputuskan. Undang-undang menetapkan bahwa tidak ada kewajiban untuk dengan sendirinya mengajukan permohonan dalam hal terdapat keraguan, oleh sebab itu pertanyaan mengenai kewenangan akan memberikan kepastian. Bila tidak terdapat pelanggaran undang-undang, maka tuntutan ganti rugi dapat diajukan sehubungan dengan tindakan tersebut.
Trade Practice Commission (yang sekarang dikenal dengan nama Australian Competition and Consumer Commission – ACCC) yang dibentuk pada tahun 1974 untuk menggantikan Office of the Commissioner of Trade Practices yang dibentuk pada tahun 1965. Komisi ini terdiri dari Ketua yang bertugas penuh serta anggota yang bertugas penuh serta paruh waktu. Komisi didirikan berdasarkan amandemen undang-undang tahun 1977 sekaligus memfasilitasi prosedur legal untuk komisi ketika menjalankan tugasnya. Amandemen juga merubah posisi anggota paruh waktu dengan anggota associate, yang dapat diangkat berdasarkan keputusan Ketua untuk menyelesaikan masalah tertentu.
Komisi bertanggung jawab melakukan pengawasan undang-undang dan sejak 1 Juni 1986 juga dapat melakukan permohonan kepada Peradilan Federal untuk kompensasi yang harus dibayarkan kepada pihak yang menderita kerugian karena pelanggaran bagian V undang-undang (ketentuan mengenai perlindungan konsumen). Fungsinya kemudian diperluas kepada kondisi mengenai kewenangan dan pemberitahuan permohonan, melakukan penelitian mengenai hal-hal yang berakibat terhadap kepentingan konsumen dan diseminasi terhadap kepentingan perseorangan mengenai kewenangan komisi dalam melakukan pengawasan undang-undang. Komisi juga mempublikasikan secara berkala informasi yang berhubungan dengan berbagai topik, yang tersedia dengan cuma-cuma sejalan dengan Laporan Tahunan Komisi mengenai pandangan komisi tentang hal-hal terkini dalam perekonomian dan perdagangan.
Berdasarkan pasal 155, maka Komisi juga mempunyai kewenangan yang besar dalam upaya mendapatkan informasi, dokumen dan bukti sehubungan adanya dugaan pelanggaran termasuk memerintahkan seseorang untuk memberikan bukti atau dokumen yang dibutuhkan. Staf komisi dapat memasuki area, memeriksa dokumen, membuat kopi atau mencatatnya. Seluruh informasi yang didapat oleh komisi dalam proses pemeriksaannya tidak dapat disalah gunakan untuk menyerang pihak yang diperiksa dan tidak dapat dijadikan barang bukti untuk menyerang kedudukan pihak tersebut. Terdapat ketentuan dimana komisi dilarang mendapatkan materi pemeriksaan dengan cara yang tidak adil dan pihak yang diperiksa juga berhak mendapatkan seluruh salinan yang didapatkan oleh komisi dalam proses tersebut.
Tribunal merupakan badan administratif sehingga tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu tindakan merupakan pembangkangan terhadap kewenangan mereka (contempt of court) karena mereka bukan lembaga peradilan. Dibawah Konstitusi Commonwealth, Peradilan Federal tidak dapat menggunakan kewenangan Commonwealth yang bukan bersifat judisial.
Kewenangan ini sepenuhnya menjadi milik Peradilan Federal. Oleh sebab itu muncul pertanyaan, apakah yang menjadi kewenangan judisial Commonwealth. Sulit untuk menentukannya, tetapi paling tidak maksudnya adalah badan tersebut harus mampu memberikan putusan yang pasti dan mengikat kepada para pihak dalam menentukan hak dan kewajiban mereka. Hakim Pengadilan Tinggi dan Peradilan Federal lainnya diangkat sampai masa pensiun mereka dan fakta dimana mereka bertugas paling lama 7 tahun menunjukkan bahwa bukanlah menjadi tujuan legislatif untuk menyatakan bahwa Tribunal dapat menentukan kewenangan judisial Commonwealth. Sehingga dapat dibayangkan bila mereka diangkat seumur hidup dan akan memperlambat proses kerja mereka bila harus tunduk pada hukum acara, prosedur maupun pembuktian sebagaiman pada hukum acara di peradilan.
Legalitas Tribunal ini pernah ditantang dengan menyatakan bahwa Tribunal ketika menentukan putusan yang bersifat legal dan menyangkut fakta dan tidak dapat dibanding merupakan gambaran bahwa Tribunal menggunakan kewenangan judisial Commonwealth. Kewenangan demikian yang tidak dimiliki Tribunal menguatkan bahwa mereka bukan merupakan lembaga peradilan. Hal ini sudah dibayangkan dalam undang-undang tahun 1965, itulah sebabnya mengapa penuntutan terhadap perlawanan putusan Tribunal dilakukan di Peradilan Federal. Disamping itu baik komisi maupun Tribunal juga dibatasi dalam memberikan putusan yang berhubungan dengan kepentingan umum, dimana hal ini lebih banyak diatur oleh keputusan legislatif. Pihak yang dipanggil oleh Tribunal tidak harus diwakilkan oleh pengacara walaupun hal itu dimungkinkan, sehingga perseorangan dapat saja hadir sendiri atau diwakili oleh staf atau perusahaan dapat diwakili oleh staf, direktur maupun pihak lain yang disetujui oleh Tribunal.
Pada tahun 1995, The Australian Competition Tribunal menggantikan Trade Practices Tribunal dan sesuai dengan Bagian III Trade Practices Act untuk meninjau (review) putusan ACCC yang berhubungan dengan permohonan dan persetujuan/penolakan dengan dimpimpin oleh Hakim dari Peradilan Federal dengan anggota dari berbagai latar belakang (industri, perdagangan, ekonomi dan hukum) yang diangkat karena keahliannya. Berdasarkan amandemen tahun 1995 Australia juga membentuk The National Competition Council yang mengeluarkan rekomendasi terhadap akses sebagaimana diatur dalam Bagian III A serta meninjau Perjanjian Prinsip Persaingan (Competition Principles Agreement) yang kemudian memutuskan kebijakan persaingan nasional.
I.1.f. Uni Eropa
Saat ini Uni Eropa beranggotakan 27 (dua puluh tujuh) Negara yang pada awalnya adalah suatu Masyarakat (Community) yang dibentuk dalam komunitas batu bara dan baja di Eropa (European Coal and Steel Community - ECSC) diawali oleh 6 negara anggota yaitu Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Belgia, dan Luksemburg. Keenam negara tersebut mengambil langkah penting yang berlatar belakang antar pemerintahan (intergovernmentalism), dengan meletakkan kedaulatan yang terintegrasi di atas kedaulatan nasional (supranational authority) sebagai lembaga mandiri yang berkekuatan mengikat bagi para konstituen negara-negara anggotanya. Atas kesamaan kepentingan tersebut maka pada tahun 1951 ditandatanganilah perjanjian di Paris, yang dikenal sebagai ECSC Treaty atau Traktat Paris. Melalui traktat ECSC, Community mencoba melakukan pendekatan integrasi sektor ekonomi lainnya yang pada akhirnya menuju integrasi ekonomi secara menyeluruh.
Pada konferensi menteri luar negeri dari enam negara penandatangan traktat ECSC di Mesina tahun 1955, Italia tercapai persetujuan untuk mengintegrasikan ekonomi dan terbentuklah apa yang disebut dengan European Atomic Energy Community - EURATOM dan Economic European Community – EEC, yang ditandatangani pada 1957 selanjutnya dikenal sebagai Traktat Roma.
Tonggak penting lainnya terjadi pada 1986 dengan ditandatanganinya Single European Act - SEA yang mengarah terbentuknya “pasar tunggal.” Baru pada 1992 Treaty on European Union - TEU ditandatangani di Maastricht sehingga dikenal sebagai Traktat Maastricht, dan traktat ini melahirkan sebutan European Union (EU).
Tujuan utama dibentuknya Masyarakat Eropa (EC) adalah terciptanya pasar bebas. Ketentuan-ketentuan khusus yang mengaturnya adalah Pasal 3 (a) yang melarang adanya cukai; Pasal 3 (b) mengatur Community’s common commercial policy seperti dalam bidang pertanian, perikanan dan transpor; pasal 3 (g) secara khusus mewajibkan Community memasyarakatkan bahwa ‘persaingan dijamin dalam internal market tidak terganggu, dan Pasal 3 (h) mengatur tentang perkiraan tingkat kebutuhan hukum dalam pasar bebas.
Dalam pasar bebas semua sumber ekonomi harus bergerak secara bebas, tidak ada hambatan oleh batasan negara. Oleh karena itu Traktat Roma menetapkan empat kebebasan (four freedoms) yang mengikat yaitu kebebasan perpindahan barang, kebebasan berpindah tempat kerja, kebebasan memilih tempat tinggal dan lalu lintas jasa yang bebas, lalu lintas modal yang bebas.
Pasar bebas mempunyai kebijakan yang komersial umum, relasi komersial dengan negara-negara ketiga dan kebijakan persaingan. Salah satu dari ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur pasar bebas yang mempunyai peranan sangat penting bagi Masyarakat Eropa adalah Hukum Persaingan Usaha.
Dasar Kebijakan Hukum Persaingan Usaha oleh Masyarakat Eropa diatur dalam pasal 3 (g) EC Treaty, bahwa persaingan dijamin di pasar antara anggota masyarakat Uni Eropa tidak terdistorsi. Sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 3 (g) EC Treaty tersebut ditetapkan di dalam Pasal 81 dan Pasal 82 EC Treaty.
I.1.g. Indonesia
Latar belakang langsung dari penyusunan undang-undang antimonopoli adalah perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasai krisis ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang antimonopoli. Akan tetapi perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan satu-satunya alasan penyusunan undang-undang tersebut.
Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku suaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah malalui praktek usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan.
Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran ekonomi yang dikuasai Negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal yang merupakan dasar pembentukan setiap perundang-undangan antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan pelaku usaha yang lebih kecil.
Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses persaingan usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan dengan hambatan persaingan swasta.
Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka. Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan luas untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente (rent seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar ekonomi William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu sumber utama penyebab inefisiensi dalam perekonomian dan berakibat pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-undang tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.
Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.
Asas dan Tujuan
Guna memahami makna suatu aturan perundang-undangan, perlu disimak terlebih dahulu apa asas dan tujuan dibuatnya suatu aturan. Asas dan tujuan akan memberi refleksi bagi bentuk pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan tersebut. Selanjutnya pemahaman terhadap norma-norma aturan hukum tersebut akan memberi arahan dan mempengaruhi pelaksanaan dan caracara penegakan hukum yang akan dilakukan.
Asas dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 2 bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”. Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.
Demokrasi ekonomi pada dasarnya dapat dipahami dari sistem ekonominya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Rísalah Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1845 di Gedung Pejambon Jakarta dapat diketahui bahwa Supomo selaku ketua Panitia Perancang UUD menolak paham individualisme dan menggunakan semangat kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat pedesaan Indonesia. Di sini ia mengikuti ajaran filsafat idealisme kekeluargaan dari Hegel, Adam Muller, dan Spinoza. Adam Muller adalah penganut aliran NeoRomantisisme Jerman, aliran yang timbul sebagai reaksi terhadap ekses-ekses individualisme Revolusi Perancis.
Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk :
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasion
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Dua hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di negara-negara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum (public interest) dan efisiensi ekonomi (economic efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999.
Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.
Selaku asas dan tujuan, Pasal 2 dan 3 tidak memiliki relevansi langsung terhadap pelaku usaha, karena kedua pasal tersebut tidak menjatuhkan tuntutan konkrit terhadap perilaku pelaku usaha. Walaupun demikian, kedua pasal tersebut harus digunakan dalam interpretasi dan penerapan setiap ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Peraturan persaingan usaha agar diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga tujuan-tujuan yang termuat dalam Pasal 2 dan 3 tersebut dapat dilaksanakan seefisien mungkin. Misalnya, sehubungan dengan penerimaan dan jangkauan dari rule of reason dalam rangka ketentuan tentang perjanjian-perjanjian yang dilarang (Pasal 4-16), harus diperhatikan bahwa Pasal 2 dan 3 tidak menetapkan tujuan-tujuan yang dilaksanakan dalam bidang sumber daya manusia, kebijakan struktural dan perindustrian.
Dasar-Dasar Perlindungan Persaingan Usaha
Undang-undang antimonopoli dapat dan harus membantu dalam mewujudkan struktur ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam penjelasan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa ”Ekonomi diatur oleh kerjasama berdasarkan prinsip gotong royong”, termuat pikiran demokrasi ekonomi, yang dimaksudkan ke dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1999. Demokrasi ciri khasnya diwujudkan oleh semua anggota masyarakat untuk kepentingan seluruh masyarakat, dan harus mengabdi kepada kesejahteraan seluruh rakyat.
Pikiran pokok tersebut termuat dalam pasal 2, yang dikaitkan dengan Huruf a dan Huruf b dari pembukaannya, yang berbicara tentang pembangunan ekonomi menuju kesejahteraan rakyat sesuai dengan UUD dan demokrasi ekonomi. Disetujui secara umum bahwa negara harus menciptakan peraturan persaingan usaha untuk dapat mencapai tujuan demokrasi ekonomi. Oleh karena terdapat tiga sistem yang bertentangan dengan tujuan tersebut, yaitu :
1. ”liberalisme perjuangan bebas”, yang pada masa lalu telah melemahkan kedudukan Indonesia dalam ekonomi internasional;
2. sistem penganggaran belanja yang menghambat kemajuan dan perkembangan ekonomi
3. sistem pengkonsentrasian kekuatan ekonomi, oleh karena segala monopoli akan merugikan rakyat.
Hanya perundang-undangan antimonopoli yang dapat mencegah timbulnya ketiga sistem tersebut, karena melindungi proses persaingan usaha, menjamin tata persaingan usaha dan mencegah terjadinya dominasi pasar.
Tujuan- Tujuan Perlindungan Persaingan Usaha
Perundang-undangan antimonopoli Indonesia tidak bertujuan melindungi persaingan usaha demi kepentingan persaingan itu sendiri. Oleh karena itu ketentuan Pasal 3 tidak hanya terbatas pada tujuan utama undang-undang antimonopoli, yaitu sistem persaingan usaha yang bebas dan adil, di mana terdapat kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha, sedangkan perjanjian atau penggabungan usaha yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan kekuasaan ekonomi tidak ada (Huruf b dan c), sehingga bagi semua pelaku usaha dalam melakukan kegiatan ekonomi tersedia ruang gerak yang luas.
Tujuan ini telah ditegaskan dalam Huruf b dan c dari bagian pembukaan. Selain itu. Pasal 3 menyebutkan tujuan sekunder undang-undang antimonopoli, yang ingin dicapai melalui sistem persaingan usaha yang bebas dan adil: kesejahteraan rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien (Huruf a dan d), tujuan-tujuan yang mana sudah disebutkan dalam Huruf a dan b bagian pembukaan. Sehingga seharusnya sebagai konsekuensi terakhir tujuan kebijakan ekonomi, yaitu penyediaan barang dan jasa yang optimal bagi para konsumen. Menurut teori persaingan usaha yang modern, proses persaingan usaha dapat mencapai tujuan tersebut dengan cara memaksakan alokasi faktor dengan cara ekonomis sehingga terwujudlah penggunaan paling efisien sumber daya yang terbatas, penyesuaian kapasitas produksi dengan metode produksi dan struktur permintaan serta penyesuaian penyediaan barang dan jasa dengan kepentingan konsumen (fungsi pengatur persaingan usaha), dengan menjamin pertumbuhan ekonomi yang optimal, kemajuan teknologi dan tingkat harga yang stabil (fungsi pendorong persaingan usaha) serta dengan menyalurkan pendapatan menurut kinerja pasar berdasarkan produktivitas marginal (fungsi distribusi).
Efisiensi Sebagai Tujuan Kebijakan Persaingan
Efisiensi berhubungan dengan penggunaan sumber daya, baik hari ini dan masa yang akan datang. Produksi yang efisien hari ini, berarti manusia, mesin, bahan mentah dan bahan lainnya dipergunakan untuk memproduksi output terbesar yang bisa mereka hasilkan. Input tidak dipergunakan secara percuma atau siasia. Efisiensi hari ini juga berarti bahwa produk dan jasa yang diproduksi adalah barang dan jasa yang dinilai paling tinggi oleh konsumen dimana pilihan mereka tidak terdistorsi. Efisiensi pada masa yang akan datang didapat dan dari insentif untuk inovasi yang menghasilkan peningkatan produk dan jasa maupun perbaikan dalam proses produksinya dimasa depan. Meningkatnya produksi dengan harga yang rendah, sebagaimana juga inovasi yang menghasilkan produk baru dan jasa yang lebih baik dimasa depan, akan meningkatkan surplus total.
Relevansi pertimbangan efisiensi bagi kebijakan kompetisi adalah bahwa penggunaan sumber daya yang tidak efisien, dengan kata lain, akan mengakibatkan harga tinggi, output rendah, kurangnya inovasi dan pemborosan penggunaan sumber daya. Bila perusahaan bersaing satu sama lain untuk mengidentifikasikan kebutuhan konsumen, memproduksi apa yang dibutuhkan konsumen pada harga yang paling rendah yang dapat dihasilkannya dan terus menerus berusaha meningkatkan dan melakukan inovasi untuk meningkatkan penjualan, sumber daya digunakan secara lebih produktif dan konsumen mendapatkan apa yang dibutuhkannya.
Penggunaan sumber daya yang ada dengan lebih produktif akan memberikan konsekuensi output yang lebih besar dan kemudian menjadikan pertumbuhan ekonomi dan kekayaan yang lebih besar bagi negara. Harga yang rendah akan memberikan konsumen pendapatan yang lebih tinggi untuk dibelanjakan pada pembelian lain, investasi atau untuk ditabung. Total surplus, atau kekayaan dari konsumen maupun produsen bertambah besar. Oleh sebab itu kebijakan persaingan yang mengurangi hambatan terhadap persaingan akan membantu usaha mencapai tujuan bermanfaat bagi masyarakat.
Kesejahteraan Masyarakat dan/Konsumen Sebagai Tujuan Utama Kebijakan Persaingan
Perlindungan konsumen dan persaingan merupakan dua hal yang saling berhubungan dan saling mendukung. Harga murah, kualitas tinggi dan pelayanan yang baik merupakan tiga hal yang fundamental bagi konsumen dan persaingan merupakan cara yang terbaik untuk menjaminnya. Oleh karena itu, hukum persaingan tentu harus sejalan atau mendukung hukum perlindungan konsumen.
Efisiensi ekonomi meningkatkan kekayaan, termasuk kekayaan konsumen, konsumen dalam arti luas adalah masyarakat, melalui penggunaan sumber daya yang lebih baik. Beberapa ahli berpendapat bahwa maksimisasi kesejahteraan konsumen harus menjadi satu satunya tujuan utama dari kebijakan persaingan, yang mereka maksudkan biasanya adalah perusahaan seharusnya tidak dapat menaikkan harganya serta bahkan seharusnya mencoba untuk menurunkannya supaya lebih kompetitif (yaitu dapat menjual produknya). Konsumen pun biasanya lebih diuntungkan apabila mutu, ketersediaan dan pilihan barang dapat ditingkatkan.
Fokus terhadap kesejahteraan konsumen mungkin berasal dari pemahaman bahwa konsumen harus mampu diproteksi dari produsen dan pemindahan kekayaan dari konsumen kepada produsen, seperti yang tampak kalau dibandingkan antara monopoli dan persaingan sempurna, adalah hal yang tidak adil. Banyak ekonomi berkeyakinan pengalihan kesejahteraan tersebut adalah peristiwa ekonomi yang ”netral”, karena menentukan siapa seharusnya yang ”memiliki” surplus bukanlah merupakan bagian ilmu ekonomi.
Tujuan utama Undang-Undang Antitrust adalah untuk mencegah perusahaan mendapatkan dan menggunakan kekuatan pasar untuk mencegah perusahaan mendapatkan dan menggunakan kekuatan pasar untuk memaksa konsumen membayar lebih mahal untuk produk dan pelayanan yang mereka dapatkan. Ia berpendapat bahwa kepedulian utama dari Konggres Amerika adalah perusahaan akan menggunakan kekuatan pasar ”secara tidak jujur” untuk mendapatkan keuntungan dari konsumen dan pembuat undang-undang tidak memikirkan tentang efisiensi ekonomi. Ia juga menyimpulkan bahwa dengan demikian Konggres telah memberikan suatu hak kepada konsumen untuk membeli produk yang harganya kompetitif dan menyatakan bahwa harga yang tinggi dari harga kompetitif berarti mengambil hak konsumen secara tidak adil. Undang-Undang Antitrust menyatakan bahwa hasil dari kapitalisme Amerika adalah barang dengan harga kompetitif adalah milik konsumen, bukan kartel.
F.M. Scherer, bersama dengan ekonom yang lainnya, menunjukkan manfaat dari persaingan bagi efisiensi maupun kesejahteraan konsumen, tetapi menyadari bahwa berbagai otoritas pembuat kebijakan persaingan telah memilih atau telah diberi mandat untuk menentukan kesejahteraan konsumen sebagai tujuan utamanya.
Bagi Indonesia sebagaimana tercermin pada tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999 maka tujuan tidak sekedar memberikan kesejahteraan kepada konsumen namun juga memberikan manfaat bagi publik. Dengan adanya kesejahteraan konsumen maka berarti akan berdampak pada terciptanya kesejahteraan rakyat.
Pasal 3 itulah yang membedakan dengan UU Persaingan di negara lain yang tidak sekedar menjamin adanya kesejahteraan konsumen tetapi juga menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.