Pengertian dan Perkembangan serta Pengaturan Ultra vires 
Pengetian Ultra Vires
Istilah  ultra  vires  sebenarnya  secara  etimologis  berasal  dari  Bahasa Latin. Secara harfiah Ultra berarti sesuatu yang sangat besar dan melampaui ukuran yang semestinya, dan  vires   berarti  tindakan. Dengan demikian  ultra vires  dapat  diartikan  sebagai  tindakan  yang  melampaui  ukuran  yang  telah ditetapkan. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa yang telah diuraikan tadi merupakan pengertian ultra vires pada umumnya. 
Sebagai istilah umum maka istilah tersebut tidak hanya dikenal dalam Hukum  Perseroan,  melainkan  terdapat  pula  dalam  berbagai  bidang  hukum seperti dikemukanan dalam Wikipedia, the free encyclopdia, sebagai berikut:
Under constituional law, particularly in Canada and the United States, constitutions give federal and provincial or state governments various powers. To go outside those powers would be ultra vires; for example, although the court did not use the term, in striking down a federal law in  United  States  v.Loves  on  the  ground  that  it  exceedded  the Constitutional  authority  of  Congress,  the  Supreme Court effectively declared the law to be ultra vires…. In administrative law, an act may be judicially reviewable ultra vires in a narrow or broad sense. Narrow ultra vires applies if an administrator did  not  have  the  substantive  power  to  make  a  decision  or  it  was wrought with procedural defects. Broad ultra vires applies if there is an abuse of power.
Bertumpu pada uraian tersebut dapat dikemukakan, ultra vires ternyata dikenal baik dalam Hukum Tata Negara maupun Hukum Administrasi Negara. Dalam  Hukum  Tata  Negara  kewenangan  itu  pada  pokoknya  menyangkut hubungan antara negara dengan pemerintahnya yang diatur konstitusi. Apabila melampaui konstitusi maka pemerintah federal, provinsi atau negara bagian dapat  dinyatakan  telah  melakukan  ultra  vires.   Sementara  itu  Hukum Administrasi Negara memiliki pandangan yang lebih beragam. Bidang hukum ini mengenal ultra vires dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit,  ultra vires  terjadi bilaman pejabat tidak memiliki kewenangan untuk membuat  keputusan  atau  membuat  keputusan  dengan  prosedur  yang  cacat Pengertian  ultra  vires  yang  luas  berlaku  apabila  terdapat  penyalahgunaan wewenang.
Dalam Hukum Perseroan baik yang berorientasi pada sistem common law maupun yang menganut sistem civil law, wewenang atau kompetensi juga dikenal dan diterapkan. Namun demikian menemukan uraian pengertian ultra vires dalam perangkat sistem civil law termasuk dalam UUPT sangatlah sulit bahkan  tidak  ditentukan  sama  sekali.  Oleh  karena  itu  uraian  mengenai pengertian  ultra  vires  lebih  banyak  bertumpu  pada  sumber-sumber  yang mengacu pada sistem common law.
Dari  perspektif  Hukum  Perseroan  pada  pokoknya  terdapat  berbagai pengertian dan penjelasan yang  diberikan bahwa  ultra vires  adalah sebagai berikut:
·         Ultra  vires  menggambarkan  tindakan-tindakan  yang  dilakukan oleh suatu korporasi dimana tindakan-tindakan tersebut bersifat melampaui  ruang  lingkup  kewenangan  yang  telah  ditetapkan dalam anggaran dasarnya(corporation’s articles of incorporation) atau  dalam  suatu  ketentuan  anggaran  rumah  tangganya(in  a clause in its bylaws).
·         Acts beyond the scope of the powers of a corporation, as defined by its charter or laws of state of incorporation
·         ….what  happens  when  a  corporation  acts  in  a  way  that  goes beyond the powers given to it by the governing corporate statute and articles  of incorporation?  This is the so called  ultra vires problem, Munir  Fuady  yang  mengutip  Stephen  H.  Gifis  mengemukakan terminologi  “ultra  vires”  dipakai  khususnya  terhadap  tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana diberikan oleh anggaran  dasarnya  atau  oleh  peraturan  yang  melandasi pembentukan perseroan tersebut.
·         Ewan  MacIntyre  pada  pokoknya  mengemukakan,  ultra  vires merupakan an act which a company’s objects clause did not permit the company to do.
Pandangan-pandangan  tersebut  pada  dasarnya  mengandung makna,  bahwa perseroan sebagai badan hukum memiliki kompetensi untuk bertindak. Berhubung karena perseroan tidak dapat melakukan tindakan sendiri maka dibutuhkan Direksi sebagai wakil perseroan yang mewujudkan tindakan-tindakan itu. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perseroan melalui  Direksinya  haruslah  memperoleh  persetujuan atau  termasuk  dalam  ruang  lingkup  tindakan-tindakan  yang  diatur dalam  ketentuan-ketentuan  mengenai  tujuan  perseroan(company’s objects  clause).  Apabila  tidak  sesuai  atau  tidak  tercantum  dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka terjadilah ultra vires atau  tindakan yang melampaui kompetensi.
Istilah  atau  terminologi  ultra  vires  seringkali  digandengkan dengan  istilah  doctrine  atau  doktrin  sehingga  menjadi  ultra  vires doctrine  dan terhadap  istilah   ini juga terdapat beberapa penjelasan sebagai berikut :
·         Robert W. Hamilton(1991: 52) menegaskan ….the doctrine of ultra  vires pada  dasarnya  merupakan  suatu  ajaran  hukum mengenai  tindakan-tindakan  yang  melampaui  ruang  lingkup maksud  dan  tujuan  atau  kewenangan  dari  suatu  badan hukum (…. beyond  the  scope of the purpose or  powers of a corporation.
·         Paul  Latimer  yang  mengetengahkan  mengenai  legal impossibility of corporation  dan   old legal rule of ultra vires pada  intinya  juga memberikan  pengertian  yang  sama,  bahwa doktrin  ultra  vires  merupakan  suatu  doktrin  pengaruh  yang timbul dari tindakan yang melampaui kewenangan korporasi berkonotasi pada tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. 
·         Dalam  cousework.com dikemukakan….bilamana  suatu kewenangan  yang  telah  ditetapkan  dalam  suatu  kewenangan umum terlampaui, maka tindakan-tindakan yang telah dilakukan dengan  melampaui  kewenangan  itu  merupakan  tindakantindakan yang cacat seperti halnya ultra vires.  The ultra vires doctrine menyediakan sarana kontrol terhadap pihak-pihak yang tindakannya melampaui kewenangan.
·         Legal-dictionary.com. 20/08/2009  9.00)  pada  dasarnya memberi penjelasan….the doctrine in the law of corporations that hold if a corporation enters into a contract that is beyond the scope of its corporate powers, the contract is illegal. 
Pengertian yang lebih komprehensif tersedia pada Oxford Dictionary Of Law pada pokoknya menjelaskan bahwa istilah tersebut merupakan suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu kewenangan publik, perusahaan, atau subyek  hukum lain yang melampaui batas-batas wewenang yang diberikan. Doktrin Ultra Vires relevan dengan  seluruh  wewenang dalam  pengertian  yang  mencakup  kekuatan, kekuasaan, dan kemampuan baik yang tercipta melalui peraturan perundangundangan maupun dokumen pribadi atau perjanjian-perjanjian. 
Sebagai  suatu  doktrin  hukum  yang  mengandung  pengertian berdasarkan pemahaman hukum umum merupakan ajaran dan di dalam ajaran itu  sendiri  terdapat  prinsip-prinsip  hukum  yang  dapat  diterima  secara universal, maka  terhadap ultra vires doctrine tidak perlu dipersoalkan lagi apakah doktrin tersebut berasal dari negara dengan tradisi hukum common law system ataukah dari civil law system. 
Berdasarkan penelusuran tersebut  pula  dapatlah dikemukakan, doktrin ultra vires pada intinya merupakan ajaran tentang penyelesaian akibat   tindakan-tindakan  yang  melampaui  kewenangan  yang  telah diberikan baik yang dilakukan oleh perseroan. Dasar pertimbangannya, perseroan  dapat diberikan dan memiliki  kewenangan atau kompetensi mengandung  pengertian  bahwa  perseroan  itu  dapat  pula  melakukan tindakan yang melampaui kewenangan. Oleh karena itu subyek hukum tersebut dapat ditundukkan pada doktrin ultra vires, dan sesuai dengan topik  bahasan,  maka  dalam  tulisan  ini  uraian  mengenai  ultra  vires secara  khusus  ditujukan  pada  tindakan-tindakan  Direksi  yang melampaui kewenangan perseroan. 
Dengan bertumpu pada pengertiannya, Doktrin ultra vires pada pokoknya dapat diterapkan secara luas, dan dari keluasan ruang lingkup tersebut dapatlah diidentifikasi adanya tiga sifat tindakan  ultra vires sebagai berikut:
a. Tindakan ultra vires yang bersifat melampaui atau eksesif,
b.Tindakan ultra vires yang bersifat tidak beraturan atau iregularitas,
c. Tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik 
ad. a. Tindakan ultra vires yang bersifat melampaui atau eksesif Tindakan  ultra  vires  yang  bersifat  eksesif  mengandung  pengertian bahwa tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh perseroan melalui Direksi  merupakan  aktivitas  yang  melampaui  kewenangan  atau kompetensi yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan yang bersangkutan.  Dalam  hal  ini  tindakan  Direksi  melebihi  batas-batas kompetensi yang diberikan. 
ad. b. Tindakan ultra vires yang bersifat tidak beraturan atau Tindakan  ultra  vires  yang  bersifat   iregularitas  lebih  menunjukkan pelaksanaan  kegiatan  perseroan  yang  tidak  teratur.  Dalam  hal  ini perseroan   pada dasarnya  memiliki  kompetensi  untuk melaksanakan berbagai  macam  kegiatan,  akan  tetapi  perseroan  melaksanakannya secara tidak beraturan atau tidak konsisten dan cendrung spekulatif. 
ad. c. Tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik  Kedua  sifat  tindakan  ultra  vires  seperti  yang  telah  diuraikan  itu menggunakan anggaran dasar sebagai acuan, apakah melampaui atau tidak  konsisten  dengan  anggaran  dasar  tersebut.  Sedangkan  untuk tindakan ultra vires yang bersifat bertentangan atau konflik, di samping anggaran  dasar  juga  menggunakan  peraturan  hukum  dan  ketertiban umum sebagai acuan. 
Perkembangan  Doktrin Ultra Vires 
Dalam  perkembangan  Doktrin  mengenai  ultra  vires  berdasarkan perspektif hukum pada umumnya terdapat tiga aspek pokok yang perlu memperoleh perhatian, yaitu aspek-aspek yang terkait dengan persoalan,  pertama,  sejak  kapan  ultra  vires  dikenal  dalam perseroan,  kedua,  bagaimana  perkembangannya,  dan  ketiga, bagaimana pengaruhnya. 
Aspek pertama yang disebutkan diatas  sebenarnya sangat sulit diuraikan karena tidak dijumpai adanya sumber bahan hokum yang  menyebutkan  secara  pasti  sejak  kapan  Hukum  Perseroan mengenal  Doktrin  ultra  vires.  Namun  demikian  tidaklah  berarti aspek tersebut tidak dapat ditelusuri sama sekali.
Sehubungan  dengan  sejarah  Doktrin  ultra  vires  terdapat pandangan pada pokoknya sebagai berikut:
….pada awal diakuinya suatu badan hukum sebagai badan dengan hak , kewajiban dan tanggung jawab yang terpisah serta memiliki kekayaan yang terpisah pula dengan pribadi dilandasi  oleh  berbagai  dasar  dan  filosofi  hukum.  Akan tetapi,   eksistensi  badan  hukum  dari  perseroan  terbatas diakui  dengan  sangat  was-was  oleh  hukum….salah  satu cara  menjaga  agar  perseroan  tidak  menyimpang  dari misinya  semula,  sehingga  selalu  dapat  diawasi  adalah dengan  membatasi  dan  mengawasi  secara  ketat kewenangan-kewenangannya….Dalam  melaksanakan kewenangannya  suatu  perseroan  tidak  diperkenankan  ke luar dari kewenangan yang sudah ditetapkan….Dari latar belakang  filosofi  seperti  inilah  kemudian  muncul  dan berkembang  doktrin  hukum  yang  disebut  dengan  ultra vires itu.
Pandangan  tersebut  mengandung  suatu  makna  bahwa pemberian kewenangan atau kompetensi terhadap perseroan sebagai badan  hukum  tidaklah  bersifat  tunggal  dalam  pengertian  yang diberikan itu tidak hanya kewenangan semata-mata, melainkan pula dibarengi dengan pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan itu sendiri.  Dengan  demikian  dapatlah  dikemukakan,  perseroan mengenal  ultra  vires dan  memandang  perlu  adanya  pembatasan adalah sejak perseroan itu diberikan kewenangan-kewenangan. Jadi antara  pemberian  kewenangan  dan  pembatasannya  terjadi  dalam waktu yang bersamaan.
Kendati  pun  negara-negara  Eropa  seperti  Prancis  sudah sejak lama mengenal Doktrin ultra vires dengan konsep Specialite Statutaire,  dimana  suatu  perusahaan  dilarang  untuk  membuat transaksi  yang  tidak  termasuk  ke  dalam  ruang  lingkup  objek perseroan, maka  dapat  dikemukakan  Inggrislah  yang  dicatat pertama  kali menerapkan  doktrin  itu  dalam suatu  kasus  terkenal yang disebut dengan  the Directors, &C., of the Ashbury Railway Carriage and Iron Company (Limited) v Hector Riche pada 1875.
Ashbury Railway Carriage and Iron Company (Limited) merupakan sebuah PT yang bergerak dalam bidang-bidang usaha yang  sangat  beragam  seperti  membuat,  menjual,  meminjamkan dengan kompensasi(lend on hire) gerbong dan alat angkut kereta api,  menjalankan usaha rekayasa mekanikal,  membeli dan menjual hasil  tambang,  mineral,  batubara,  tanah  sampai  dengan  usaha menjadi kontraktor umum(general contractors) seperti membangun jalan  kereta  api,  membangun  proyek  fisik    pertambangan  dan membangun  gedung-gedung,  pada  akhirnya  dipandang  telah melakukan  ultra  vires  ketika  Direksi  Ashbury   sepakat  membeli konsesi untuk membangun jalan kereta api di suatu negara asing.
Sehubungan  dengan  aspek  kedua  mengenai  bagaimana perkembangan  Doktrin  ultra  vires  pada  pokoknya  lebih memperlihatkan sikap atau perlakuan yang  diberikan  oleh system hukum  dalam  mengatur  konsekuensi-konsekuensi  yuridis  atau akibat  hukum  dari  tindakan-tindakan  yang  dapat  diklasifikasikan sebagai ultra vires.
Sistem hukum dalam hal ini common law dalam upayanya mengatur  akibat-akibat  hukum  ultra  vires  tersebut  ternyata menunjukkan sifat yang  dinamis. Kedinamisan  ini pada akhirnya memperlihatkan  perkembangan  yang  signifikan  mengenai  cara pandang hukum dalam menyelesaikan akibat-akibat tindakan  ultra vires.
Doktrin  ultra  vires  yang  mengalami  perkembangan  atau yang disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin Ultra Vires pada pokoknya menganggap batal demi hukum(null and void) terhadap tindakan  perseroan  yang  ultra  vires.  Ada  pun  alasannya  adalah karena  perseroan  tidak  memiliki  kewenangan  untuk  melakukan tidakan  tersebut  baik  menurut  anggaran  dasar  maupun  menurut hukum yang berlaku. Mengingat konsekuensinya adalah batal demi hukum,  maka  tindakan  ultra  vires  itu  sama  sekali  tidak  dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Dalam kondisi seperti itu, maka Direksilah  yang  tetap  dibebani  tanggung  jawab  atas  kerugiankerugian yang timbul. 
Sejalan  dengan  perubahan  zaman,  perkembangan pemahaman  dan kebutuhan akan keadilan  bagi pihak-pihak yang terkait serta berkepentingan dengan tindakan ultra vires, maka apa yang  disebut dengan Konsep Tradisional Doktrin  Ultra Vires  itu telah banyak mengalami modifikasi. 
Apabila dikaji kembali Konsep Tradisional Doktrin  Ultra Vires  itu  memang  tampak  sangat  kaku  dimana   dengan dinyatakannya  suatu  tindakan  melampaui,  tidak  beraturan  dan bertentangan  dengan  anggaran  dasar  serta  hukum  yang  berlaku, maka  dengan  segera  pula  tindakan  itu  dapat  dinyatakan  sebagai ultra vires,   dan sama sekali tidak memberikan kesempatan baik kepada pemegang saham maupun terhadap Direksi untuk merevisi dan membela diri. Dalam hal ini dirasakan tidak ada keadilan bagi Direksi yang merupakan wakil perseroan itu. 
Adapun  modifikasi  atau  perkembangan  Doktrin  Ultra Vires yang dimaksud dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Hak untuk Meratifikasi
Terdapatnya  kasus yang  memungkinkan  diberikannya hak untuk meratifikasi oleh pemegang saham terhadap tindakan yang tergolong ultra vires tersebut. Meskipun secara tradisional, hak untuk meratifikasi tersebut tidak dibenarkan.
2. Transaksi yang Telah Dieksekusi
Terhadap  transaksi  yang  telah  dieksekusi  dengan sempurna  oleh  kedua  belah  pihak  tidak  dapat  lagi dibatalkan dengan alasan ultra vires.
3. Transaksi yang Baru Dieksekusi Sebagian
Terhadap  transaksi  yang  baru  dieksekusi  sebagian, dapat  diajukan  keberatan  berdasarkan  alasan  ultra vires,  tetapi  dibatasi  oleh  doktrin-doktrin  yang  lain, seperti doktrin Estopel,  Unjust Enrichment,  dan pure fairness,  bagi  negara-negara  yang  berlaku  doktrin tersebut. 
4. Peranan Jaksa
Di Negara-negara tertentu, Jaksa dapat memerintahkan perseroan untuk menghentikan tindakan yang bersifat ultra  vires  atau  bahkan  meminta  agar  perseroan dibubarkan.
5. Perbuatan Melawan Hukum Perdata atau Pidana
Terhadap  perbuatan  melawan  hukum  perdata  atau pidana  tidak  dapat  diajukan  keberatan  dengan  jalan ultra vires.
6. Tanggung Jawab Pribadi
Tidak  selamanya  ultra  vires  mengakibatkan pembebanan tanggung jawab pribadi dari Direksi atau petugas yang melakukan tindakan ultra vires tersebut.
Dari  uraian  yang  merupakan  pengembangan  Konsep Tradisional Doktrin  Ultra Vires  menuju Doktrin  Ultra Vires  yang Modern itu terdapat suatu poin inti  yang perlu diberikan penjelasan tambahan. Poin yang dimaksudkan adalah Hak untuk Meratifikasi.
Meratifikasi  sebenarnya  mengandung  pengertian memberikan  konfirmasi  terhadap  tindakan  yang  telah  dilakukan sebelumnya dalam hal ini oleh pihak pemberi konfirmasi sendiri (the confirmation  of a previous  act done …. By the party himself).
Dengan  demikian  sehubungan  dengan  Doktrin  ultra  vires,  maka meratifikasi berarti memberikan pengakuan terhadap tindakan yang telah  dilakukan  sebelumnya  oleh  Direksi.  Meratifikasi  pada pokoknya bertujuan menyatakan  bahwa tindakan Direksi tersebut sah, dan dengan adanya ratifikasi ini tanggung jawab atas tindakan itu dipikul oleh perseroan. 
Ratifikasi  tersebut  diberikan  oleh  para pemegang  saham melalui  Rapat  Umum  Pemegang  Saham(RUPS).  Dalam  RUPS seperti  itu  Direksi  dapat  dihadirkan  dan  Direksi  dapat memanfaatkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang perlu mengenai tindakan-tindakan yang telah dilakukannya. Pada proses inilah tampak perkembangan pemahaman mengenai Doktrin  ultra vires  tersebut telah memberikan suatu keadilan   kepada Direksi untuk hadir dan memberi penjelasan.
Dibandingkan  dengan  Konsep  Tradisional  Doktrin  Ultra Vires yang dengan segera dapat menyatakan bahwa tindakan Direksi adalah  ultra vires  apabila melampaui kewenangan yang diberikan, maka adanya hak meratifikasi menurut Doktrin Ultra Vires Modern sebenarnya  pada  satu  sisi  merupakan  suatu  langkah  maju  yang progresif  dan menguntungkan  Direksi,  akan  tetapi  pada sisi lain menimbulkan persoalan yang sulit dijelaskan. 
Adapun  persoalan  yang  dimaksud  pada  pokoknya menyangkut tidak ditentukannya kriteria mengenai tindakan Direksi yang bagaimana saja yang dapat diratifikasi oleh pemegang saham. 
Apakah  tindakan  Direksi yang  dalam kenyataannya  bertentangan dengan anggaran dasar perseroan juga dapat diratifikasi. Solusi atas persoalan  tersebut  belum  dijumpai  dalam  Doktrin  Ultra  Vires Modern. 
Di  samping  memperkenalkan  hak  meratifikasi,  Doktrin Ultra  Vires Modern  juga  membawa  perkembangan  yang  cukup monumental yaitu perlindungan pihak ketiga(pihak luar perseroan) yang  bertransaksi  dengan  perseroan. Hal  ini  merupakan perkembangan yang paling relevan dengan topik tulisan ini.