Penerapan Pendekatan “Per Se Illegal” Dan “Rule Of Reason” Dalam Hukum Persaingan

Penerapan Pendekatan “Per Se Illegal” Dan “Rule Of Reason” Dalam Hukum Persaingan 
Pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku bisnis melanggar Undangundang Antimonopoli. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. 

Kedua metode pendekatan yang memiliki perbedaan ekstrim tersebut juga digunakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya, yakni pencantuman kata-kata “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”. Oleh karena itu, penyelidikan terhadap beberapa perjanjian atau kegiatan usaha, misalnya kartel (Pasal 11) dan praktek monopoli (Pasal 17) dianggap menggunakan pendekatan rule of reason. Sedangkan pemeriksaan terhadap perjanjian penetapan harga (Pasal 5) dianggap menggunakan pendekatan per se illegal Namun demikian, perlu dipertanyakan kembali, apakah dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tersebut juga mengkaji implikasi hukum atas kata-kata “yang dapat mengakibatkan” maupun “patut diduga” tersebut? Hal ini mengingat pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu masih diwarnai dengan retorika melawan pengusaha besar, yang menguasai sektor-sektor ekonomi tertentu dari hulu ke hilir, dianggap telah merusak perekonomian bangsa dan merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu, pencantuman kata-kata tersebut besar kemungkinannya tidak mempertimbangkan implikasi dalam penerapannya, sehingga terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-undang yang tidak selaras dengan praktek penerapan kedua pendekatan dalam perkara-perkara antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Di samping itu, tim perancang Undang-undang cenderung untuk lebih melimpahkan penerapan alternatif dari kedua pendekatan tersebut kepada KPPU, yang dinyatakan dalam Pasal 35 UU No. 5/1999. Pada dasarnya, tugas KPPU antara lain adalah melakukan penilaian terhadap semua perjanjian dan atau kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 

Penggunaan kedua pendekatan secara alternatif memiliki tujuan yang sama, yakni bagaimana tindakan pelaku usaha tidak menghambat persaingan, sehingga mengakibatkan hilangnya efisiensi, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Sedangkan tujuan pembentukan UU No. 5/1999, antara lain adalah menciptakan efisiensi dalam kegiatan usaha serta meningkatkan kesejahteraan rakyat (Pasal 3). Dalam pembahasan ini, akan dikaji apakah penggunaan pendekatan secara alternatif dapat mendukung efisiensi dan kesejahteraan konsumen. 

Pendekatan Per Se Illegal Dan Penerapannya
Pendekatan pertama per se illegal oleh Mahkamah Agung Amerika diterapkan dalam perkara United Sates v. Trans-Missouri Freight Association, yang diikuti kemudian dalam United States v. Joint Traffic Association 

Perkara Trans-Missouri menyangkut delapan belas (18) perusahaan kereta api yang membuat perjanjian pada tanggal 15 Maret 1889, dengan membentuk “Trans-Missouri Freight Association”, yaitu suatu asosiasi perusahaan kereta api yang berdomisili di sebelah Barat Mississippi. Para anggota asosiasi tersebut melimpahkan kewenangan kepengurusan kepada suatu komite, yang merupakan badan perwakilan para anggota. Kewenangan komite tersebut antara lain, adalah menyusun dan mengumumkan secara resmi struktur tarif angkutan, yang akan ditetapkan bagi seluruh perusahaan kereta api. Tujuan pembentukan asosiasi ini adalah untuk saling melindungi dengan cara menetapkan tarif yang menurut mereka adalah pantas, membuat aturan, dan peraturan mengenai pengangkutan setempat. 

Mahkamah Agung dalam keputusannya menetapkan, bahwa perjanjian di antara para anggota asosiasi tersebut adalah per se illegal, karena melanggar Pasal 1 the Sherman Act. 

Bagian ketiga perjanjian tersebut antara lain menetapkan: 

“…that’s committee shall be appointed to establish rates, rules, and regulations on the traffic subject to this association, and to consider changes therein, and makes rules for meeting the competition of outside lines. Their conclusion, when unanimous, shall be made effective when they so order; but, if they differ, the question at issue shall be referred to the managers of the lines parties hereto; and, if they disagree, it shall be arbitrated in the manner provided in Article 7...” .

Pemerintah kemudian menggugat asosiasi tersebut dengan menyatakan, antara lain bahwa:

“…An agreement between railroads competing in interstate traffic, ‘for the purpose of mutual protection by establishing and maintaining reasonable rates, rules, and regulations on all freight traffic,’ and organizing an association to enforce these purpose, is an agreement in restraint of commerce, within the meaning of the anti-trust law of July 2, 1890, 15 U.S. C. A. parag. 1-7,…” .

Penggugat meminta agar pengadilan menetapkan, pembubaran asosiasi tersebut dan para tergugat dilarang, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama, antara lain:

“…from further agreeing, combining, and conspiring and acting together to maintain rules and regulations and rates for carrying freight upon their several lines of railroad to hinder trade and commerce between the states and territories of the United States; and that all and each of them be enjoined and prohibited from entering or continuing in a combination, association, or conspiracy to deprive the people engaged in trade and commerce between and among the states and territories of the United States of such facilities and rates and charges of freight transportation as will be afforded by free and unrestrained competition between the said several lines of railroads…” .

Tergugat menolak tuduhan tersebut dengan menyatakan, antara lain:

“…they were not content with the rates and prices prevailing at the date of agreement; they deny any intent to unjustly increase rates, and deny that the agreement destroyed, prevented, or illegally limited or influenced competition; they deny that arbitrary rates were fixed or charged, or that rates have been increased…” . 

Tergugat menyatakan pula, bahwa tujuan asosiasi adalah untuk menetapkan tarif yang masuk akal, aturan mengenai semua angkutan dan mempertahankan tarif tersebut sampai ia mengalami perubahan sebagaimana yang nantinya ditetapkan oleh Undang-undang. Mahkamah Agung dalam keputusannya menetapkan, bahwa perjanjian di antara para anggota asosiasi tersebut adalah per se illegal, karena melanggar Pasal 1 the Sherman Act. 

Selanjutnya, dalam perkara United States v. Joint Traffic, pemerintah mengajukan gugatan di pengadilan New York Selatan, sehubungan dengan perjanjian antara 31 perusahaan kereta api yang membentuk asosiasi, antara lain bertujuan:

“…to aid fulfilling the purpose of the interstate commerce act, to cooperate with each other and adjacent transportation association to establish and maintain reasonable and just rates, fares, rules, and regulations on state and interstate traffic, to prevent unjust discrimination, and to secure the reduction and concentration of agencies, and the introduction of economies in the conduct of the freight and passenger service…” .

Untuk mencapai tujuan tersebut, 31 perusahaan itu menetapkan Anggaran Dasar asosiasi, di mana mereka setuju asosiasi dijalankan oleh beberapa dewan yang berbeda, yang memiliki yurisdiksi atas semua lalu lintas kereta api, di mana perusahaan-perusahaan seharusnya bersaing. Asosiasi akan mempublikasikan daftar tarif, harga karcis, dan biaya serta aturan-aturan yang akan diterapkan. 

Dari waktu ke waktu para manajer asosiasi dapat membuat rekomendasi untuk perubahan harga karcis dan biaya serta aturan yang masuk akal dan adil untuk semua angkutan yang disebutkan dalam perjanjian guna melindungi kepentingan para pihak dalam perjanjian.

Ketidak-sediaan untuk melaksanakan rekomendasi oleh pihak manapun juga yang terikat kepada perjanjian tersebut, dianggap sebagai pelanggaran terhadap perjanjian. Tidak ada perusahaan yang menjadi pihak dalam perjanjian ini diijinkan untuk menyimpang atau mengubah tarif, harga karcis, biaya, atau aturan-aturan yang ditetapkan kecuali dengan persetujuan Dewan Direksi dari perusahaan tersebut, dan langkah itu tidak mempengaruhi tarif, harga karcis, serta biaya dimaksud. Perjanjian tersebut mulai berlaku tanggal 1 Januari 1896 untuk lima (5) tahun lamanya.

Pemerintah menuduh bahwa perjanjian yang dibuat oleh para tergugat tersebut adalah “…unlawfully intending to restrain commerce among the several states, and to prevent competition…”. 

Tergugat the Joint Traffic Association dalam jawabannya menyatakan, menolak tuduhan bahwa kontrak itu tidak sah dan tidak merupakan konspirasi untuk menghambat perdagangan atau berusaha untuk memonopoli dan menghambat persaingan antara perusahaan-perusahaan kereta api. Tujuan dari perjanjian itu antara lain adalah dalam rangka harmonisasi dari rute yang berlainan, dan hal itu perlu baik bagi masyarakat maupun perusahaanperusahaan kereta api yang bersangkutan.

Hakim Peckham menyatakan, bahwa perkara ini memiliki persamaan yang besar dengan United States v. Trans-Missouri Freight Association, oleh karena asosiasi mempunyai kepentingan yang sama, sehingga kedua perkara tersebut menghasilkan keputusan yang sama. Tergugat berkeberatan atas pendapat ini dan memberikan alasan mengapa keputusan dalam perkara sebelumnya tidak dapat diterapkan terhadap perkara ini. Tergugat menyatakan, antara lain, terdapat perbedaan fundamental antara dua perjanjian tersebut, baik mengenai materi maupun sifatnya. Dalam perkara Trans-Missouri, perjanjian itu bersifat inkonstitusional, karena dianggap terlalu mencampuri kebebasan individu, dan mengabaikan hak individu untuk membuat kontrak, yang sebenarnya dijamin oleh Amandemen Kelima Konstitusi Amerika Serikat, yang menetapkan: 

“…no person shall be… deprive of life, liberty or property without due process of law; nor shall private property be taken for public use without just compensation. 

This objection was not advanced in the arguments in the other case...”. 

Mahkamah Agung akhirnya kembali pada dalil hukum yang pernah disinggung pada Trans-Missouri. Pertama, membedakan antara pengaturan yang secara langsung dan segera akan mengurangi persaingan sebagai price fixing di antara para pesaing, dan pengaturan yang hanya berpengaruh secara tidak langsung dan insidentil. Kedua,dalam menanggapi perilaku membahayakan yang secara hipotetis dilakukan oleh tergugat, maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa beberapa pengaturan yang berdampak terhadap persaingan, seperti perjanjian untuk tidak ikut serta dalam bisnis sejenis, sama sekali bukanlah merupakan hambatan perdagangan (restraint of trade). Oleh karena itu, Mahkamah Agung menegaskan, bahwa suatu pengaturan yang dilakukan dengan maksud tertentu dan secara eksplisit mematikan persaingan di antara perusahaan yang beroperasi secara mandiri di pasar bersangkutan, akan dinyatakan sebagai ilegal. 

Dalam penerapan Undang-undang Antitrust di Amerika Serikat, beberapa jenis perilaku bisnis tertentu dipandang sebagai per se illegal, terlepas dari penilaian mengenai berbagai akibatnya terhadap persaingan, dan atau terlepas dari kondisi yang melingkupinya. Salah satu manfaat besar dari penggunaan metode per se illegal adalah kemudahan dan kejelasannya dalam proses administratif. Di samping itu, pendekatan ini memiliki kekuatan mengikat (self-enforcing) yang lebih luas daripada larangan-larangan yang tergantung pada evaluasi mengenai pengaruh kondisi pasar yang kompleks. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan ini dapat memperpendek proses pada tingkatan tertentu dalam pelaksanaan suatu Undang-undang. Suatu proses dianggap relatif mudah dan sederhana, karena hanya meliputi identifikasi perilaku yang tidak sah dan pembuktian atas perbuatan ilegal tersebut. Dalam hal ini tidak diperlukan lagi penyelidikan terhadap situasi serta karakteristik pasar. 

Suatu perilaku yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai per se illegal, akan dihukum tanpa proses penyelidikan yang rumit. Jenis perilaku yang ditetapkan secara per se illegal hanya akan dilaksanakan, setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku tersebut, yakni bahwa perilaku tersebut hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. 

Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan. 

Oleh karena itu, pada prinsipnya terdapat dua syarat dalam melakukan pendekatan per se illegal, yakni pertama, harus ditujukan lebih kepada “perilaku bisnis” dari pada situasi pasar, karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya, mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Metode pendekatan seperti ini dianggap fair, jika perbuatan ilegal tersebut merupakan “tindakan sengaja” oleh perusahaan, yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha, baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun demikian diakui, bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas antara perilaku terlarang dan perilaku yang sah. 

Pembenaran substantif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta atau asumsi, bahwa perilaku tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan kerugian bagi pesaing lainnya dan atau konsumen. Hal tersebut dapat dijadikan pengadilan sebagai alasan pembenar dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan oleh pengadilan, pertama, adanya dampak merugikan yang signifikan dari perilaku tersebut. Kedua, kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang. 

Tindakan yang dianggap merugikan konsumen dan telah diputuskan KPPU adalah perkara penetapan harga yang dilakukan oleh beberapa pengusaha Bus Kota Patas AC, yang tergabung dalam suatu asosiasi angkutan jalan raya (Organda).

Kesepakatan bersama tersebut diakomodasi melalui DPD Organda DKI Jakarta melalui Surat DPD Organda tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di wilayah DKI Jakarta tanggal 5 September 2001. Kesepakatan ini dianggap merupakan pelanggaran terhadap Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 

Subscribe to receive free email updates: